Namun, akhirnya Mas Kelvin menghembuskan napas gusarnya, kemudian memalingkan wajahnya dan berpamitan. Melangkah menjauh untuk kembali lagi, harapku. "Maaf, Mas! Aku ingin memastikannya lebih baik lagi, agar semakin yakin." Dengan liri aku berucap. Aku kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur, menjemput mimpi bahagia yang tertunda. Berharap terbangun disepertiga malam untuk bermunajat pada sang khalik yang selalu membersamaiku disaat aku jatuh dan bangun. *** "Ma, Om Kelvin belum ke sini?" tanya Mutiara, untuk kesekian kalinya "Semoga, hari ini Om Kelvin datang, ya!" balasku cemas. Pasalnya, setiap aku chat, Mas Kelvin tidak membalas pesanku. Tidak ada tanda-tandanya dia sedang online di semua media sosialnya. Tentu saja, kekhawatiran mulai menyelimuti hati. Aku berpikir, jika Mas Kelvin marah atau tidak ingin bertemu denganku lagi. "Kita jalan-jalan saja, yuk!" ajakku. Mutiara terlihat sangat antusias dengan ajakkanku, sudah lama dia tidak keluar dari rumah, selain pergi ke se
"Mama Rini," sapaku. Aku menatap Mas Kelvin yang masih memegang buket bunga dan menggandeng Mutiara, entah dia mengerti kegalauanku atau tidak, tapi dia menangguk padaku. "Masuk, yuk, Ma," ajakku. Mama Rini menjadi depresi setelah kepergian Reinaldi, kadang bisa mengenali orang, terkadang lupa. Aku yang merasa bertanggung jawab, enggan meninggalkannya. "Kamu mau meninggalkan mama, Dis? Sama seperti Reinaldi?" Pertanyaannya membuat hatiku sangat pilu. "Enggak, Ma. Gladis bakalan sama, mama!" balasku dengan hati meringis. Aku menuntun mama Rini masuk ke dalam, dan membiarkannya duduk. Mas Kelvin dan Mutiara ikut duduk di sampingku. "Dis, mama tahu, kamu sudah banyak berkorban. Saatnya kamu sekarang bahagia, menikahlah, tapi jangan tinggalkan mama," Mama Rini menepuk tanganku yang memegang tangannya dengan erat. "Gladis dan Mutiara selalu ada untuk mama," balasku dengan meminta Mutiara duduk di samping mama Rini. Mutiara, tanpa kuminta memeluk erat mama Rini dan mengecupnya. "O
"Ma!" teriakku. Tanpa menunggu, aku bergegas ke kamar mama Rini. Aku tahu, mama Rini mendengar ucapan mamaku tadi. Luka hatinya pasti bertambah dalam. "Ma, Gladis masuk, ya," ijinku Tidak ada jawaban dari dalam, membuatku was-was. Aku melihat Mas kelvin yang sudah ada di sampingku, kemudian dia ikut mengetuk pintu, untuk memastikan keadaan mama Rini. "Mas, kita dobrak saja, aku khawatir keadaan mama Rini," ajakku pada Mas Kelvin, dan dia hanya mengangguk tanda setuju. "Iya, dobrak aja!" imbuh mama. Sebelum memutuskan mendobrak pintu, Mas Kelvin mengetuk pintu berkali-kali. Memastikan mama Rini baik-baik saja, tapi seperti dugaanku mama Rini tidak menjawab, maka Mas Kelvin mulai mendobrak pintu kamar. Butuh beberapakili mencoba, barulah pintu terbuka dan terlihat mama Rini tergeletak di lantai, dengan memeluk poto anaknya, Reinaldi. Dadaku terasa sesak, membayangkan Mama Rini akan terluka, ketika aku benar-benar memutuskan menikah dengan Mas Kelvin. Aku ingin dicintai dan ingin h
Mas Kelvin jongkok di depanku dan menatap dengan senyumnya, kali ini dia berbeda. Kukernyitkan dahiku untuk mencari perbedaan itu, tapi tidak. Mungkin sikapnya yang berubah, sejak dia datang tadi. "Kita harus sabar. Kalau kita jodoh, semua akan dipermudah." Mas Kelvin menggenggam tanganku. Aku setuju dengan ucapannya, tapi hatiku tidak! "Sabar, ya, kita usaha yang terbaik. Biarkan tangan Tuhan yang bekerja!" saran dari Mas Kelvin. "Hmm, yang tadi aku enggak salah dengar, kan?" tanya Mas Kelvin. Yang tadinya aku terharu dengan kata-katanya, sekarang harus kebingungan. "Apa, Mas?" tanyaku. Tentu saja, aku sedang tidak bisa berpikir dengan jernih. Terlalu banyak yang ada di otakku, sehingga rasanya ingin meledak. "Tadi kamu bilang mau bersamaku!" ujar Mas Kelvin lirih dengan alis di naik turunkan. "Kayaknya, kamu harus cari wanita lain, Mas!" sanggahku. "Ooooo!" sahutnya santai. Tanganku repleks memukul pundaknya. Mata kami saling bersitatap, lembut sekali pandangannya. "Aku se
"Tadi, Bu Rini enggak mau dirawat dan memaksa mau pulang. Sampai di depan pintu cuma diam aja, ternyata mendengarkan obrolan kalian." terang suster yang menjaga mama Rini. Aku dan Mas Kelvin saling pandang, dan kulihat senyum mengembang di wajah Mas Kelvin. Entah apa maksudnya. "Yuk, kita pulang, Tante," ajak Mas Kelvin, membuatku melotot padanya. Tidak disangka, Mama Rini langsung mengiyakan ajakan dari lelaki di depannya. Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Suster mencegah Mas Kelvin, tapi dia memaksa untuk membawa mama Rini dan mengataka akan bertangung jawab dengan apa yanga akan terjadi kemudian. Akhirnya, pihak rumah sakit membiarkan kami pergi, setelah semua administrasi diselesaikan. *** "Kamu gimana sih, Dis!" omel mama, begitu kami sampai di rumah. Aku hanya diam saja, sambil mencubit pinggang Mas Kelvin kesal. Sedangkan yang dicubit hanya tersenyum manja, makin membuatku marah. "Tanya aja sama ini orang!" tunjukku pada Mas Kelvin. Mas Kelvin mengaja
"Jangan begitu, Nak. Kelvin laki-laki baik, dan tidak seperti Aditya!" ujar mama merajuk. "Ma, tapi ...." Aku melirik mama Rini. Mama dan mama Rini berbicara bergantian, mereka mengungkapkan jika ingin hidup menua bersama, apalagi papa juga sudah tiada. "Kamu masih muda dan butuh orang yang mendampingi, sedangkan Mutiara butuh sosok ayah yang melindunginya. Mama juga sudah mengikhlaskan semuanya, InsyaAllah ini yang terbaik untuk kita dan mama yakin Reinaldi akan bahagia di atas sana," Mama Rini mengatakannya dengan mata berbinar, berbeda dengan yang sebelumnya. Hanya ada luka di netranya yang mulai tua. Aku diam dan menatap mereka berdua secara bergantian, mencari ada apa dengan mereka sehingga berubah secepat ini. Apakah saat aku di dalam bersama Mutiara, Mas Kelvin meracuni pikiran mereka? "Enggak usah liat mama seperti itu!" Mama mencibirku dengan mimik wajah yang membuatku gemas. "Ma, sudahlah. Biarkan aku menjaga kalian saja!" elakku dengan wajah yang pastinya bersemu. Ma
Sesekali aku menatap Mama Rini yang matanya masih menyimpan kesedihan, dan aku paham itu. Meskipun, Mas Kelvin adalah keponakannya, tetap saja berbeda dengan anak kandung. Aku menghela napas, begitu rumit hidupku. Mutiara mendekatiku dan menyematkan cincin yang dia pegang, karena aku tidak kunjung memberikan jawaban. Bagaimana aku bisa memberikan jawaban, saat seseorang ada yang terluka, melihat kebahagian ini. "Mama lama!" keluh Mutiara. Anakku memperhatikan jariku yang dihiasi oleh dua cincin dari dua lelaki yang berbeda, kemudian Mutiara menatap mama Rini dan kembali ke jariku. "Oma, enggak apa-apa, kan?" tanya Mutiara pada Mama Rini. Mama Rini meitikkan air mata, aku tahu, dia masih tidak ikhlas. Ada seseorang yang menggeser anaknya dalam waktu yang singkat. Mutiara memeluk Mama Rini, hingga mereka berdua jatuh di sofa, tentu saja aku langsung memarahi Mutiara. "Nak, kasihan Oma! Kan, oma belum sembuh!" keluhku. "Biar saja, ini, kan cucu oma!" Mama Rini membela Mutiara. "I
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men