Mereka beramai ramai mengunjungi Hasby hanya untuk menjelek jelekkan Iman.
Ada ya keluarga seperti ini, yang tidak suka melihat saudaranya maju?BANYAAAK.. !Bagaimana Iman dan Nisa menghadapi ini semua?Rencana untuk menghasut bang Hasby dimulai."Bang, si Iman 'kan seneng banget mancing. Masa' tiap hari mancing?""Mancingnya yang bayar lagi, Bang!" cicit Mumu dan Ijay, suami Yanah. Sebenarnya namanya Jaya, tapi orang orang memanggilnya Ijay. Sedang Edi, adik mereka yang no 3 hanya mengangguk membenarkan.Hasby hanya diam mendengarkan."Nanti duit Abang habis lagi, sama si Iman." Ijay semakin mengompori abang iparnya ini.Hasby mulai merasakan resah dalam hatinya. Padahal tadinya ia ingin memberi tambahan modal pada adik bungsunya itu karena tiap hari Iman selalu menyetorkan keuntungan yang ia dapat. Dan itu lumayan besar."Itu duit Abang juga yang Dia kasihin." imbuh Ijay lagi."Hati hatilah, Bang!" ucapan Mumu semakin membuatnya resah.Akhirnya..."Man, Abang lagi ada keperluan nih. Uang Abang kembaliin dulu, ya. " katanya, saat Iman menyetorkan keuntungan untuk abangnya hari ini.Iman tentu saja terkejut. Mengapa begitu tiba tiba?"Tapi Saya baru aja beli mesin mesinnya, Bang. Nggak ada uang di rumah." jelas Iman."Pokoknya Abang mau minta uang Abang." Hasby menekan untuk segera mengembalikan uangnya.Iman pulang dengan perasaan galau.Dipandanginya mesin mesin yang baru saja di belinya. Bagaimana caranya untuk menjualnya dalam 1 hari?Keresahannya terlihat oleh Nisa."Kenapa, Pah?" Iman menghembuskan nafas dengan kasar."Abang mau minta uangnya balik." Hah?"Kenapa?""Katanya Abang ada keperluan.""Ya sabar aja, Pah. Kerjain aja seperti biasa. Nanti uangnya nggak usah Kita belanjain lagi. Nanti Mamah kumpulin untuk bayar Abang."Iman menatap istrinya dengan pandangan yang sulit diartikan."Padahal Papah sedang semangat semangatnya." keluh Iman.Dalam hati Nisa pun mengeluh.'Apa sih, maksud Abang? Kenapa Dia jadi seperti itu?'Mereka mulai kehilangan semangat. Terutama Iman.Siangnya, suruhan Hasby datang untuk menagih uangnya, sedang tak satupun mesin yang Iman kerjakan.Iman shock hingga tak dapat bekerja."Uangnya belum ada, Yip." Iman menunjukkan mesin mesin yang masih terbengkalai."Kata Abang, Abang butuh uangnya." Iman mengangguk."Bilang Abang, ya. Nanti kalau ini sudah selesai juga pasti di bayar." Ayip, orang suruhan Abang itu pulang dengan janji Iman. Nisa yang hanya mendengarkan percakapan mereka hanya dapat menghela nafas. Ia iba melihat suaminya.Sorenya, Ayip datang lagi. Dengan pesan yang sama."Abang minta uangnya. Sekarang." Nisa yang ingin mendamprat Ayip di tahan oleh Iman."Sekarang belum ada ya, Yip. 'Kan mesin mesinnya masih ada. Uang Abang di situ semua.""Tapi Abang bilangnya begitu." tegas Ayip."Bang Iman jangan belanjain lagi duit Abang." katanya itu juga kata bang Hasby. Ia hanya menyampaikan."Saya nggak belanja lagi, kok. Saya mau udahan aja. Pokoknya nanti uang Abang saya pulangin." ujar Iman setengah putus asa. Kalau saja ia perempuan, pasti ia sudah menangis.Ayip pun pulang dengan tangan kosong."Abang kenapa, sih? Kok Dia setega itu sama Papah? Papah itu 'kan adiknya! Nagih utang kok kayak orang minum obat. 3 kali sehari!" gerutu Nisa saat Ayip sudah hilang dari pandangan mereka."Papah bisa - bisa TBC! " keluh Iman seraya mengacak acak rambutnya. Ia juga berkali kali mengelus dada nya. Ia sudah seperti kehilangan akal. Nisa hanya dapat mengusap bahunya untuk memberinya sedikit kekuatan."Mamah jual gelang Mamah, ya? Papah tenang aja."Imam menatap istrinya dengan keharuan yang menyeruak di dadanya. Hanya itu satu satunya barang berharga milik Nisa. Itu juga pemberian ibunya. Apakah ia harus setega itu?Tapi apa lagi yang dapat ia lakukan?********"Dibayarinnya nggak usah semua, ya? Kita sisain 500 ribu, itung - itung upah Kita." Iman memisahkan 5 lembaran merahan."Nggak." Nisa menyatukan lagi lembaran yang dipisahkan oleh Iman."Bayarin semuanya, Pah. Jangan disisain. Mamah nggak mau.""Tapi Kita nggak punya uang lagi, Mah.""Papah masih bisa ngerjain mesin mesin itu." tunjuk Nisa pada mesin mesin yang ada di dalam bengkel mereka."Tapi Papah males, Mah.""Kok, males?""Disini sakit rasanya melihat mesin mesin itu." Iman menunjuk dadanya.Nisa mengerti rasa sakit hati yang Iman rasakan karena ia mengetahui Hasby begitu karena hasutan saudara saudaranya yang lain.Iman terpuruk. Ia bahkan tidak ingin memperbaiki mesin mesin itu lagi. Setelah ia melunasi hutangnya pada Hasby, ia membiarkan mesin mesin itu terbengkalai.Nisa hanya dapat menerima keputusan suaminya itu.Iman kembali ke pekerjaannya semula. Servis mobil."Papah mau mancing lagi?" tanya Nisa melihat Iman sudah siap dengan jorannya."Yang penting uang belanjamu nggak kurang 'kan, Mah?" Ia selalu memberikan lembaran biru tiap hari untuk Nisa. Jumlah yang lebih dari cukup. Nisa bahkan dapat menabung."Tapi nggak tiap hari juga kali, Pah. Nggak bosen, apa?""Nggak, lah." jawab Iman singkat.Iman jadi semakin sering memancing seolah ingin menunjukkan pada saudara saudaranya itu, kalau dia dapat terus memancing meskipun tidak memegang uang Hasby.Sepertinya semua berjalan sebagaimana mestinya, tapi Nisa juga mulai menyimpan rasa sakit hatinya pada kakak kakak iparnya itu."Mona mau jualan nasi uduk di depan." Yanah mengabarkan pada Nisa niat Mona, anak Edi, kakak Iman yang no 4."Boleh 'kan, Nisa?"Nisa mengangguk." Ya bolehlah, Teh. Masa' nggak boleh, sih?" siangnya untuk bengkel, malamnya untuk jualan nasi uduk. Itu yang Nisa pikirkan. Tapi kenyataannya tidak seperti apa yang dia pikirkan.Mona berjualan nasi uduk pada pagi harinya. Katanya, pada saat Iman akan membuka bengkelnya Ia akan menutup dagangannya."Bagaimana bisa mereka menutup warungnya kalau jualannya aja sebanyak itu?!" teriak Iman marah. Ia menyuap nasi uduk yang Nisa beli dari Mona, lalu menelan tanpa mengunyahnya lagi.Ia lalu menyalakan motor yang ia parkir di dalam rumah. Suara gerungan motor terdengar oleh Mona dan suaminya."Mang Iman marah." adu Mona pada sang ayah. Edi pun berkacak pinggang."Bilang sama Dia! Tanah itu tanah bersama! Jangan nguasain, dong!" dan itu sampai ke telinga Iman dan Nisa. Iman bergegas menghampiri Edi."Abang memang mau tanah di depan?""Lah, Kagak!" Edi mengelak."Nyak ngasih ke Aku tanah itu, Bang! Karena buat Aku ngebengkel! Semua juga tahu itu!""Aku nggak tau, tuh." sanggah Edi pelan. Ia pura pura terkejut."Tanya aja sama Bang Mumu! Atau Teh Yanah!" seru Iman kesal.Dan jawaban mereka seragam. Tidak tahu!Nisa merasa takjub. Begitu kompaknya mereka mengatakan kebohongan.Iman menyerah. Bahkan saat saudara saudaranya itu berembuk untuk membuat kontrakan di depan rumah Iman. "Nanti hasilnya Kita bagi rata!" seru Yanah dengan mata berbinar cerah.Mereka tidak perduli bagaimana cara Iman mencari nafkah ke depannya.Imam lagi lagi putus harapan. Nisa hanya menjerit dalam hatinya memohon pertolongan Allah.Ya Allah, bila ENGKAU menghambat rizki Kami karena dosa dosa Kami di masa lalu, tolong ampuni Kami, Ya Allah..Ampuni Kami, Ya GhofurrurrohiimYaa Arhamarraahimiin.IrhamnaIrhamnaIrhamnaIman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati?*********Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati? Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong. Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman. Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain. Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal. "Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya. "Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang. "Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap. "J
Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin
Sepertinya semua sudah beres. "Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar. "Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi.."Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta. "Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya. "Apa?""Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?" "Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun. "Papah bisa pergi?" "Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun. "Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?""Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini. "Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya. "Aku
Kembali ke laptop, eh bukan. Kembali pada Iman, maksudnya.Anto sangat puas. Tidak sia sia ia membawa sahabatnya ini. Iman dengan kepintarannya bekerja dengan cekatan. Mobil mobil yang sudah ia pegang tidak ada yang tiba tiba ngadat di jalan. Bos mereka juga sangat puas."Bang Iman itu hebat sekali, ya!" sayang rumah mereka jauh, andai saja Imam juga tinggal di Jonggol, ia tidak akan memasukkan mobil mobilnya ke bengkel lagi. Cukup Iman yang pegang. Anto ikut bangga untuk Iman. Yang di banggakan malah terlihat cuek. Bahkan ia menolak saat ditawarkan untuk pindah ke Jonggol. Disediakan tempat tinggal pula. Ia juga boleh membawa anak istrinya ke sana. "Hijrah, Man. Hijrah.""Ogah!""Daripada di sono Kamu hidup susah?""Aku nggak susah!""Laah.. ! Istrimu nangis mulu itu?""Sok tau, Kamu!" Iman ngambek. Apa dia lapar lagi? Tatapan Anto menyelidik. Iman membuang mukanya. Ia tidak sanggup jika harus terpisah dengan saudara saudaranya. Meskipun mereka seringkali menyakiti hatinya tapi e
Nisa tidak menyangka, aksinya mencuri uang Iman itu tersebar ke seluruh keluarga Iman. Mereka juga tahu Nisa membayar hutang pada mamanya.Mereka mulai menghasut Hasby."Abang di kasih berapa sama Iman?" Hasby menggeleng. "Iman itu banyak duitnya, Bang. 'Kan pakai tanah Abang, harusnya Abang dapat bagian, dong?" "Iman baru merintis. Mungkin nanti." jelas Hasby. Tapi ia mulai terpancing. Ia memang mendapat jatah berupa sembako tiap bulan dari Nisa. Iman juga membayarkan listriknya jadi ia tidak pernah dipusingkan lagi dengan urusan bayar listrik."Apaan sih, Bang! Si Nisa tuh ngasih Mak nya satu setengah juta sebulan! Sekarang mereka bisa beli TV juga!"Hasby diam. Hatinya mulai panas. Pemancingan itu 'kan tanahnya? Kenapa Dia tidak mendapat bagian? Iman pun di panggil. Lagipula Iman ini terlalu terbuka pada saudara saudaranya itu. Kalau bukan ia yang memberitahu mereka mengenai Nisa yang membayar hutang pada mamanya, darimana mereka tahu? Akhirnya ia pusing sendiri."Iman.." bla b
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k