Buat yang belum mengerti apa itu pemancingan Galatama Lele akan Author coba jelaskan sedikit.Di pemancingan Galatama lele itu, ikan yang sudah terkena kail atau memakan umpan, Ikan itu akan di ceburkan lagi ke dalam empang. Pemancing mendapat poin dari berapa ikan yang ia dapat, juga siapa yang mendapatkan ikan terberat atau disebut babon. Siapa yang mendapat terbanyak atau teberat, ialah juaranya. Ia mendapatkan uang yang mereka bayarkan bersama. Itu judi bukan, sih? Nisa mulai merasa cemas. "Itu lomba, Mah. Bukan judi.Kalau judi, Kita nggak ngapa - ngapain dapat uang. Cuma modal uang doang." pendapat Nino menenangkannya. "Kok gitu? Jadi harus beli ikan terus?"" Iyalah! ""Terus gimana bayar Mamanya?""Dari duit warung aja!" 'Kaaan!"Nggak bisa, Pah. Uang warung Mamah kumpulin buat biaya kuliah Nino." Tidak lama lagi Nino lulus SMA. "Emangnya Nino harus kuliah, ya?""Harus dong, Pah! Emang harus seperti Papahnya?" Iman cemberut mendengar celotehan Nisa. Ia kembali merasa dirend
Anto berdecak kesal."Kamu tega banget, Man! Kita pergi 3 hari 3 malam, lho! Duit yang kemarin pasti sudah habis. Gimana sih Kamu jadi suami?!" Iman melongo. Ia sama sekali tidak memikirkan itu. Karena senangnya, 3 hari kemarin itu serasa sehari baginya. "Jadi kurang, dong!" keluhnya. Anto menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mengeluarkan lagi dompetnya. Kali ini ia mengeluarkan 2 lembaran berwarna merah. Itu uang pribadinya. "Ini buat Nisa. Kasihin! Awas kalau Kamu tilep lagi!" Iman menerimanya dengan senang hati. "Beli jorannya yang sejuta aja kali, ya? Buat Nisa cepek aja." Anto melotot. "Awas kalau berani! Aku patahin Kakimu sekalian!" ancamnya. Iman pun takut. Anto selama ini selalu menepati kata katanya. Ia bisa sangat galak pada orang lain, tapi pada sahabat sahabatnya ia lebih banyak mengalah."Ya udah sana!" balas Iman. "Ngusir nih, ceritanya?""Kagak, Bang! Kali Kamu udah kepagian!" Iman tertawa. Ia tau Anto paling tidak suka dipanggil Abang. Kesannya ia terlalu tua. Pada
"Dengan cara ini baru adil. Nggak ada yang menguasai tanah di depan.""Iya, Bang. Hasilnya juga dibagi rata, jadi nggak ada yang dirugikan." senyum kepuasan tergambar di wajah Mumu dan Edi. Semua karena mereka tidak menginginkan Iman yang menempati tanah paling depan. Untuk menukar atau meminta Iman pindah dari sana tentu saja mereka tidak bisa, karena itu akan ditentang keras oleh Hasby yang mengakui itu memang hak Iman.Mereka takut pada Hasby. Kalau mereka menjual semua tanah ini, Hasby tidak dapat melarang mereka karena tidak ada bagian Hasby di dalamnya. Tiba - tiba Nisa merasa sedih. "Tapi ini peninggalan Nyak, Pah. Tempat Kamu lahir dan dibesarkan. Apa Kamu nggak sayang? Apa Kamu nggak nyesel nantinya?" cecar Nisa. "Mau bagaimana lagi kalau semuanya sudah setuju?""Teh Yanah juga?""Ya."Iman mengangguk. "Kok Teh Yana bisa setuju? Bukannya kemarin Dia..""Bang Mumu dan Bang Edi berjanji akan membagi hasil penjualannya sama rata. Jadi Teh Yanah akan mendapatkan bagian yang
Telunjuk Mumu masih terarah ke wajah Iman. "Kamu nanyanya kayak nggak suka gitu?!""Saya nggak suka gimana emangnya, Baaaang?" Nada panggil Iman mulai panjang karena marah. "Kamu mau nguasain juga?" ketus Edi. "Kok jadi bilang begitu? Kapan Saya nguasain? Nguasain apa, coba?" Iman mulai panas. Mereka tidak dapat langsung menjawab. "Kamu jangan sok ngatur, Man? Terserah Kita mau beli di mana!""Terserah Abang mau beli di mana! Duit ya duit Abang! Saya nggak punya urusan!" Iman melotot. Tangannya sudah terkepal. Edi melirik buku jari Iman yang sudah memutih. Pertanda Iman mengepalkan tangannya dengan sangat keras, pertanda ia sedang menahan kemarahannya. Ini gawat. Diantara mereka hanya Iman yang jago berkelahi. Mereka hanya jago adu mulut saja. Edi menarik Mumu. "Ayo, Bang. Kita ke rumah Bang Hasby!"Mumu yang tidak dapat membaca keadaan justru menolak dan berkata:"Emang Kamu itu sok kuasa, Man! Apa apa mau Kamu kuasain. Sekarang semua tanah Bang Hasby juga.."Buk!Bruk!Mumu
Mata Yanti hanya tertuju pada Iman. Ingin rasanya ia balas menonjok Iman. Tapi seperti Mumu, hanya mulutnya yang terlatih untuk adu mulut. "Suami Kamu ini nggak ngehargain Abangnya! Udah tau Bang Mumu lagi mabok, pakai dilayanin omongannya!""Orang mabok ngapain dihargain?" gerutu Iman sebal. "Pah?" "Kamu nggak boleh begitu sama Bang Mumu. Dia itu lebih tua dari Kamu! Bilangin Suamimu dong, Nisa?" pelototan marah Yanti berubah menjadi pelototan kaget setelah ia berpaling pada Nisa. "Pipi Kamu kenapa, Nisa?" Nisa tersenyum kecut. Apa yang dapat ia katakan? "Ini semua gara - gara Bang Mumu!" Yanti terkaget kaget mendengarnya. Bang Mumu hanya mengatakan pipinya biru karena ditonjok Iman, apa masalahnya, ia tidak mau menceritakannya. "Kamu nggak papa, Nisa?" sikapnya berubah lebih lunak. Ia lalu duduk di depan Nisa. Ia merasa iba melihat Nisa seperti itu. "Nggak papa, Teh. Ini udah dikompres sama Iman.""Bang Mumu yang nonjok?" tanyanya tidak percaya. Sekasar - kasarnya Mumu, ia ti
Perempuan itu memang manis dan masih sangat muda. Nisa tidak habis pikir, mengapa ada laki - laki yang tega menyia - nyiakan perempuan yang begitu terlihat manis seperti ini. Nisa saja begitu bertemu langsung suka dan jatuh hati, apalagi kaum adam? "Nama Saya Tini, Bu. Kata Teh Maya Saya boleh kerja di sini?" Nisa mengangguk. "Tapi kalau Ibu boleh tahu, kenapa Kamu bercerai? Bukannya anak Kamu masih kecil - kecil?" Tini tertunduk. Entah apa yang ia rasakan atas pertanyaan Nisa tadi. "Maaf, Tin. Kalau ucapan Ibu nyakitin perasaan Kamu." ucap Nisa terburu - buru. Nisa tidak melihat ada senyum miring di bibir Tini. "Nggak papa, Bu.Maaf Saya belum bisa cerita, Bu. Rasanya masih sakit." Nisa mengangguk dengan hati iba.Malam ini Tini mulai bekerja di warung pemancingan. Kehadirannya membuat heboh para pemancing dan karyawan Iman."Mereka bersedia mengantar dan menjemput Tini pulang pergi bekerja. "Udah keduluan sama si Rasya." keluh Juned. "Kamu 'kan punya istri, Ned. Ngapain Kamu i
Setelah Mumu pergi, Nisa juga ingin bergegas masuk ke dalam rumah. Ia ingin melepaskan tangisannya di atas bantal. Tapi baru sampai pintu Iman menegurnya."Mau kemana, Mah?""Kan tadi disuruh Masuk? Dasar plin - plan!"Iman melongo. Sebenarnya ada apa, sih?"May, sebenarnya ada apa, sih?" Hanya Maya yang dapat diminta pertanggungjawabannya. Bukan pertanggung jawaban juga, sih.. Maksudnya diminta penjelasannya karena ia yang dari tadi bersama Nisa di sini. Ia pasti tahu kejadiannya. "Maya nggak pinter cerita, Bang. Nanti malah salah." "Udah, cerita aja. Kenapa Bang Mumu sampai melabrak Nisa?""Iya, Bang. Tapi sebelumnya, kalau ada salah - salah kata, maafin Maya, ya.""Kok malah pidato? Ayo cepetan cerita!"Maya berusaha mengingat. Ia terlihat bingung. "Darimana dulu, ya?" Iman mengacak kasar rambutnya. Mau mengacak rambut Maya nanti dibilang pelecehan."Jangan bertele - tele! Cepetan cerita!" ucapnya tidak sabar."Eh! Iya, Bang!" dengan sedikit gugup Maya mulai bercerita.Mata Ima
Nisa mengulurkan upah Maya untuk hari ini. "Makasih, Mbak.""Hati - hati, May!" setelah memastikan Maya sudah naik ke boncengan suami yang menjemputnya, Nisa masuk ke dalam rumah. Warung Nisa sekarang ada di depan rumah atau menjadi bagian dari rumahnya."Ibu, Saya pulang dulu, Bu." pamit Rasya."kok pulang?""Ada perlu sebentar. Nanti Saya balik lagi, kok." Nisa melihat mata Rasya yang merah. Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu. Lagi - lagi Nisa merasa tidak enak. Ia juga mencium bau alkohol dari mulut Rasya. "Kamu minum, ya?" selidik Nisa. Rasya menunduk. Semua yang bekerja di empang tau kalau Iman dan Nisa melarang mereka minum minuman keras di area pemencingan."Kalian mau mabok di mana - mana terserah! Yang penting jangan di empang Aku!" begitu tegas Iman. Nisa bersyukur, sejelek - jeleknya Iman, ia tidak pernah mau menyentuh barang haram itu. Tidak seperti Bang Mumu dan bang Edi. "Maaf Bu, Saya sedikit pusing.""Rasya, kalau pusing itu minum obat, bukan minum itu!""Saya p