Kita lupakan dulu masa lalu Iman dan Nisa. Masa yang tidak terlalu lama sebenarnya. Hanya hitungan tahun saja. 'Mamaaah! Kartu ulangan Doni ditahan, Mah. Mamah belum bayar uang bangunan, ya? Doni nggak boleh ikut ulangan!' chat Doni pada Nisa. Doni sepertinya panik. Dan kepanikan itu menular pada Nisa. 'Iya, Nang. Maafin Mamah, ya?''Sekarang suruh bayar, Mah. Setengahnya dulu juga nggak papa.' airmata Nisa meluncur turun. 'Mamah belum ada uangnya, Nang. Bagaimana ini?''Gimana dong, Mah?''Mamah pinjem sama pinjol dulu, ya? Tapi ya nggak bisa sekarang bayarannya.''Jangan coba - coba pinjem sama pinjol, Mah. Mamah jangan gitu, dong.' Meskipun bungsu, jalan pikiran Doni itu jauh lebih dewasa dari usianya. Hanya kadang ia terlihat ingin bermanja - manja, seperti ingin tidur bersama sang Mama saat Papahnya menginap di luar kota.'Habisnya Mamah mau kemana lagi, Nang? Itu jalan satu - satunya.''Aduh, Mamah. Jangan gitu, dong. Jangan bikin Doni jadi stress!' hp Doni langsung tidak akt
Dalam keheningan hati, dalam sempitnya jiwa angan Nisa tersesat tak tentu rimba. Ia berusaha mencari jalan keluar. Apa ia sanggup tanpa pertolongan Sang MAHA CINTA?"Ya Allah, berilah hidayahMU pada suami hamba. Kembalikan Dia pada saat Dia masih sangat mencintai Hamba." itu selalu doa yang Nisa panjatkan setelah sholatnya. Apakah Iman akan berubah? "Pagi, Nisa." Nisa yang sedang menyapu terasnya yang luas itu mengangkat kepalanya. Ia tersenyum melihat siapa yang datang. "Pagi, Bang. Mau servis, ya?" Nisa lalu celingukan karena ia tidak mendengar suara mobil datang."Iya, Aku mau servis motorku itu." Putra menunjuk motor yang di parkir di depan rumah Teh Yanah. "Bang Imannya ada, 'kan?" Nisa mengangguk. Hatinya lega karena ada pekerjaan untuk Iman hari ini. Sudah 2 hari tidak ada pemasukan selain dari pemancing yang hanya 1 - 2 orang itu. "Ada di belakang. Lagi ngasih makan ikan, mungkin." Nisa melambai pada Umboh yang sedang duduk di depan rumahnya. "Boh, tolong panggilin Mang
Suasana romantis tiba - tiba hadir. Dipagutnya bibir Nisa yang penuh dan menantang. Nisa membalasnya dengan tak kalah hangatnya. Iman mengeluh. Tangannya mulai mengembara ke bukit kembar milik Nisa."Mmhh.." Nisa ganti mengeluh saat Iman mulai meremasnya.."Aw!" Iman mengaduh karena Nisa tiba - tiba menggigit bibirnya dengan gemas."Mah?!" protes Iman. Ia mengusap bibirnya."Untung saja tidak sampai berdarah!" gerutunya. Nisa menggigitnya cukup keras. Keromantisan yang baru terasa langsung bubar jalan."Ini masih pagi, Pah. Aku belum selesai bebenah! Kamu juga belum mandi. Badan Kamu bau ikan!" Nisa bergegas bangun untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.Iman menggaruk kepalanya. Kelelakiannya sudah terlanjur menegang, bagaimana melemaskannya lagi? "Aaaahh..!!" gerutunya lagi. Ia langsung masuk ke kamar mandi untuk mengguyur kepalanya.Nisa sibuk sepagian ini. Semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakannya setelah Wiwi kembali bekerja. Rifki ia bawa untuk dititipkan di rumah ib
Mereka mendengarkan ceramah yang sama sekali tidak menarik itu. Apalagi Nisa. Hatinya perih mendengar seorang ulama menggunakan kata *nj*ng untuk mengungkapkan kekesalannya. 'Ulama kok begitu.' batin Nisa tidak suka, sementara orang di sekitarnya tertawa terbahak - bahak karena menganggapnya lucu. Di tempat penuh sesak itu ada yang masih mencari kesempatan untuk menjemput rezeki."Kacang! Kacang kacang!""Kacang - kacang!" ada yang berjualan pula!"Nisa, bayarin ini, dong?!" pinta Yanti. Nisa mengangguk. Untung ia sempat mengantongi uang tadi. Yanti masih terus ngedumel. "Awas aja, kalau ngajak - ngajak lagi Kita nggak usah ikut!""Tapi kalau dapat kupon lagi, gimana?" sergah Sari. "Iya, ya." Nisa hanya diam memperhatikan kakak kakak iparnya ini bersungut - sungut sambil terus memakan kacangnya. "Kamu nggak makan, Nisa? Ini enak banget, lho!"Nisa menggeleng. Ia takut haus sedang mereka tidak ada yang membawa minum. Dan benar saja, "Aduuh! Aku kok jadi haus, nih?" keluh Yanti.
Telphon Nisa langsung ditolak oleh Doni. "Nggak di angkat?" Nisa mengangkat bahunya. Bibib bibib..!Doni men chat nya.'Ada apa, Mah. Jangan telphon, Doni masih belajar.''Mamah mau pergi sama Wak Yanah. Kalau Kamu pulang masak mie aja, ya. Mie sama telornya ada di lemari makan.' balas Nisa. 'Mamah mau kemana?''Nggak tau. Ini sama Wak Yanti dan Wak Sari juga.''Oh.' Hanya itu jawaban Doni. "Gimana? Jadi ikut, 'kan?"Nisa mengangguk menanggapi pertanyaan Yanti. Sari menghela nafas lega. Ia sendiri tidak ada yang perlu dipikirkan. Anak - anaknya sudah menikah semua. Sedang Yanti anaknya juga sudah bekerja dan tinggal di luar kota."Hayuk!" Ijay akhirnya tiba dan menyuruh mereka masuk ke dalam mobil. "Pah, Kita cari makan dulu, ya?" kata Yanah begitu Ia duduk. Ijay mengerutkan dahinya."Makan? Kemana?""Terserah Papah aja, yang enak di mana."'Kok pakai acara makan, sih?' Ijay menggaruk kepalanya. ia mulai melajukan mobilnya"Emang harus makan dulu ya?""Haruslah! Teh Yanah 'kan u
"Pah?" hanya panggilan berupa desahan yang terlontar dari bibir Nisa saat pagutan itu berakhir."Kita lanjutin yang tadi pagi, ya?" Iman menarik Nisa masuk ke dalam kamar dan langsung menguncinya. Iman perlahan mendorong Nisa ke tempat tidur.Nisa memejamkan matanya saat Iman kembali melumat bibirnya. Ia membalas lumatan itu dengan bergairah. "Emmmhh..' keluh Nisa saat Iman mulai memberi kecupan - kecupan kecil di lehernya. "Paahhh..?" tubuh Nisa menggelinjang sesaat. Tubuhnya mulai terasa terbakar. "Mmm?" nafas Iman mulai memburu. Ia membuka kancing daster Nisa. Begitu terbuka ia membenamkan wajahnya di sana."Awwhh...Geli.. Pah.." Tok - Tok! Tok -Tok!Tok - Tok! Tok -Tok!"Mamaah! Kok dikunci, sih? Doni mau be - a - be!" suara Doni terdengar memaksa. Kenapa anak itu tiba - tiba pulang?"Busyet, dah!" Iman mengucak rambutnya seraya bangun dari atas tubuh Nisa. "Kenapa nggak di kamar mandi sana aja sih, Don?!" seru Iman gusar. Ia sudah berdiri di depan pintu tapi tidak ingin mem
"Hari ini terakhir Kita ngangkatin lumpurnya. Besok lanjut renov, ya?" teriak Iman pada 3 orang karyawannya. Nisa bersyukur, perkiraanya tidak salah. Hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mengangkat lumpur itu. "Besok Papah mulai belanja untuk keperluan renov ya, Mah." Nisa mengangguk senang. Iman mengakui kebenaran pendapat Nisa dalam hatinya, tapi ia tidak mau mengungkapnnya apalagi mengakui kalau Nisa itu benar. Iman langsung belanja untuk keperluan renovasi. Ternyata itu menghabiskan banyak dana. Untung uangnya masih ada. "Tuh, kalau Papah bayar tukang gali itu. Nggak akan cukup 'kan, Pah?" Iman juga senang. Ia bahkan dapat memberi upah pada karyawannya itu. Meskipun tidak banyak tapi mereka sangat senang menerimanya. "Makasih, Bos!" teriak mereka serempak.Akhirnya renovasi selesai. Tapi bagaimana membeli ikannya? "Mah, Bang Ijay nawarin untuk nerusin kredit mobil Kita.""Lah, terus uang muka yang udah Kita bayar gimana? 'Kan, sayang. 40 juta, lho."'Lagian bang Ijay itu a
Alah bisa karena biasa. Itu yang terjadi pada kehidupan rumah tangga mereka. Iman mulai bersikap zalim dengan seenaknya dalam memberi nafkah dan Nisa juga tidak ingin menjadi istri yang banyak menuntut."Senang banget hidupmu sekarang, Man. Mau mancing tinggal mancing. Mau jalan tinggal jalan. Emang nggak mau mikirin yang di rumah?" salah satu dari sahabatnya, Samsul menegurnya.. Samsul datang membawa mobil temannya untuk diservis Iman, tapi Iman sudah siap untuk berangkat memancing. "Lah, mau ngapain lagi? Bukannya hidup itu untuk dinikmatin?" sergah Iman tertawa. Ia masih sibuk merapikan alat memancingnya. "Kamu kayak gitu emang Nisa nggak marah? Nikmat di Kamu, Dia nggak!""Awalnya sih, marah. Tapi kesiniin kayaknya Dia udah biasa.""Masa' sih? Dia sama sekali nggak ngomel kalau Kamu pergi mancing tiap hari?""Kagak! Cemberut mah, iya!" Iman tergelak gelak sendiri. "Bosan kali ya, ngomel juga. Lah, yang diomelinnya batu banget!" sungut Samsul."Lah, itu Kamu tau!" Samsul hanya