"Maaf, kamu bilang! Kamu punya hati enggak sih, Mas? Sejak menikah, kamu ambil alih semua usaha yang kurintis dengan alasan agar aku fokus mengurus rumah tangga. Kamu menyentuhku dengan kasar, setelah kamu usir aku untuk tidur berbeda kamar. Setiap bulan kamu jatah pengeluaranku, sehingga aku harus memutar otak! Saat aku hamil, kamu menuduhku selingkuh dan tidak mengakui anakku!" Bibirku dengan lancar menghitung kesalahannya. Dia diam dan tetap berlutut di depanku, tidak berani mengangkat wajahnya meski hanya sesaat. "Inikah lelaki pongah yang pernah hidup denganku, inikah laki-laki yang sering melayangkan tangannya ke wajahku ketika aku ada kesalahan yang tidak seberapa. Lelaki yang lebih mendengarkan perkataan ibunya yang tidak benar, di bandingkan istrinya yang jujur." Terus aku menghitung kesalahannya. Tidak ada respon darinya, dia tetap bersimpuh tanpa suara dan gerak. Membuatku makin emosi. "Aku adalah wanita bodoh, yang masih percaya ucapan manismu, ketika kamu melakukan
"Rujuk?" tanyaku dengan nada mengejek. "Ha ... Ha ... Ha, kamu pikir hatiku terbuat dari apa?! Sehingga bisa memperlakukanku seenaknya berulang! Kamu tau, tidak ada kamu di hidup kami, serasa dunia milikku dan Mutiara! Jangan lagi kamu masuk dan menjadi bagian dalam hidup kami!" ucapku lantang dan terdengar menggema di ruangan ini. Mas Aditya mendekatiku dan memegang kaki, ketika aku berbalik. Cukup sulit melepaskan diri dari lelaki ini, meskipun sakit tenaganya masih sangat kuat. "Dis, biarkan aku bahagia di hari-hari akhirku! Dan biarkan aku mengenal putriku," rengeknya."Kamu akan aku perkenalkan pada putriku. Ingat! Putriku!" ujarku memberinya ultimatum. "Tapi, tidak akan pernah membiarkanmu hidup diantara kami lagi." tambah kuat. "Dis, kumohon. Kamu wanita baik, dan aku ingin menjadi pendampingmu selama sisa hidupku!" rayunya. "Justru aku wanita baik, tidak ingin berubah menjadi wanita lebih jahat untuk membalas perbuatanmu kelak!""Dis, ini bukan kamu. Kamu wanita penurut, d
Lagi-lagi, Reinaldi membuang napas kasar. Kali ini melalui mulutnya, hingga pipinya menggembung. "Tidak bisakah kamu memberikan satu kesempatan untukku? Apapun syarat darimu, aku akan menerima dan menjalaninya." Reinaldi sepertinya benar-benar kukuh pada pendiriannya. "Untuk apa? Aku hanya fokus pada Mutiara, dan ingin menjadikan dia wanita yang hebat.""Sepertinya, kamu tidak membiarkanku untuk membuktikan keseriusanku. Jalan satu-satunya, aku akan menculikmu, saja!" ujarnya. Tentu saja aku meradang mendengar ucapanya. Dia tidak ada bedanya dengan Kelvin dan Aditya, selalu memaksakan kehendaknya. Tidak peduli, perasaan orang lain. "Aku kira kamu berbeda, ternyata sama saja! Bawa pergilah raga ini!" ucapku kesal. "Dis, itu hanya bentuk kekesalanku saja. Jika aku berniat menculikmu, sudah kulakukan saat kamu melupakan kenangan bersamaku. Ambil ponselku, pinnya tanggal lahirmu. Lihat di galeri, berapa banyak video tentangmu yang tidak pernah hilang dan selalu kujaga. Bahkan ponselku
Reinaldi tersenyum bingung. Mungkin dia pikir, jika video itu biasa saja, tapi bisa membuatku berubah. "Ada apa dengan video ini, tidak ada yang aneh ataupun istimewa!" ujarnya. "Bagi orang tidak istimewa, tapi bagiku sangat istimewa," jawabku, "Alasanmu sangat konyol, dan tidak masuk akal.""Apakah kamu tidak bahagia?" tanyaku dengan berusaha melepaskan cincin yang sudah melingkar di jari manisku. Reinaldi menarik tanganku dan mengembalikan posisi cincin yang tadi dia sematkan. "Kita ajak orang tua kamu tinggal di rumahku, ya," pinta Reinaldi, dan aku hanya mengangguk setuju. Reinaldi masih tidak percaya dengan keputusanku yang tiba-tiba berubah, setelah melihat video yang di simpannya. Aku hanya tersenyum, melihatnya kebingungan. Tidak ada niat mempermainkannya, tiba-tiba Tuhan memberikan petunjuknya padaku, jika kami sudah bersama sejak kecil. Mungkin, Reinaldi tidak mengingatnya, tapi sangat jelas di dalam memoriku. Aku berharap, kali ini tidak salah memilih pasangan hidup.
