Sebuah tali yang kini dianggap terlalu dipaksakan mengantarkan Niel pada kebencian terdalamnya kepada Zeusyu, istri settingan pilihan keluarga besarnya. Namun apa jadinya jika kebenciannya itu ternyata mengantarkan Niel pada dalamnya jurang penyesalan? Ketika Zeusyu berbalik pergi dan menarik ketulusannya, dapatkah Niel memperbaiki segala kesalahan yang telah ia perbuat? “Demi Tuhan. Kepada seseorang yang dengan bodohnya mempertaruhkan seluruh kebahagiaannya. Apa yang sebenarnya telah ia lakukan?”
view more“Niel, jangan lupa tungguin Zeu! Kata Mamanya dia udah siap.” Amelia Tirto— Mama Niel, memberitahukan jika Zuesyu sudah siap untuk dijemput.
Nathaniel Rahardian Restian Tirto atau yang kerap disapa oleh orang terdekatnya dengan panggilan Niel itu mendengus keras. Kesenangannya selalu lenyap ketika pagi menyapa.
S-E-L-A-L-U— tanpa pernah terjeda.
“Maa.. Dia kan punya mobil sendiri!” Protes Niel. Setiap pagi Niel akan melakukan konfrontasi dan hasilnya tentu saja sama seperti hari-hari sebelumnya.
Gagal!
“Jangan buat Mama marah, Dek! Zeu tanggung jawab kamu! Apa susahnya sih nungguin?! Rumahnya juga ada di depan sana. Nggak akan lama sama sekali!” Balas Amel tak mau kalah.
“Mel udah. Kasihan Niel kamu marahin terus!” Hanggono Tirto membelai punggung Amel. Istrinya terlalu sering naik darah akhir-akhir ini. “Niel, turutin apa kata Mama kamu. Jangan sampai Papa sita mobil sama kartu kredit kamu!” Ancam Hanggono agar kemauan istrinya dituruti.
Sudahlah! Ia memang tidak akan pernah menang melawan Nyonya dan Tuan Besar Tirto. Hidupnya sebagai remaja bebas telah direnggut bahkan sejak ia masih menggunakan diapers. Ia dipaksa bertanggung jawab atas apa yang bukan menjadi pilihannya.
Semesta memang sekejam itu padanya. Sejak kapan memang ada anak menang melawan orang tuanya?! Malin saja akhirnya menjadi batu.
“Oke, fine!” Sentak Niel sebelum kembali melanjutkan langkah untuk keluar dari rumah.
Amel pun mengerang. “Astaga Mas, anak kamu! Kecilnya gemesin banget kenapa gedenya amit-amit gini!” Kesal Amel menghadapi kelakuan satu-satunya anak lelaki mereka.
Niel benar-benar arogan, berbeda dengan dua kakaknya yang selalu bersikap manis di masa muda mereka. Kepribadian pemuda itu sungguh sangat bertolak belakang meski penyumbang benihnya masih laki-laki yang sama.
Hang ber-hus, “Yang! Nggak boleh kayak gitu. Anak kamu begitu juga. Nanti juga dia ngerti, Yang. Jangan diambil hati ya.” Ujar Hanggono mencoba memberi pengertian pada Amel.
Wajar saja. Niel masih terlalu belia untuk menerima keadaannya. Disaat dia masih mencari jati diri, pemuda itu dihadapkan pada perjodohan masa kecilnya. Seperti kata Hang, rasa cinta mungkin bisa luntur kapan saja. Terlebih apa yang Niel dan Zeusyu alami merupakan bentuk kisah-kasih monyet belaka. Hang sanksi jika keduanya memahami apa yang mereka lakukan dulu ketika keduanya masih piyik.
“Tau deh! Pengenku lelepin aja anak kamu. Dasar Buaya Rawa! Beneran jadi crocodile kan dia sekarang!” Amel menghentakkan kaki ke atas lantai. Perempuan yang menikah di usia mudanya hingga melahirkan penerus keluarga Tirto itu membalikkan tubuh, memilih untuk kembali ke ruang makan. Emosi membuatnya kelaparan. Amel lebih baik mengisi tenaga sebanyak-banyaknya dibanding terus memikirkan kelakuan darah daging semata wayangnya.
“Ya suruh siapa masih tiga tahun dikawinin. Gedenya lupa daratan kan!” Decak Hanggono yang kini sudah berkepala lima. Kedua orang tua Niel memang memiliki perbedaan usia yang signifikan. Hang- begitu ia dipanggil, kerap disebut sebagai Opa oleh putranya sendiri.
