*** "Ma, Pa ini rumah baru kita, belum jadi milik kita sih!" ujarku dengan tersenyum kaku. "Kita mulai dari awal lagi, Nak." Papa mengusap punggungku. Kami masuk di dampingi oleh pemilik rumah, dan di perlihatkan beberapa ruangan yang sangat unik. Mutiara terlihat sangat senang, di sini banyak mainan anak-anak yang tidak di bawa oleh pemilik rumah. "Terima kasih, Pak. Untuk sisa pembayaran, akan saya transfer seminggu lagi." Aku mengatakannya dengan tidak enak hati. "Santai, Mbak. Semoga betah, bisa di beli," ujarnya dengan senyum mengembang, "ya, sudah, saya permisi dulu. Mari, Pak, Bu."Kami melanjutkan dengan menata baju-baju, mengganti sprai, dan gorden yang terlihat usang. Lalu, kami melihat sekitar untuk kedua kalinya. "Kayaknya, mama bakalan betah. Tempatnya asri dan luas, di belakang bisa kita tanami bunga dan lainnya." Mama terlihat terlalu antusias. "Ma, aku langsung liat cafe, ya. Supaya bisa cepat beroperasi, dan bisa menopang keuangan keluarga kita." Aku pamit beran
"Ternyata, mantan suaminya meninggal karena ...." ungkap Rima namun, terhenti begitu saja. "Apakah bibikmu yang di rumah sakit waktu itu?" tanyaku penasaran. "Bukan, Mbak. Adiknya, mereka berdua menikahi satu laki-laki. Tapi, laki-laki brengsek!" Rima memukul kemudi, dan terisak. Sepertinya ada sesuatu yang salah dari Rima, dan aku tidak ingin melanjutkan pertanyaanku lagi. Takut sesuatu yang buruk akan mempengaruhi Rima. Aku memilih menikmati perjalanan dengan bersenda gurau dengan Mutiara, yang tadi kebetulan menyela dengan pertanyaannya tentang sekolah. "Rima, aku enggak jadi pergi ke cafe. Aku benar-benar lelah hari ini, tapi jika kamu butuh teman kita bisa ngobrol di kamarku." Setelah sampai di rumah, aku menawarkan diri ketika melihat Rima yang murung. Rima menatapku, matanya berbinar dan mulai terlihat genangan air di sana. Aku membawanya masuk ke dalam dan meminta Mutiara untuk berganti pakaian bersama Bik Asih yang sudah menunggu kepulangan kami. "Kamu duduk dulu, atau k
Kamera video kembali mengarah pada Aldi dan Anis. Lalu mereka menceritakan jika Mas Aditya ingin bunuh diri, ketika tahu semua hartanya sudah habis tak bersisa dan istrinya meminta cerai dan mengakui jika anaknya bukanlah darah daging dari Mas Aditya. Rasanya sesak, dan membuatku memilih mematikan panggilan video dari Anis. Kuletakkan ponsel dan menemui mama, untuk bertanya. "Ma," panggilku, ketika aku melihat mama sedang mengupas buah untuk papa. "Ada apa?" tanya mama tanpa melihatku. "Ma, tadi Rima menceritakan tentang dirinya dan itu membuatku berpikir tentang Mutiara di kemudian hari. Apakah aku harus mempertemukan Mutiara dengan Mas Aditya yang sekarat?" tanyaku bimbang. Mama melirik papa yang diam, karena fokus membaca pelajaran agama. Setelah hening beberapa saat, papa menutup bukunya dan melepaskan kacamata yang dia pakai. "Apa yang Rima ceritakan?" tanya papa, aku yakin papa harus menganalisa sesuatu sebelum memutuskan satu perkara. Akupun menceritakan apa yang telah di
Aku mendekati Mutiara dan menggenggam tangannya erat, netraku dan netranya saling memandang. "Siapa Om itu? Koq mama tidak pernah liat!" Aku berusaha mencari tahu. Takut sesuatu telah menimpa Mutiara. "Aku lupa namanya, Ma. Om ganteng selalu datang kalau mama terlambat menjemput aku. Dia selalu memberi es krim dan coklat! Ups!" Mutiara keceplosan. "Mama sudah bilang! Jangan terlalu sering makan coklat!" Sejenak aku terpancing emosi. "Ngapain itu Om ngasih kamu es krim dan coklat?" tanyaku setelah mampu menguasai emosi. Mutiara menaikan jari telunjuknya ke ujung hidung, tanda dia sedang berpikir. Beberapa kali, jarinya dia ketuk-ketuk. "Katanya, Om ganteng itu teman mama. Dia juga bilang, bakalan jadi papanya Mutiara!" celotehan Mutiara membuat jantungku berdegup tidak beraturan. "Kamu enggak pernah dipegang-pegang, kan?" Aku menyuruhnya berdiri dan melihat seluruh tubuh Mutiara. Mutiara menggelengkan kepalanya, dan mengatakan jika Om gantengnya tidak pernah melakukan hal-hal yan
