Kehebohan terjadi, ketika sinar mentari mulai menampakan cahayanya. Seperti dugaanku, Tante Rini mengundang para kerabatnya untuk datang, sejak semalam. Terbukti dari banyak orang datang. Kini, semua mata tertuju padaku yang duduk di belakang Reinaldi. Aku sebenarnya merasa risih dengan pandangan mereka namun, apa daya. "Saya terima nikah dan kawinnya Gladis binti Hendrawan Riayatdi, dengan mas kawin satu set perhiasan dan satu rumah beserta isinya." Lantang Reinaldi mengucapkan ijab qobul. Semua mengucapkan kata sah, setelah penghulu mengucapkannya untuk pertama kalinya. Meskipun persiapannya singkat namun, hasil yang ada menjadi sangat maksimal hanya dalam beberapa jam saja. "Aku hanya minta ijab di KUA, kenapa seperti ini?" tanyaku kesal. "Kamu tau sendiri, bagaimana mama!" Reinaldi berucap dengan penuh penyesalan. Makin malam, tamu undangan makin bertambah. Tentu saja membuatku lelah. Saat tubuh hampir limbung, Reinaldi mengangkat dan membawaku ke dalam kamar. "Sekar
Aku langsung menuruni anak tangga dengan cepat, hampir saja tersungkur karena kaki tidak seimbang. "Ada apa, Pa?" tanyaku bingung. Tempat acara terlihat acak-acakan, Mama Rini menangis tersedu begitu juga dengan mama. Papa diam, dan berakhir memberi perintah pada orang-orang yang membantunya karena ada yang meminta intruksinya. Semua orang sibuk dengan dirinya, sedangkan aku diam mematung. Tidak tau harus bagaimana. "Ma, ada apa?" tanyaku pada mama, dan dia hanya melirikku. Tentu saja hal ini membuatku makin kebingungan, pada siapa lagi aku harus bertanya. "Reinaldi ... Ya, Reinaldi. Aku harus mencarinya," gumamku. Dengan cepat, aku berlari mencari Reinaldi di semua sudut rumah. Namun, tidak kutemukan sosok lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku. "Mutiara!" Aku tersentak ketika mengingat gadis kecilku. Seingatku, anak itu tadi mengantuk dan meminta ijin padaku untuk tidur di kamar mama. Langkah kuayunkan ke kamar di mana Mutiara tidur tadi. "Tidak ada!" gumamku, k
Bik Asih memandang lelaki bertubuh kekar itu. Kemudian dia bercerita panjang lebar tentangku. Memang, kami sudah lama tidak berjumpa, setelah kelahiran Mutiara. Karena Om Alex mengurus usahanya di bali dan Malaysia dan aku tidak pernah menghubunginya karena Mas Aditya waktu itu membatasi kehidupanku. Dulu, hanya Om Alex yang mendukungku dan menerima Mas Aditya sebagai suamiku. Meskipun papa dan mama menentang pernikahan kami. "Kurang ajar si Aditya! Sudah seperti itu masih belum taubat!" maki Om Alex, dan tangannya yang mengepal dia tinjukan ke meja di mana mereka berada. "Kenapa tidak ada yang mengabarkan padaku! Sampai kejadian nyawanya hampir hilang untuk kedua kalinya!" sambung Om Alek dengan emosi. Bik Asih mengatakan jika aku terkungkung oleh keluarga Mas Aditya, dan terlalu percaya padanya. Juga karena Mas Aditya memutus akses komunikasiku ke keluargaku. Sungguh, aku bingung dengan percakapan mereka. Meski yang mereka ceritakan tentang diriku. "Tadi, penjagaan sudah sangat k
Degh! Tubuhku tiba-tiba terasa hangat, kemudian kesadaranku mulai menghilang dan semua terasa gelap. "Dis, bangun." Suara seseorang terdengar di telingaku. Namun, mataku terasa berat untuk terbuka. Tangan sedikit nyeri ketika ada yang menggenggamnya dengan erat. Bulir bening yang menetes di tangan membuatku ingin membuka mata. "Hmmm, ini di mana?" tanyaku, seingatku tadi sedang berada di rumah. Ruangan ini seperti kamar rumah sakit, seperti saat aku mengalami kecelakaan dulu. "Mas Kelvin?" Aku terkejut, ketika ada Mas Kelvin yang duduk menatapku dengan pandangan penuh kekhawatiran. Tangannya yang menggenggam, dengan kasar kutepis. Saat ini, kami bukanlah seorang yang singel, jadi tidak bisa seenaknya meskipun sedang berduaan seperti saat ini. Perutku terasa sakit, apa mungkin ini? Kilasan peristiwa kembali berputar, ketika Renaldi keluar dari dalam kamar, Mas Aditya masuk dan langsung menikam perutku. Katanya, dia tidak rela aku menikah dengan orang lain. Lalu, aku tidak ingat