**
Niel menekan klaksonnya berulang kali. Keributan akan selalu terjadi. Ia tak pernah mau repot untuk masuk ke dalam rumah yang dulunya ditempati oleh Omanya. Bangunan itu kini sudah diberikan untuk Zeusyu dan keluarganya. ‘Hadiah pernikahan mereka,’ begitu kata Sukmana- sang Oma.
“Pernikahan apaan! Nggak sah woi!” Ia mulai mencak-mencak sendiri dengan kasus yang sama setiap paginya. “Ngeselin banget nih cewek! Mana sih batang hidungnya.” Niel pun kembali menekan klakson Sahara miliknya.
Niel memukul roda kemudi ketika bukan Zeusyu sosok yang terlihat mendekati Jeep hitamnya, tapi justru ayah gadis itu. Alex— orang kepercayaan sang papa.
Pria yang ia panggil Om sejak kecil itu mengetuk kaca mobilnya.
“Niel.. Kamu duluan aja. Pagi ini Zeu katanya pengen Om yang anter.” Ucap Alex sembari menguatkan senyum. Laki-laki dewasa yang Niel kenali pernah menaruh hati pada kakak tertuanya itu masih terlihat sangat tampan. Berbeda dengan sang papa yang sudah beruban.
Ya iyalah! Umurnya aja jauh banget! Dia seumuran Kak Rara! Si Zeu kan juga anak tiri!
Decakan lalu mengudara dari mulut Niel.
“Mana bisa Om!” Niel menggerutu. Hilang sudah kelucuan yang selalu anak itu tampakan kala batita. Niel si anak menggemaskan telah berubah menjadi pribadi yang cepat sekali naik pitam setelah cinta pertamanya kandas.
“Om kan nanti sama Papa! yang ada aku kena damprat! Udah suruh keluar aja itu si Zeunha. Bisa telat kita nanti!”
Melihat objek kekesalannya, Niel langsung mencondongkan tubuh keluar dari jendela. Alex tentu saja langsung memundurkan langkah. Bukan hal baru memang. Keadaan seperti ini sudah kerap terjadi.
“Woii Zeu! Cepetan!” teriak Niel penuh emosi.
“Gue bareng Papa aja. Lo dul…”
“Bisa nggak sih lo tuh bikin idup gue tenang?!” Hardiknya keras membuat Zeu langsung mendekap lengan sang papa. Gadis itu ketakutan. Seminggu ini Niel berubah menjadi lebih kasar. Entah apa sebabnya. Zeu sendiri juga tidak tahu. Ia tak merasa pernah melakukan kesalahan.
“Masuk!”
“Sayang ikut Niel ya. Nanti biar Pak Darmanto yang jemput Zeu pulang sekolah.”
“Yeah! Supir keluarga gue kasihan banget yak harus kerja double!” Celetuk Niel berani. Bibirnya memang tak pernah memiliki filter. Apa saja yang ingin dirinya luapkan, akan Niel katakan secara terang-terangan. Tak peduli jika kalimatnya mungkin menyakiti perasaan orang lain.
“Cepetan Zeu! Lelet amat lo jadi manusia!”
“Papa, Zeu berangkat dulu ya..” Zeu mengalah. Pada akhirnya yang bisa dirinya lakukan adalah ikut dengan Niel. Zeu menarik telapak tangan Alex, mencium punggung tangan sang papa.
“Hati-hati ya, Nak. Kabarin Papa kalau udah sampai.”
Zeu menganggukan kepalanya sebelum berjalan menuju sisi kiri mobil Niel. Ia masuk, mendudukkan diri disamping pria yang katanya suaminya itu.
“Sabuk pengaman, Egeb!”
Masih saja. Dimata Niel, Zeu memang selalu salah. “Sorry gue lupa.” Lirih Zeu. Ia memasang sabuk pengaman lalu memilih berkutat dengan ponselnya. Sebisa mungkin Zeu menghindari interaksi berlebih. Niel pernah menghardiknya keras karena dianggap sok kenal.
Padahal mereka memang sedekat itu dulu…
Niel pun melajukan mobilnya. Melalui walky talky, penerus utama Tirto tersebut memerintahkan para satpam untuk membuka gerbang. Hidup dipenuhi kasih sayang dan materi membuat Niel tumbuh sangat arogan. Apa saja bisa Niel dapatkan dalam sekali kedip. Tentu saja selain memutuskan hubungannya dengan Zeu.
