Kembali ke hari sekarang.
Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan.
"Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada.Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya."Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya."Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan.Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah."Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis."Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar oleh Nisa yang sedang memasak di dapur.Wiwi menghentikan gerakannya mengepel. Alisnya mengernyit. Matanya menatap papah mertuanya ini dengan tajam."Memang Papah punya duit?" hatinya mulai kesal.Semalam ia mendengar pertengkaran mertuanya ini. Diakhiri dengan tangisan mamah mertuanya.
Ternyata papah mertuanya ini masih mempunyai uang. Tapi dia begitu tega pada istrinya. Teganya teganya teganyaaa..! Huh!
"Itu,.. Duit anu.."'Duit syaithonnirrojim!' gertak hati Wiwi.Iman tersipu mendengar pertanyaan dari sang menantu. Ia menggaruk kepalanya yang tiba tiba gatal."Nggak lihat." dengus Wiwi kesal. Ia lalu meneruskan mengepel.'Buat sendiri yang merahan, buat istrinya yang biru. Egois banget!' dumel Wiwi dalam hati.Padahal ia tahu mama mertuanya harus menyisihkan sebagian uang belanjanya untuk bekal si bontot. Ia bersyukur suaminya, Nino, tidak seperti sang papah.
Awalnya Iman tidak berani bertanya pada Nisa karena ia tahu akan menerima teriakan lagi dari Nisa. Uang tidak ada, kekesalan yang nanti ia dapat.'Nggak jadi deh, mancingnya.' gerutu hati Iman.Tapi rasa penasaran begitu merajai hatinya. Ia pun menghampiri Nisa yang sedang menggoreng bakwan.
Nisa tak mau menoleh meski ia menyadari suaminya ini ingin menanyakan uangnya yang jatuh itu.
"Mamah bisa belanja, duit dari mana?"Secara tidak sadar, ia mengakui uang yang diberikannya semalam tidak cukup. Apalagi Nisa lalu memberikan semuanya untuk si Bontot.
Untung Iman bertanya begitu, andai saja ia menanyakan uangnya yang jatuh, Nisa mungkin tidak dapat berbohong. Mungkin, ya. Karena kali ini keadaannya sedang tidak baik baik saja.
Nisa menautkan alisnya. Memang laki laki nggak ada akhlak!"Boleh nyopet!" jawabnya kesal. Mau bagaimanapun, ia tidak mau mengembalikan uang itu!"Kalo ditanya!" Iman melotot seraya mengerucutkan bibirnya.Nisa tidak ingin meneruskan perdebatan mereka. Ia tidak mengacuhkan Iman lagi. Ia langsung mencuci wadah bekas adonan bakwan yang sudah habis.
Iman ingin mencomot bakwan yang sudah matang tapi tangannya ditepis oleh Nisa."Buat makan!"Wajahnya yang di tekuk membuat Iman langsung kehilangan selera. Ia tidak ingin lebih lama lagi berada di sini, ataupun bertanya lagi.
Nisa melihat Iman keluar dengan sudut matanya. Hatinya merasa nelangsa.Dulu, setiap kali ia menemukan uang Iman, ia akan langsung mengembalikannya.Iman memang selalu ceroboh. Seperti tadi, uang itu jatuh karena ia mengeluarkan rokoknya. Kadang tertinggal di saku celananya saat ia melemparkannya ke tempat cucian.Nisa yang melihat uang berwarna merah mengambang di mesin cuci mengembalikannya pada Iman.
"Ini duit Papah? Buat Mamah, ya?""Jangan, Mah. Ini duit buat anu.." Iman dengan cepat menyambar uang itu.Anu, anu dan anu. Itu yang selalu diucapkan Iman. Ia tidak pernah menjelaskan anu itu apa. Dan Nisa pun malas bertanya.
Tapi hari ini kesabaran Nisa sudah habis. Ia tidak mau mengembalikan uang itu."Buat kebutuhan si Bontot." bibir Nisa mengulas senyum.Hatinya sedih tiap kali melihat si bontot. Di usianya dulu, ia mempunyai segalanya. Sekarang Doni kalau menginginkan sesuatu harus selalu mendengar jawaban yang sama. Dari waktu ke waktu."Nungguin Mamah punya uang, ya?"Selalu.... , begituuuu... !"Mah, 3 bulan lagi Doni camping." lapor Doni sepulang sekolah."Bayarnya 700 ribu, Mah. Boleh di cicil dari sekarang.""Bilang sama Papahmu ya, Nang." Nisa selalu membahasakan panggilan 'Nang' untuk anak lanang kesayangan pada ketiga buah hatinya itu."Enggak, ah!""Don, biarpun Papahmu lagi nggak ada uangnya, se enggaknya, Papah Kamu tau, Kamu perlu uang segitu.""Enggak, Mah. Mamah aja yang bilang."Nisa menghela nafas. Selalu begitu. Setiap anak anak membutuhkan dana untuk biaya sekolahnya, Nisa akan menyuruh mereka untuk meminta pada Papahnya. Tapi mereka selalu menolak."Doni nggak mau bilang sama Papah, Mah! Ada juga nanti Doni diomelin!""Diomelin gimana?""Kamu tuh, ya! Sekolah apa, sih? Duit mulu!""Nggak papa, Don. Yang penting Papah tau.""Nggak mau, Mah. Doni jadi sakit hati nantinya. Mamah aja yang bilang, ya?" Nisa mengangguk. Apapun akan ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan Doni. Meskipun ia harus merendahkan harga dirinya dengan meminta pada Wida, mamanya. Tapi sebelum itu, ia akan berusaha mengumpulkannya dulu.Nisa memiliki 3 anak. Semuanya laki-laki. Yang pertama, Nino, sudah menikah dan memiliki 1 anak. Yang kedua Deni, belum bekerja lagi setelah kontrak kerjanya habis. Ia hanya lulusan SMA seperti papahnya. Ia tidak mau kuliah, dan Nisa tidak dapat memaksanya.Doni, si bontot, sudah kelas 1 SMA.*******"Kamu nggak mancing, Man?" tanya Mumu, abang Iman yang no 2."Lagi banyak kerjaan, Bang! Ini aja belum di bongkar." ada 2 mobil yang harus Iman servis."Udah suruh si Bandi aja! Kamu ikut Aku, ya!" Bandi itu anak Yanah, kakak Iman yang no 3. Satu satunya anak perempuan di keluarga haji Samsu, preman yang insyaf setelah pergi berhaji."Tapi, Bang.""Halah, Kamu takut sama si Nisa? Laki bukan sih, Kamu!""Bukan gitu, Bang. Ini yang punya mobil pengen di jadiin sekarang." mobil itu mau di pakai keluar kota."Sebentaran doang!" Mumu melotot. Dia memang selalu begitu. Kerjaannya memaksakan kehendak.Iman mengalah. Ia mencuci tangan dan mengikuti langkah Mumu."Kamu punya duit berapa? " bisik Mumu di tengah teriakan para penyabung ayam.Iman menggeleng. Mumu tidak percaya. Ia langsung menggerayangi kantong celana Iman."Apaan sih, Bang!" protes Iman yang berusaha mengambil kembali dompet yang diambil paksa oleh abangnya itu."Pinjem dulu sebentar." Ia senang melihat banyak lembaran berwarna merah di sana."Bang, itu buat beli onderdil!" teriak Iman."Bentaran juga langsung di balikin!" Mumu lebih nyolot lagi.Ia menarik Lima lembaran merah dari dompet Iman.
Kakak Iman ada 4, 3 lelaki dan 1 perempuan. Kecuali Yanah, semua senang judi sabung ayam. Tapi suami Yanah juga suka. Jadi lengkaplah sudah. Keluarga mereka disebut keluarga panji laras.Mumu salah menjagokan ayam. Dia kalah taruhan. Bagaimana nasib uang Iman?*******"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya
Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da
Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman. Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju? BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua? Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai. "Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan. Hasby hanya diam mendengarkan. "Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini. Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar. "Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah. Akhirnya... "Man, Abang lagi ada ke
Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k