"Yang lain ke mana, Mas?" tanyaku. Mas Kelvin diam saja, dan menatap sendu ke arahku, merasa ada yang tidak beres, aku duduk dengan memaksakan diri. "Mas!" bentakku. Mas Kelvin tersentak, dia menghembuskan napas berat dan bibirnya terbuka. Lalu, wajahnya berpaling, berdiri dan hendak pergi. "Mas! Tolong jawab aku, ke mana yang lainnya. Reinaldi, orang tuaku, mertuaku, Mutiara?" tanyaku penuh emosi. "Sembuhkan dirimu dulu," ujarnya, kemudian keluar dari ruangan. Terdengar pintu di kunci dari luar, membuatku kesal semakin menjadi. Ada apa semua ini, sehingga jadi seperti ini. Aku beringsut, untuk turun. Kepala yang terasa pusing, hampir membuatku limbung. "Mas! Kenapa kamu kunci, apa salahku? Kamu kenapa sih!" teriakku. Perih dan terasa sakit di bagian perut, terasa sesuatu yang mengalir. Aku memanggil, Mas Kelvin dengan merintih. Tidak terdengar suara dari luar, mungkin dia sudah pergi meninggalkanku. "Mas, sakiiit!" rintihku berulang kali. Aku hanya bisa terkulai lemas di la
"Maksud kamu, Mas. Semua dalam bahaya?" tanyaku khawatir. Mas Kelvin mengangguk, membenarkan tanyaku. Ingin rasanya aku keluar dari sini dan mencari keberadaan suamiku, tapi aku kenal Mas Kelvin. Dia tidak akan membiarkan aku pergi dan meninggalkan ruangan ini. "Mas, biarkan aku menemui Reinaldi. Bagaimanapun dia adalah suamiku," pintaku sungguh-sungguh. Mas Kelvin terlihat bimbang dengan permintaanku, pasti ada yang dia sembunyikan. Jika tidak dia akan memenuhi keinginanku menskipun itu melukai perasaannya. "Mas, apa ada yang kamu sembunyikan?" Aku melihat tajam ke arahnya. "Aku mohon, kamu tidur dulu dan perbanyak istirahat. Agar cepat kembali pulih, nanti semuanya akan kamu ketahui. Jika seperti ini, kamu akan semakin terluka!" ucapnya yang masih belum aku pahami. "Mas!" rajukku. "Dis! Kumohon!" tegasnya. Aku diam, ketika melihat matanya memerah. Antara rasa gelisah dan bingung, menjadi satu. Aku tahu, dia memikirkan diriku dan keluargaku. Akan tetapi, aku seorang istri dan
Setelah Mas Kelvin pergi, dua bawahannya yang lebih mirip seprti bodyguard datang dan menyapaku. Mengatakan, jika mereka bertugas menjagaku sampai Mas Kelvin datang, meski merasa risih diawasi, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. "Kami akan menunggu di depan kamar, jika ada sesuatu yang dibutuhkan panggil kami. Pak Kelvin juga mengatakan, jika kami harus menuruti permintaan Bu Gladis keculai keluar dari kamar!" Hening, tidak ada lagi suara di kamar ini, hanya menyisakan kegelisahaan yang tidak akan terobati hingga saatnya nanti. 'Bagaimana keadaan mama dan papa, juga Mutiara? Apakah mama Reinaldi marah padaku?' Apa yang ditakutkan Mas Kelvin?' Berbagai pertanyaan terlintas begitu saja dibenakku. Lelah, bukan hanya tubuh, tapi juga hatiku. Memilih memejamkan mata dan larut dalam buaiaan mimpi. Karena berontak pun tidak mungkin, aku sangat mengenal Mas Kelvin. *** Hari demi hari sudah kulewati, tanpa ada kabar dari Mas Kelvin ataupun dari orang lain. Ketika, akan memanggil orang
Aku tahu, itu suara Mas Kelvin. Perasaanku mulai tidak tenang, pasti ini akan menjadi perang dingin antara mereka. "Saya tidak ada urusan dengan kamu!" teriak Mas Aditya, yang terdengar serak di telingaku. "Menyingkir dari kehidupan Gladis! Sudah cukup kamu buat dia menderita!" balas Mas Kelvin. "Katakan padanya, kalau ingin Mutiara baik-baik saja, urungkan laporannya!" ancam Mas Aditya. 'Laporan? laporan apa, ya?' Kembali kuketuk pintu, meminta untuk dibukakan. Aku ingin mendengar alasan Mas Aditya melakukan hal ini. Bukankah dia yang menceraikanku dengan talak tiga, kenapa dia yang merasa tersakiti. "Mas Kelvin, tolong buka!" teriakku. Pintu pun terbuka, dan terlihat Mas Aditya yang sedang dihalangi oleh dua orang yang sejak kemarin menjagaku. Juga ada Mas Kelvin yang terlihat menahan amarah. "Mas. kenapa kamu melakukan ini?" tanyaku penasaran. Mas Aditya mendekat dengan mencoba meraih tubuhku, tapi langsung dihalangi Mas Kelvin. Lelaki yang pernah bersamaku beberapa tahun i