"Kamu, anak itu?" tanya Reinaldi penasaran. "Loh, 'kan kamu yang tau siapa dia." jawabku acuh. "Selain rambutnya, aku tidak ingat lagi. Aku sudah terpana denganmu!" Reinaldi mulai menggombal lagi. Aku hanya tersenyum tipis, melihat reaksinya. Aku akan mengatakannya ketika ada moment yang pas. Papa menghampiri kami, dan mengatakan semuanya sudah selesai. Hanya menunggu Mutiara yang sedang mandi. "Yakin, enggak bakalan ngerepotin keluarga kamu?" tanya mama. Sepertinya mama masih ragu. "Pasti enggak, Ma. Mamanya Reinaldi baik kok!" sanggahku. Mama mengacak-acak rambutku dan mengatakan jika dirinya bertanya pada Reinaldi dan mengapa aku yang menjawab. Reinaldi tersenyum kecut, melihat mama bercengkrama denganku. Kami sudah, dalam perjalanan menuju rumah Reinaldi. Aku yakin, mama dan papa akan terkejut melihat mamanya Reinaldi. Aku memang tidak mengenalinya saat bertemu dan melihat video tadi. Tapi, ada satu hal yang mengingatkanku pada Reinaldi kecil. *** "Mari, tante, o
"Kamu, Rini?" Mama malah balik bertanya. Sesuai dugaanku, mereka saling kenal dan langsung berpelukan hangat. Sedangkan Reinaldi, menatapku penuh tanya dan kebingungan. Semua, akhirnya jelas. Setelah tante Rini dan mama berbincang. Terlihat rona merah di telinga Reinaldi, tanda dia menahan kesal. "Jadi kamu sudah tau, Dis?" tanya Reinaldi dingin. "Iya, saat melihat video yang kamu kasih ke aku tadi." Reinaldi dan yang lain nampak kebingungan. Aku langsung menarik tangannya dan menunjukkan tahi lalat yang ada di lengannya. "Ini!" tunjukku. "Jadi kamu si kepang?" tanya Reinaldi dengan mata membulat. Aku hanya menunjukkan deretan gigiku, yang putih. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku tahu, jika Reinaldi sangat bahagia, tapi bercampur kesal. Dia mendekatiku dan mencubit pipi ini dengan sangat gemas. "Takdir tidak pernah salah!" ujarnya dengan menggertakkan giginya. "Takdir, mengujiku terlebih dulu. Semoga tidak menguji kehidupan kita kelak." ujarku melow. Tante Ri
Seketika, raut wajah yang ada diruang ini berubah muram. Terlebih papa dan mama, yang terlanjur kecewa padanya. "Lepaskan tangannya!" Reinaldi berteriak dengan wajahnya yang merah padam. Wanita yang menjadi istri Mas Kelvin pun hadir dan menyaksikan tingkah suaminya. "Lepas!" ujarku dengan mencoba melepaskan genggaman tangannya di lenganku. "Tidak, sampai kita menikah!" ujar Kelvin. "Hei, Mas! Lihat wanita itu, dia itu istrimu! Apa lagi yang kamu inginkan!" Aku berucap dengan nada tinggi dan penuh penekanan. Wanita anggun dan cantik di depanku hanya menunduk lesu. Dia sepertinya sudah pasrah akan kelakuan suaminya, yang memperlakukan semua seenaknya dan menganggapnya tidak ada. "Lepas! Sakit!" rontaku dengan mimik wajah meringis. "Mas, kamu kenapa menjadi kasar, aku takut!" ujarku kemudian. Sepertinya, akulah yang mulai tidak waras dan memiliki kepribadian ganda. Karena bisa merubah diriku dalam situasi yang tidak baik. Helaan napas kasar kuhembuskan dengan perlahan.
Aku mendekati Mas Kelvin dan menarik tangannya, mendekat pada istri sahnya. Tangan kami kusatukan, dan aku menatap mata mereka bergantian. "Pernikahan kalian memang hasil dari perjodohan, tapi orang tua tau yang terbaik bagi kalian. Belajarlah untuk saling mencintai, jangan pernah biarkan ikatan cinta yang disatukan oleh Tuhan, dirusak oleh manusia lain." ucapku. Kini, mataku hanya memandang ke wajah Mas Kelvin, "Mas, terimakasih telah membuat aku tegar dan kuat. Menjadikanku wanita yang luar biasa dan bisa bertahan dalam keputus-asaan. Mas, takdir kita tidak bisa kita paksakan, Tuhan telah menggariskannya dengan baik dan sempurna. Ikuti saja, hasilnya pasti lebih dari sempurna, bukan begitu?" tambahku dengan semangat. Mas Kelvin melepaskan genggaman tanganku dan tubuhnya luruh. "Mas, menangis pun kita tidak bisa melawan takdir. Manusia hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Yakinlah, jika istrimu akan menjadi yang terbaik untukmu. Aku pun ada rasa sedih tidak bisa terus bersamam
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men