“Ya Ampun, Mas Niel! Makin kesini kenapa makin mirip Grandong sih? Wah, perlu dibawa ke dukun ini!” Celetuk Darmanto membuat Alex yang berdiri tak jauh darinya menggelengkan kepala. Ada-ada saja memang manusia yang satu ini. Sesatnya nggak pernah berubah.
“Mobilnya Bapak Dar.. Jangan sampai lupa dipanasin!” Peringat Alex memastikan kebutuhan Hanggono telah disiapkan dengan baik.
“Siap, Asisten Pertama!”
Di dalam mobil, keheningan terjadi. Biasanya Niel akan menyalakan musik, tapi tidak kali ini. Pasalnya ia sedang sibuk meredakan lahar panas ditubuhnya.
Niel akui, Zeu memang sangat cantik. Gadis itu bahkan tak hanya ayu dalam rupa. Zeu menawan disegala aspek. Dia pintar dan terlihat berkelas. Di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Zeu bahkan telah mengepakkan sayap di dunia hiburan Indonesia. Wajahnya sering menghiasi layar kaca sebagai bintang iklan. Sialnya, Zeu juga menjadi brand ambassador untuk
produk mamanya.Sayangnya, cantik saja tak cukup untuk Niel. Gadis yang tumbuh bersama dengan dirinya itu tak sanggup membuat jantungnya berdetak seperti Meyselin. Karena Zeu, hatinya harus patah. Ia bahkan menyakiti Meyselin begitu dalam. Orang tuanya menolak mentah-mentah hingga melakukan segala cara untuk menyingkirkan Meyselin dari hidupnya.
Niel membenci Zeu. Gadis itu telah membuat Meyselin kehilangan satu-satunya sandaran hidup. Si cantik itu telah berbuat kejam pada anak yatim piatu. Sosok yang ia cintai sangat dalam tanpa cacat.
Dan karena kejahatannya itu, Niel akan menghadirkan neraka agar Zeu sendirilah yang memutuskan perjodohan mereka.
Terpantau dua pria dewasa dengan seorang pria setengah matang sedang berusaha mendirikan tenda pada pelataran kediaman Tirto yang kini diketuai oleh sahabat sekaligus orang tua si pria muda. Ketiganya terus saja melontarkan makian setelah mengetahui sulitnya mendirikan tenda. Kegiatan yang katanya mudah itu, nyatanya begitu sulit untuk dilakukan. Sudah satu jam mereka berusaha, tapi satu tenda yang mereka beli tak kunjung terpasang. Entah dimana letak kesalahannya sampai-sampai tenda yang mereka coba kerjakan selalu saja ambruk tertiup angin. Padahal mereka sudah mengikuti step by step dari demonstrasi para Youtuber pendaki gunung.“Aaaak!! Susah amat. Kenapa nggak beli yang langsung jadi aja sih tadi!” Kesal Xavier, menendang tenda yang telah rata dengan paving rumahnya. “Dodol ya kamu, Pi. Gimana bawanya kalau beli yang langsung jadi? Terbanglah dia waktu diangkut.” Cerca Jeno, tak habis pikir. Menantunya memang bo to the doh. Ia tahu kalau Xavier tak pernah kesulitan mengurusi
Xavier tampaknya harus bersyukur karena memiliki istri sepolos Aurelia. Karena jika bukan disebabkan oleh tangis histeris istri bocilnya, pingsannya pemuda itu tidak akan diketahui oleh siapa pun. Alhasil, ia akan bangun dengan sendirinya bersama perasaan shock yang dirinya alami setelah mengetahui kebingungan si bocah cilik.Malang sekali kan kalau seperti itu kejadiannya. Jadi, sudah sepantasnya Xavier mensyukuri apa yang ada didalam diri istri kesayangannya— termasuk juga kebingungan sang istri tentang mengapa dia sampai bisa menikah dengan dirinya.“Abang...” panggil Aurelia, lirih.Sialnya, kebingungan Aurelia itu membuat hatinya bertanya-tanya. Ia jadi tak yakin jika perjuangannya selama ini telah membuahkan balasan cinta dari sang istri.Sungguh tragis. Mungkinkah ini karma karena papanya dulu menyia-nyiakan ketulusan mamanya?!Jika benar demikian, kenapa harus dibalaskan kepadanya?!Ia kan tidak berdosa! Seharusnya dosa itu dilimpahkan kepada pembuatnya. Buat saja papanya yan
Berjarak 1 meter dari daun pintu kamar sang papa, Xavier berlutut dengan kedua kaki terlipat dan telapak tangannya yang ia tangkupkan di depan dada.Aksinya ini bisa disebut mirip dengan seorang pertapa. Bedanya, Pertapa Sapi tidak sedang mengharapkan datangnya sekumpulan ilmu yang dapat memberikannya kesaktian, melainkan sebuah kata maaf dari mulut papanya yang nantinya bisa menggagalkan pengeksekusiannya.“Papa,” panggil Xavier, memelas. Meski papanya tak dapat melihat penderitaan yang tercetak jelas di wajahnya. Namun Xavier percaya, pria yang mencetaknya itu, akan mendengar ratapan darah dagingnya.Pada sebuah kursi santai yang sebelumnya tidak pernah ada didekat kamar si kepala keluarga, Jeno, penyebab dari tragedi munculnya pengusiran seorang anak kandung, duduk bersila sembari memperhatikan aksi menantu yang bukan menjadi kesayangannya.“Pah, Abang kan bukan jin, kenapa Abang harus diusir segala?”Mendengar rengekan menantunya, Jeno pun melontarkan kalimat yang mampu membuat su
“Queeeeeeen..”“Abang!” pekik Aurelia, gembira, melihat sosok Xavier yang begitu semangat untuk menghampiri dirinya.“Loh, eh! Kakinya nggak bisa berhenti. Queen, awas!” teriak pemuda yang usianya hampir memasuki ambang dewasa awal itu.Aurelia yang siap dengan perintah itu, tentu tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Alhasil, langkah kaki cepat Xavier terhenti saat tubuh keduanya bertabrakan.“Aaaaak..”Namun, tenang. Dalam hidup Xavier, membahayakan nyawa gadis tercintanya merupakan tindakan yang haram untuk dilakukan.Bak seorang kesatria terlatih, Xavier menahan tubuh keduanya. Menyelamatkan mereka dari resiko cedera akibat gagalnya ia dalam mengendalikan laju kaki-kakinya.“Huft, hampir aja.” cicit Xavier kemudian tersenyum lembut dan bertanya, “Queen, kamu nggak apa-apa kan?”Aurelia menggelengkan kepala. Mengatakan bahwa dirinya hanya terkejut. Selebihnya, ia sama sekali tak mengalami luka.“Syukur deh.” Xavier dengan belaian pada pangkal rambut istrinya.Eh?!Teringat pada alasan
Nathaniel Tirto itu tidak dapat dijadikan panutan, khususnya dalam hal pemenuhan kata-kata yang dilontarkan oleh mulutnya.Pria yang sedari pagi berkicau tentang tanggung jawab itu, nyatanya tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Menurut informasi yang Xavier dapatkan, papanya juga tak menghadiri ‘Rapat Lembang,’ yang katanya penting.Ck-Ck-Ck!Tidak mencengangkan. Kelakuan bertolak belakang dengan bacotan itu tak lagi asing untuk Xavier. Apalagi sang papa memang telah menunjukkan tanda-tanda akan mangkir dari tanggung jawabnya.“Seserem apa sih, hipertensi? Paling kecapekan gara-gara abis ngadon, terus tepat deh, nggak kuat bangun.”Sialun!Ia juga ingin adon-mengadon hingga membentuk sebuah adonan yang semenggemaskan istri kecilnya.“Padahal tadi cuacanya mendukung banget buat ena-ena.” Sesal Xavier, karena tak berusaha lebih keras, mematahkan semangat kuliah Aurelia.“Susah! Bini gue anaknya rajin sih. Hujan, badai, juga nggak bakalan bikin dia skip kelas.” Monolog Xavier, kemudi
Xavier terjaga dengan kepala cenat-cenut.Betapa tidak! Sepanjang malam ia tersiksa berkat Aurelia yang langsung tertidur pulas setelah menyentuh permukaan bantal.Sungguh tega kan?!Bodohnya, untuk membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya pun ia juga tak tega.Ya salam! Kapan ia bisa menerbitkan episode esek-esek manja kalau begini!! Opa & papanya saja sudah mempunyai chapter 21++ dilapak pribadinya, mengapa hanya dirinya yang dianak tirikan!‘Qeynov! Lo bener-bener nggak adil! Balikin otak gacor lo ke mode awal debut!! Gue juga mau cerita gue meledak kayak Darmawan Family sama Opa-Oma gue, Qeynov!!’Kesal pada ceritanya yang tragis, Xavier menghentak-hentakkan kakinya. Tantrumnya anak itu pun membuat Aurelia yang terlelap membuka kelopak matanya.“Abang, ada gempa!!” pekik Aurelia yang seketika saja melompat dari ranjang.“Gem-pa?”“Iya, Abang!! Kasurnya tadi goyang-goyang padahal kita nggak lagi ena-ena..”Bugh!!Xavier membanting tubuhnya. “Aaaakk!! Why diingetin soal ena-ena!! W
Hellow!!Apa itu beban pikiran?!Hilih! Xavier sih tidak mau merusak pikirannya dengan masalah, terlebih statusnya merupakan pengantin baru yang seharusnya hanya tahu agenda untuk bersenang-senang bersama istri kecilnya.Kalian tentu tahu arti kata bersenang-senang dalam kamus Xavier.Yaps, hu’um! yang itu pokoknya!Sebuah kegiatan yang mengarah pada bertambahnya endorfin di otak sungsang pemuda itu.Maka dari itu, biarkan Bapak Niel saja yang berpusing-pusing-ria, Xavier sih ogah kalau harus join. Ia maunya terima beres, lengkap dengan berakhirnya masalah yang menjerat kehidupan rumah tangganya. Toh, Mamanya juga sudah menghubungi omanya. Sebentar lagi masalah akan benar-benar tamat, tertutup rapat seolah-olah tak pernah terjadi sebelumnya.Xavier bisa menjaminnya. Kalau perlu, kepalanya akan ia jadikan persembahan jika hasil tebakannya melenceng.Dalam sejarah yang menyangkut keterlibatan sang oma, belum pernah sekalipun Xavier mendengar adanya kekalahan. Perempuan bercucu banyak it
Ceplak!!Xavier mengerang tatkala sebuah sandal mendarat pada wajah tampannya.Sandal tersebut jatuh ke atas lantai setelah mengenai targetnya, tergeletak dengan posisi tengkurap tak berdaya, berkebalikan dengan korbannya yang mereog-reog, mencari sosok tersangka dibalik penyerangannya.“Papa yang ngelempar! Mau apa kamu?!” tanya Niel, menantang.Pria yang berdiri tegap dengan tangan terlipat didadanya itu menatap tajam sang putra.Ia benar-benar geram merasakan kelakuan ajaib putranya.“Otak kamu geser kan?! Papa benerin biar balik ke tempat semula!” sentak Niel, berapi-api.“Otak Abang geser?” beo Aurelia dengan polosnya. Ia memegangi kepala Xavier, menggoyang-goyangkannya ke kanan dan kiri.“Qu-ee-een.. Kamu ngapa-iiin...” Suara Xavier bergetar seiring dengan goyangan sang istri pada kepalanya.“Mampus kamu, digoclak-goclak nggak tuh!” cicit Niel. Ia teramat menyukai kepolosan sang menantu. Kepolosan itu mendekati kebodohan sehingga begitu menghiburnya diwaktu-waktu tertentu.Yeah,
“Abang, beli rumahnya udah?”Pertanyaan Aurelia itu membuat gerakan tangan Xavier yang hendak meloloskan kaos dalamnya terhenti di udara.‘Belom 2*24 jam loh, Rel!’ batin Xavier miris. Melaporkan orang hilang ke pihak kepolisian saja membutuhkan waktu, apalagi membeli rumah yang syarat-syaratnya cukup meresahkan sampai memusingkan isi kepala.Nggak mendadak gegar otak aja Alhamdulillah nih gue!!“Papi tanya loh, Abang.. Aurel jawab apa ini?” tanya Aurelia sembari menunjukkan ruang obrolannya bersama sang papi diponselnya.“Bales aja, sabar Pi, kalau nggak sabar mabur.” Ucap Xavier mengutip kalimat yang pernah dirinya lihat dibelakang sebuah truk bermuatan sayur saat pulang dugem.“Mabur?”Xavier pun terkekeh. Ia menarik turun ujung kaos dalamnya, mengembalikan kaos tersebut ke tatanan semula.“Artinya terbang, Queen..” bebernya dengan tangan membelai puncak kepala Aurelia.“Nggak usah dibalesin aja.. Nanti Abang yang telepon Papi kamu. Buat sekarang rumahnya masih dicari. Kalau rumahny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments