"Dari mana kamu tau kalau aku ada di sini?" tanyaku penuh emosi. "Sudah-sudah! Kita makan dulu, semua sudah lapar." Papa memotong pembicaraan kami. Lelaki di depanku tersenyum dan duduk dengan santai. "Sampai karpet pun di sediakan!" keluhku. Mama memukul pelan lenganku, agar aku tidak bicara ketus. Namun, senyum laki-laki ini membuatku makin meradang. "Ada yang lucu!" omelku. Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, lalu diam menatapku. Sementara itu, Mutiara lari dan duduk di dekatnya. "Om ganteng, kapan mau ngajak aku beli eskrim?" tanya Mutiara riang. Lelaki itu membalas ucapan Mutiara dan mereka berdua asik mengobrol. Mama sibuk membuka makanan yang sudah tersusun, di karpet merah. Papa sibuk dengan majalah bisnisnya. Aku ... Aku hanya diam. Entah mengapa, aku merasa mereka semua saling dekat satu sama lainnya. Tidak sepertiku yang mempunyai jarak diantara mereka. "Baiknya saya permisi dulu!" ucap Reinaldi kaku, ketika melihatku memandangnya jengah. "Udah, kita makan d
"Bagaimana aku bisa melupakan cinta pertama yang datang dalam hidupku!" balasnya. "Cih," Spontan aku berdecih. "Tuan muda, kaya raya, baru merasakan cinta!" Tawaku mulai menggelegar. Reinaldi menepuk tangannya yang berpasir, dan tubuhnya dia geser menghadapku."Aku tidak butuh pengakuan. Tapi, hanya kamu yang selalu kuinginkan!" ucapnya dengan tatapan tajam. Aku hanya bisa mengedipkan mata, ketika Reinaldi makin dekat. Wajahnya dan wajahku hanya berjarak beberapa centi saja. Hembusan nafasnya yang beraroma mint, dapat tercium olehku. Membuat jantungku berdetak. "Menjauhlah! Atau aku akan berteriak!" ancamku. "Hanya untuk sesaat aku akan menjauh, tapi tidak untuk selamanya!" balasnya. "Tidak ada yang bisa kamu harapkan dari seorang janda sepertiku! Masih banyak gadis di luar sana, yang akan membahagiakanmu. Aku tidak akan menikah lagi hingga akhir hayatku!""Jika begitu, aku akan menemani hingga akhir hayatmu tanpa kamu menyadarinya!"Tentu saja, aku tidak menerima ucapannya yang
Tidak terlihat keanehan di wajah, Aldi. Tentu saja membuatku curiga, karena sepertinya dia tidak ingat telah berbincang denganku melalui video call. "Hai, Nis!" sapaku. Anis menghampiriku dan mencium pipi kanan, kiriku. Wajahnya lebih santai dari suaminya, mungkin karena tadi aku meneleponnya. "Mbak Gladis enggak ngabarin kalau mau ke sini, kitakan bisa siap-siap!" keluh Anis dan di amini oleh suaminya. "Tunggu dulu! Sepertinya ada yang salah!" ujarku. Anis dan Aldi saling berpandangan, mencari jawaban dari perkataanku. Lalu, perhatian mereka beralih padaku. Anis bertanya, apanya yang salah. Dia berpikir pekerjaannya yang salah dan dia minta maaf berulang kali. "Baru kemarin kita video call! Hanya melewati satu malam kenapa sudah lupa?" tanyaku. Tubuhku bersandar pada sofa dan tangan kulipat di depan dada. Anis dan Aldi merubah tau wajahnya, seperti tidak tahu apa yang aku bicarakan. "Mbak ini bicara apa? Video call? Kapan?" tanyanya dengan nada bingung. "Kalian enggak usah b
"Bagaimana kamu bisa tau!" tanyaku dengan pandangan menyelidik. "Kamu lupa siapa aku?" Reinaldi balik bertanya. Benar, dia adalah dokter. Kemungkinan, terjadinya hal itu berada di rumah sakit tempat Reinaldi bekerja. "Siapa yang meneleponku dan membuatku membawa kedua orang tua juga anakku kemari!" Aku jadi tersulut emosi saat bertanya pada Reinaldi. "Pastinya dia orang yang sama, yang ada di dalam video itu." Reinaldi menjelaskan. Aku memandang Anis dan Aldi, dengan tatapan penuh kekesalan. Mereka mengaku tidak melakukannya, tapi ternyata ucapan Reinaldi mematahkan ucapan mereka. "Bukan mereka!" sergah Reinaldi. "Mereka juga ada di dalam video dan suara mereka tidak ada bedanya!" ujarku. Reinaldi lalu menjelaskan bagaimana Anis dan Aldi ada di dalam video itu. Aldi meradang mendengarnya, seakan-akan dirinya sebagai jaminan dari pembuat video call tersebut. "Percayalah, dia hanya ingin kamu datang ke mari!" ujar Reinaldi menyelesaikan ucapannya. "Aku tidak yakin seb
Sekilas, aku melihat amarah Mas Kelvin di wajahnya. Membuatku menggeleng-gelengkan kepala tanpa sebab, mengingat kenangan yang sudah lama kukubur bersama kebohongannya. "Berdiri di depan pintu!" ujarku dengan pandangan jengah. Reinaldi mengikuti langkahku, setelah memastikan mobilnya aman terkunci. "Kamu kenapa tidak membuka hati untuk wanita lain?" tanyaku. Langkah Reinaldi terhenti, dan aku mengikutinya. Reinaldi diam sembari memandangku, lalu berganti memandang ponselnya. "Hmmm, lebih baik kita urungkan bertemu mantan suamimu!" ujar Reinaldi lirih. Ah, ternyata dia sama saja. Tidak menerimaku dengan masalalu yang pernah ada. Langkah kuayunkan lagi, meninggalkan Reinaldi dalam kegamangan. Lalu terdengar langkahnya mengikutiku. 'Lelaki aneh!' gumamku, yang kuyakin dia mendengarnya. Kami terus berjalan, karena aku tidak tau di mana kamarnya. Maka, aku meminta Reinaldi yang berjalan lebih dulu namun, lelaki tinggi ini tidak mau berjalan di depanku. Dia dengan berani m
"Maaf, kamu bilang! Kamu punya hati enggak sih, Mas? Sejak menikah, kamu ambil alih semua usaha yang kurintis dengan alasan agar aku fokus mengurus rumah tangga. Kamu menyentuhku dengan kasar, setelah kamu usir aku untuk tidur berbeda kamar. Setiap bulan kamu jatah pengeluaranku, sehingga aku harus memutar otak! Saat aku hamil, kamu menuduhku selingkuh dan tidak mengakui anakku!" Bibirku dengan lancar menghitung kesalahannya. Dia diam dan tetap berlutut di depanku, tidak berani mengangkat wajahnya meski hanya sesaat. "Inikah lelaki pongah yang pernah hidup denganku, inikah laki-laki yang sering melayangkan tangannya ke wajahku ketika aku ada kesalahan yang tidak seberapa. Lelaki yang lebih mendengarkan perkataan ibunya yang tidak benar, di bandingkan istrinya yang jujur." Terus aku menghitung kesalahannya. Tidak ada respon darinya, dia tetap bersimpuh tanpa suara dan gerak. Membuatku makin emosi. "Aku adalah wanita bodoh, yang masih percaya ucapan manismu, ketika kamu melakukan
"Rujuk?" tanyaku dengan nada mengejek. "Ha ... Ha ... Ha, kamu pikir hatiku terbuat dari apa?! Sehingga bisa memperlakukanku seenaknya berulang! Kamu tau, tidak ada kamu di hidup kami, serasa dunia milikku dan Mutiara! Jangan lagi kamu masuk dan menjadi bagian dalam hidup kami!" ucapku lantang dan terdengar menggema di ruangan ini. Mas Aditya mendekatiku dan memegang kaki, ketika aku berbalik. Cukup sulit melepaskan diri dari lelaki ini, meskipun sakit tenaganya masih sangat kuat. "Dis, biarkan aku bahagia di hari-hari akhirku! Dan biarkan aku mengenal putriku," rengeknya."Kamu akan aku perkenalkan pada putriku. Ingat! Putriku!" ujarku memberinya ultimatum. "Tapi, tidak akan pernah membiarkanmu hidup diantara kami lagi." tambah kuat. "Dis, kumohon. Kamu wanita baik, dan aku ingin menjadi pendampingmu selama sisa hidupku!" rayunya. "Justru aku wanita baik, tidak ingin berubah menjadi wanita lebih jahat untuk membalas perbuatanmu kelak!""Dis, ini bukan kamu. Kamu wanita penurut, d
Lagi-lagi, Reinaldi membuang napas kasar. Kali ini melalui mulutnya, hingga pipinya menggembung. "Tidak bisakah kamu memberikan satu kesempatan untukku? Apapun syarat darimu, aku akan menerima dan menjalaninya." Reinaldi sepertinya benar-benar kukuh pada pendiriannya. "Untuk apa? Aku hanya fokus pada Mutiara, dan ingin menjadikan dia wanita yang hebat.""Sepertinya, kamu tidak membiarkanku untuk membuktikan keseriusanku. Jalan satu-satunya, aku akan menculikmu, saja!" ujarnya. Tentu saja aku meradang mendengar ucapanya. Dia tidak ada bedanya dengan Kelvin dan Aditya, selalu memaksakan kehendaknya. Tidak peduli, perasaan orang lain. "Aku kira kamu berbeda, ternyata sama saja! Bawa pergilah raga ini!" ucapku kesal. "Dis, itu hanya bentuk kekesalanku saja. Jika aku berniat menculikmu, sudah kulakukan saat kamu melupakan kenangan bersamaku. Ambil ponselku, pinnya tanggal lahirmu. Lihat di galeri, berapa banyak video tentangmu yang tidak pernah hilang dan selalu kujaga. Bahkan ponselku