Brakk! Pintu kamar terbuka dan ketiga anak mereka menghambur masuk. "Mamah nggak papa?" teriak mereka bersamaan. Nisa spontan mendorong tubuh Iman hingga jatuh dari tempat tidur. "Aaaw!"Bruk! Iman sukses mendarat di lantai.Mereka semua terkejut. Termasuk Nisa. Ia bergegas turun dan mengulurkan tangannya. "Maaf, Pah. Nggak sengaja." Iman mengusap pantatnya seraya menatap ketiga anaknya dengan gusar. "Kalian ngapain sih mendadak masuk begitu? Bukan ketok magic dulu?" Iman ini. Dalam keadaan kesal begini masih bisa bicara ngawur. "Ketok pintu kali, Pah." dumel Doni. Ia langsung menghampiri Mamahnya yang langsung duduk di sisi tempat tidur. "Mamah kenapa tadi? Kok teriak?" Nisa melongo. Ia bahkan sudah lupa kalau ia menjerit tadi. Ia menatap anak - anaknya dengan heran. Nino dan Deni mengangguk membenarkan pernyataan adiknya. "Mamah nggak teriak, kok?" Iman menggeleng - geleng. Selain mudah marah, Nisa ini juga mudah melupakan sesuatu yang baru saja terjadi. "Mamah tadi teri
"Mala berhenti, Mah.""Kenapa?""Dia sering sakit. Katanya nggak enak nggak masuk kerja mulu."Saat itu usia Rifki hampir berusia setahun dan sudah bisa berjalan.Mala berhenti bekerja dengan alasan sakit dan ingin beristirahat.'Ya, baguslah.' dalam hati Nisa bersyukur.Sejak saat itu Rifki dibawa oleh Wiwi saat bekerja untuk dititipkan pada ibunya. Pulang bekerja Ia akan mengambilnya lagi untuk dibawa pulang. "Kenapa nggak ditinggal aja, sih?" protes Iman. Ia merasa kehilangan cucunya karena Rifki hanya ada di rumah saat sore. Waktu berkumpul mereka hanya sebentar. Pagi - pagi ia sudah dibawa lagi. "Siapa yang jagain, Pah? Kasihan Mamah." Wiwi tidak ingin menambah beban pekerjaan Nisa. "Mala nggak sakit. Ia pindah bekerja pada anak tetangga sebelah." beritahu Tika dengn rasa kesal yang berusaha ia tutupi. Tetangga sebelah? Tetangga sebelah mereka hanya Yanah. "Siapa maksud Kamu, Wi? Tika atau Bandi?""Mbak Tika." Tika memang baru saja melahirkan anak ketiganya. Nisa menghela
"Projek apa, sih?" sengat Iman."Projek. Tugas dari sekolah." jelas Nisa."Uang mulu!" dumel Iman. Doni cemberut. Papahnya ini selalu ngomel sebelum memberinya uang. Kenapa nggak langsung ngasih aja, sih? Bikin sakit hati aja!Doni selalu malas untuk meminta keperluannya pada Papahnya itu. Ia segera beranjak menuju ke kamarnya. "Mamah punya uang?" bisik Iman. Nisa menggelengkan kepalanya. "Lah, itu Mamah janji besok?" Nisa inigin meminta pada Deni sebenarnya. Tapi,"Makanya Papah cari, dong. Kali aja ada yang buang di jalanan!" ketus Nisa. Netra Iman membeliak mendengar jawaban Nisa. Tapi pada dasarnya Iman ini sangat menyayangi anak - anaknya. Hanya ia terlalu malas. Iman melihat jam dinding. Sudah hampir jam 1 siang. "Mamah tungguin Raka, ya? Sebentar lagi Nino juga pulang.""Papah mau nyetrum lagi?" alis tebal Nisa bertaut. Iman mendelik. "Papah mau nyari uang. Kali aja ada yang buang di jalan!" dumel Iman kesal. Mau tak mau Nisa menahan senyumnya. "Asal jangan jadi tukang mi
Iman yang ingin masuk kamar tertahan di balik pintu. Ia tercenung mendengar pertanyaan Doni. "Kenapa Mamah yang selalu punya uang jika diminta sedang Papah enggak? Kan Papah yang nyari uang?"Itulah kehebatan seorang ibu. Ia dapat memilih mana yang harus didahulukan. Ia memilih tidak membeli apa - apa asalkan kebutuhan si anak tercukupi. Uang 50 ribu di tangan Iman akan berbeda jalannya dengan uang yang sama di tangan Nisa. Itu yang terjadi pada hampir seluruh ibu - ibu di dunia ini. Mau dibuktikan? Iman lalu memasuki kamar. "Kamu nggak percaya sama Papah?" Iman memelototi Doni. "Begini, 'kan." Doni bangun dari sisi tempat tidur. "Belum juga apa - apa udah ngomel - ngomel. Malas, 'kan?" Iman melongo saat Doni langsung keluar dari kamar setelah mengucapkan itu. "Papah salah, ya?" keluh Iman. Selama pemancingan tidak beroperasi semua biaya sepenuhnya berasal dari dirinya. Meskipun itu jauh dari kata cukup. "Papah duduk dulu." ajak Nisa. Ia menepuk sisi tempat tidur yang ditingg