Bukan perkara mudah, mendidik anak kecil tanpa seorang ayah. Rasa minder, juga tidak percaya diri sering sekali muncul pada Mutiara. Mungkin, aku kurang baik mengurus dan memberinya pendidikan. Padahal, Mutiara tidak pernah kekurangan kasih sayang dariku ataupun orang tuaku sebagai kakek dan neneknya. "Nanti kalau kamu punya anak, kamu akan paham apa yang aku rasakan. Terlebih kamu tidak memiliki suami!" ketusku, ketika mendengar Rima berkomentar. Beberapa kali aku menemui psikolog, hanya untuk memastikan jika gadis kecilku sanggup dan kuat melihat ayahnya yang terbaring sakit. Serta mampu memaafkan dirinya yang telah menyia-nyiakan kami dulu. Aku meminta ijin pada guru Mutiara, karena anakku tidak bisa mengikuti pelajaran selama seminggu. Aku ingin, Mutiara menghabiskan waktu yang singkat dengan ayahnya. "Dis, sebesar apapun kesalahan Aditya. Dia tetap ayah dari Mutiara, dan kamu harus siap menerima kenyataan sepahit apapun. Anakmu masih butuh pigur seorang ayah, meski sesaat. Bia
Papa sepertinya sedang berpikir, karena dia memilih diam dan melihat lurus ke depan. Aku tahu, dia tidak akan pernah meninggalkanku di situasi ini. ***"Mbak, bagaimana jika hotel ini?" tanya Pak Anto ketika mobil terparkir di depan gedung yang cukup luas. "Ya sudah pak ini saja!"Lalu, aku mengajak semuanya untuk keluar dari mobil. Hanya Pak Anto yang tidak ikut, karena harus memarkirkan mobil. "Nanti langsung ke loby, ya, Pak!" pesanku.Aku pun tidak ingin Pak Anto kelelahan, karena dialah yang membawa keluarga dengan mengendarai mobil. "Mbak, apakah jadi ke sini?"Ponselku berdering dan ada nama anis tertera di layar, tentu saja langsung kuangkat panggilan darinya."Jadi, ini papa dan mama malah ikutan!" keluhku namun, disambut dengan tawa renyahnya. "Siap, bos. Kami menunggu!" jawabnya, dan aku langsung mematikan panggilan.Setelah memesan kamar, dan kami mendapatkan kunci. Aku meminta ijin pada semua untuk pergi sebentar, membeli makanan. Sepanjang jalan, tidak kutemukan ma
"Dari mana kamu tau kalau aku ada di sini?" tanyaku penuh emosi. "Sudah-sudah! Kita makan dulu, semua sudah lapar." Papa memotong pembicaraan kami. Lelaki di depanku tersenyum dan duduk dengan santai. "Sampai karpet pun di sediakan!" keluhku. Mama memukul pelan lenganku, agar aku tidak bicara ketus. Namun, senyum laki-laki ini membuatku makin meradang. "Ada yang lucu!" omelku. Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, lalu diam menatapku. Sementara itu, Mutiara lari dan duduk di dekatnya. "Om ganteng, kapan mau ngajak aku beli eskrim?" tanya Mutiara riang. Lelaki itu membalas ucapan Mutiara dan mereka berdua asik mengobrol. Mama sibuk membuka makanan yang sudah tersusun, di karpet merah. Papa sibuk dengan majalah bisnisnya. Aku ... Aku hanya diam. Entah mengapa, aku merasa mereka semua saling dekat satu sama lainnya. Tidak sepertiku yang mempunyai jarak diantara mereka. "Baiknya saya permisi dulu!" ucap Reinaldi kaku, ketika melihatku memandangnya jengah. "Udah, kita makan d
"Bagaimana aku bisa melupakan cinta pertama yang datang dalam hidupku!" balasnya. "Cih," Spontan aku berdecih. "Tuan muda, kaya raya, baru merasakan cinta!" Tawaku mulai menggelegar. Reinaldi menepuk tangannya yang berpasir, dan tubuhnya dia geser menghadapku."Aku tidak butuh pengakuan. Tapi, hanya kamu yang selalu kuinginkan!" ucapnya dengan tatapan tajam. Aku hanya bisa mengedipkan mata, ketika Reinaldi makin dekat. Wajahnya dan wajahku hanya berjarak beberapa centi saja. Hembusan nafasnya yang beraroma mint, dapat tercium olehku. Membuat jantungku berdetak. "Menjauhlah! Atau aku akan berteriak!" ancamku. "Hanya untuk sesaat aku akan menjauh, tapi tidak untuk selamanya!" balasnya. "Tidak ada yang bisa kamu harapkan dari seorang janda sepertiku! Masih banyak gadis di luar sana, yang akan membahagiakanmu. Aku tidak akan menikah lagi hingga akhir hayatku!""Jika begitu, aku akan menemani hingga akhir hayatmu tanpa kamu menyadarinya!"Tentu saja, aku tidak menerima ucapannya yang
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men