Lagi-lagi, Reinaldi membuang napas kasar. Kali ini melalui mulutnya, hingga pipinya menggembung. "Tidak bisakah kamu memberikan satu kesempatan untukku? Apapun syarat darimu, aku akan menerima dan menjalaninya." Reinaldi sepertinya benar-benar kukuh pada pendiriannya. "Untuk apa? Aku hanya fokus pada Mutiara, dan ingin menjadikan dia wanita yang hebat.""Sepertinya, kamu tidak membiarkanku untuk membuktikan keseriusanku. Jalan satu-satunya, aku akan menculikmu, saja!" ujarnya. Tentu saja aku meradang mendengar ucapanya. Dia tidak ada bedanya dengan Kelvin dan Aditya, selalu memaksakan kehendaknya. Tidak peduli, perasaan orang lain. "Aku kira kamu berbeda, ternyata sama saja! Bawa pergilah raga ini!" ucapku kesal. "Dis, itu hanya bentuk kekesalanku saja. Jika aku berniat menculikmu, sudah kulakukan saat kamu melupakan kenangan bersamaku. Ambil ponselku, pinnya tanggal lahirmu. Lihat di galeri, berapa banyak video tentangmu yang tidak pernah hilang dan selalu kujaga. Bahkan ponselku
Reinaldi tersenyum bingung. Mungkin dia pikir, jika video itu biasa saja, tapi bisa membuatku berubah. "Ada apa dengan video ini, tidak ada yang aneh ataupun istimewa!" ujarnya. "Bagi orang tidak istimewa, tapi bagiku sangat istimewa," jawabku, "Alasanmu sangat konyol, dan tidak masuk akal.""Apakah kamu tidak bahagia?" tanyaku dengan berusaha melepaskan cincin yang sudah melingkar di jari manisku. Reinaldi menarik tanganku dan mengembalikan posisi cincin yang tadi dia sematkan. "Kita ajak orang tua kamu tinggal di rumahku, ya," pinta Reinaldi, dan aku hanya mengangguk setuju. Reinaldi masih tidak percaya dengan keputusanku yang tiba-tiba berubah, setelah melihat video yang di simpannya. Aku hanya tersenyum, melihatnya kebingungan. Tidak ada niat mempermainkannya, tiba-tiba Tuhan memberikan petunjuknya padaku, jika kami sudah bersama sejak kecil. Mungkin, Reinaldi tidak mengingatnya, tapi sangat jelas di dalam memoriku. Aku berharap, kali ini tidak salah memilih pasangan hidup.
"Kamu, anak itu?" tanya Reinaldi penasaran. "Loh, 'kan kamu yang tau siapa dia." jawabku acuh. "Selain rambutnya, aku tidak ingat lagi. Aku sudah terpana denganmu!" Reinaldi mulai menggombal lagi. Aku hanya tersenyum tipis, melihat reaksinya. Aku akan mengatakannya ketika ada moment yang pas. Papa menghampiri kami, dan mengatakan semuanya sudah selesai. Hanya menunggu Mutiara yang sedang mandi. "Yakin, enggak bakalan ngerepotin keluarga kamu?" tanya mama. Sepertinya mama masih ragu. "Pasti enggak, Ma. Mamanya Reinaldi baik kok!" sanggahku. Mama mengacak-acak rambutku dan mengatakan jika dirinya bertanya pada Reinaldi dan mengapa aku yang menjawab. Reinaldi tersenyum kecut, melihat mama bercengkrama denganku. Kami sudah, dalam perjalanan menuju rumah Reinaldi. Aku yakin, mama dan papa akan terkejut melihat mamanya Reinaldi. Aku memang tidak mengenalinya saat bertemu dan melihat video tadi. Tapi, ada satu hal yang mengingatkanku pada Reinaldi kecil. *** "Mari, tante, o
"Kamu, Rini?" Mama malah balik bertanya. Sesuai dugaanku, mereka saling kenal dan langsung berpelukan hangat. Sedangkan Reinaldi, menatapku penuh tanya dan kebingungan. Semua, akhirnya jelas. Setelah tante Rini dan mama berbincang. Terlihat rona merah di telinga Reinaldi, tanda dia menahan kesal. "Jadi kamu sudah tau, Dis?" tanya Reinaldi dingin. "Iya, saat melihat video yang kamu kasih ke aku tadi." Reinaldi dan yang lain nampak kebingungan. Aku langsung menarik tangannya dan menunjukkan tahi lalat yang ada di lengannya. "Ini!" tunjukku. "Jadi kamu si kepang?" tanya Reinaldi dengan mata membulat. Aku hanya menunjukkan deretan gigiku, yang putih. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku tahu, jika Reinaldi sangat bahagia, tapi bercampur kesal. Dia mendekatiku dan mencubit pipi ini dengan sangat gemas. "Takdir tidak pernah salah!" ujarnya dengan menggertakkan giginya. "Takdir, mengujiku terlebih dulu. Semoga tidak menguji kehidupan kita kelak." ujarku melow. Tante Ri
Seketika, raut wajah yang ada diruang ini berubah muram. Terlebih papa dan mama, yang terlanjur kecewa padanya. "Lepaskan tangannya!" Reinaldi berteriak dengan wajahnya yang merah padam. Wanita yang menjadi istri Mas Kelvin pun hadir dan menyaksikan tingkah suaminya. "Lepas!" ujarku dengan mencoba melepaskan genggaman tangannya di lenganku. "Tidak, sampai kita menikah!" ujar Kelvin. "Hei, Mas! Lihat wanita itu, dia itu istrimu! Apa lagi yang kamu inginkan!" Aku berucap dengan nada tinggi dan penuh penekanan. Wanita anggun dan cantik di depanku hanya menunduk lesu. Dia sepertinya sudah pasrah akan kelakuan suaminya, yang memperlakukan semua seenaknya dan menganggapnya tidak ada. "Lepas! Sakit!" rontaku dengan mimik wajah meringis. "Mas, kamu kenapa menjadi kasar, aku takut!" ujarku kemudian. Sepertinya, akulah yang mulai tidak waras dan memiliki kepribadian ganda. Karena bisa merubah diriku dalam situasi yang tidak baik. Helaan napas kasar kuhembuskan dengan perlahan.
Aku mendekati Mas Kelvin dan menarik tangannya, mendekat pada istri sahnya. Tangan kami kusatukan, dan aku menatap mata mereka bergantian. "Pernikahan kalian memang hasil dari perjodohan, tapi orang tua tau yang terbaik bagi kalian. Belajarlah untuk saling mencintai, jangan pernah biarkan ikatan cinta yang disatukan oleh Tuhan, dirusak oleh manusia lain." ucapku. Kini, mataku hanya memandang ke wajah Mas Kelvin, "Mas, terimakasih telah membuat aku tegar dan kuat. Menjadikanku wanita yang luar biasa dan bisa bertahan dalam keputus-asaan. Mas, takdir kita tidak bisa kita paksakan, Tuhan telah menggariskannya dengan baik dan sempurna. Ikuti saja, hasilnya pasti lebih dari sempurna, bukan begitu?" tambahku dengan semangat. Mas Kelvin melepaskan genggaman tanganku dan tubuhnya luruh. "Mas, menangis pun kita tidak bisa melawan takdir. Manusia hanya bisa menjalaninya dengan ikhlas. Yakinlah, jika istrimu akan menjadi yang terbaik untukmu. Aku pun ada rasa sedih tidak bisa terus bersamam
"Baik, aku harap kamu tidak akan menyesal menikah denganku!" jawabku asal. Binar di mata setiap orang membuatku geli, mereka seperti akan merayakan sesuatu dengan meriah. Padahal aku adalah sampah di masyarakat, karena janda selalu di pandang hina. "San, aku mau mengadakan resepsi," ujar Tante Rini bersemangat. "Tidak bisa, pernikahan harus di kotaku," tolak mama. Ketegangan terlihat jelas di mata kedua sahabat lama itu. Perdebatan terus terjadi, soal tempat pernikahan dan bagaimana pernikahan akan dijalankan. Aku mulai meradang mendengar mereka yang tidak henti-hentinya saling membenarkan diri. "Mutiara, yuk kita keluar saja!" bisikku. Gadis kecilku menyambut uluran tangan, dan kami melangkah pergi. Rupanya, dia juga tidak nyaman dengan keadaan yang sedang terjadi. Tidak ada yang menyadari kepergian kami berdua, aku dan Mutiara memilih duduk di taman depan. Melihat bunga dan kupu-kupu yang menari bebas. "Kamu ingin menikah dengan konsep apa?" Suara Reynaldi memenuhi gen
Kehebohan terjadi, ketika sinar mentari mulai menampakan cahayanya. Seperti dugaanku, Tante Rini mengundang para kerabatnya untuk datang, sejak semalam. Terbukti dari banyak orang datang. Kini, semua mata tertuju padaku yang duduk di belakang Reinaldi. Aku sebenarnya merasa risih dengan pandangan mereka namun, apa daya. "Saya terima nikah dan kawinnya Gladis binti Hendrawan Riayatdi, dengan mas kawin satu set perhiasan dan satu rumah beserta isinya." Lantang Reinaldi mengucapkan ijab qobul. Semua mengucapkan kata sah, setelah penghulu mengucapkannya untuk pertama kalinya. Meskipun persiapannya singkat namun, hasil yang ada menjadi sangat maksimal hanya dalam beberapa jam saja. "Aku hanya minta ijab di KUA, kenapa seperti ini?" tanyaku kesal. "Kamu tau sendiri, bagaimana mama!" Reinaldi berucap dengan penuh penyesalan. Makin malam, tamu undangan makin bertambah. Tentu saja membuatku lelah. Saat tubuh hampir limbung, Reinaldi mengangkat dan membawaku ke dalam kamar. "Sekar