"Teh Yanah sakit." Itu berita yang Nisa terima saat Nisa pulang. "Sakit apa?""Nggak tau. Tubuhnya terus ngeluarin keringat dingin. Terus gelisah ngeliat orang yang datang nengokin.""Kok gitu?" Nisa tidak jadi merapikan pakaian dari dalam kopernya. Ia mengambil oleh - oleh kue kesukaan Yanah. "Mamah lihat dulu, deh." tapi Iman menahannya. "Jangan, Mah." Nisa menoleh. Tentu saja ia heran. "Kenapa, Pah? Mamah mau kasih kue ini. Teh Yanah 'kan suka banget.""Teh Yanah nggak mau ketemu orang. Apalagi Kamu." kata Iman ragu - ragu. Ia tahu betul ketidaksukaan Yanah pada Nisa.Nisa semakin penasaran."Nanti Mamah berdiri dulu di depan pintu kamarnya, deh. Kalau Teh Yanah ngelarang Mamah masuk, ya udah. Mamah pulang." akhirnya Iman setuju. Ia sendiri mengantar Nisa ke rumah Yanah. "Masuk, Nisa." Ijay justru memintanya masuk. Ia sendiri duduk di ruang tamu depan kamarnya. Ia sedang mendinginkan tubuhnya yang kegerahan. "Teteh sama siapa?" tanya Nisa."Sendiri. Anak - anak baru aja pulan
Nisa memintanya untuk banyak minum karena keringatnya yang tidak kunjung berhenti. Nisa takut Yanah dehidrasi."Kamu ikut ya, Nisa." pinta Yanah mengiba. Nisa langsung teringat pada Sari yang saat itu juga memintanya ikut untuk melakukan pengobatan. Tapi saat itu ia tidak dapat ikut."Tika di rumah aja, ya? Tika nggak bisa izin, Mah." Yanah mengangguk. Ia tahu anak - anaknya sibuk dengan pekerjaannya. "Aku ikut." ucap Yanti memaksa. Yanah menatap Yanti dengan perasaan tak suka. Daritadi Yanti hanya mondar mandir nggak jelas bahkan ikut memakan makanan yang dibawakan oleh Nisa. "Ikut ya, Nisa?" Yanah mengulangi permintaannya tanpa mengindahkan ucapan Yanti. "Ya." Nisa menggenggam tangan Yanah untuk menenangkannya. "Kapan Kita berangkat?""Besok pagi." jawab Hasby. "Man, Kamu yang bawa mobil." titahnya. Iman mengangguk. Kalau Hasby yang meminta ia tidak dapat menolaknya. Mereka berencana di tempat yang terpisah, jadi Iman tidak tahu kalau Nisa akan ikut dan Nisa juga tidak tahu
Nisa menatap orang yang terlihat 'slebor geboy' itu. Nisa mengagumi keahliannya mengobati Yanah tapi ia tidak suka melihat 2 istri yang ia himpunkan dalam 1 rumah. Kakak beradik pula. "Siapa lagi yang mau diurut?" tanyanya bersahabat. Yanti membuang wajahnya. Ia masih kesal dengan omongan orang itu tadi. Entah bercanda atau tidak. Iman menatap Nisa. Mungkin Nisa harus diurut. Bukankah Nisa juga pernah sakit parah waktu itu? Iman ingin Nisa sembuh total dan tidak kambuh - kambuh lagi. "Mamah mau diurut?" bisiknya pada Nisa. Tentu saja Nisa menolak. "Papah mau Mamah dijamah oleh laki - laki lain?" Nisa balas berbisik. Membayangkan dirinya disentuh oleh laki - laki itu seperti ia mengurut Yanah tadi membuatnya jengah. "Papah tau Mamah nggak mau disentuh laki - laki lain meski itu buat pengobatan?" desis Nisa marah. Bahkan ia memilih melahirkan pada Bidan daripada Dokter karena kebanyakan dokter kandungan adalah laki - laki. Iman tentu saja tidak rela istrinya dijamah laki -laki l
Hasby meminta Ijay memanggil Iman agar dapat segera meningalkan tempat itu. Sungguh, ia merasa jengah setiap kali jemari tangan Ratna mengusap lengannya. Ia hanya dapat menarik tangannya dan melipatnya di depan dada. Rasanya ia ingin berteriak, 'Edi! Bawa jauh - jauh orang gila ini dari hadapanku!'Tapi ia menahannya. Tak tega rasanya melihat pendar cahaya yang keluar dari netra Edi, adiknya yang belum lama ini kehilangan istrinya. Sebelum Ijay memanggilnya, Iman dan Nisa sudah kembali. Iman memalingkan wajahnya saat melihat Ratna. Rasanya rugi bandar kalau melihatnya sebentar saja. "Kita pulang sekarang, Bang?" tanyanya pada Hasby. Hasby mengangguk. "Tapi Saya 'kan belum makan, Bang?" rengek Edi seperti anak kecil. Iman mendengus. Edi ingin terlihat manja di depan Ratna. 'Dari tadi ngapain aja sih, Bang?!' omelnya dalam hati. Ratna juga menyadari kalau Iman tidak menyukainya. Ia juga diam - diam mengagumi kecantikan Nisa yang jelas terpancar meski tidak ada sapuan make up d
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k