"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami."Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot. Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu. Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka. Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu.. Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana. Kepalanya langsung pusing. "Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa. "Mamah pusing! Mamah harus be
Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati."Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah. "Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak. Tak terdengar jawaban dari Nisa. "Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat. Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini. Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pega
Kembali ke hari sekarang.Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan. "Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada. Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya. "Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya. "Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan. Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah. "Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis. "Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar
"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya