Mereka mendengarkan ceramah yang sama sekali tidak menarik itu. Apalagi Nisa. Hatinya perih mendengar seorang ulama menggunakan kata *nj*ng untuk mengungkapkan kekesalannya. 'Ulama kok begitu.' batin Nisa tidak suka, sementara orang di sekitarnya tertawa terbahak - bahak karena menganggapnya lucu. Di tempat penuh sesak itu ada yang masih mencari kesempatan untuk menjemput rezeki."Kacang! Kacang kacang!""Kacang - kacang!" ada yang berjualan pula!"Nisa, bayarin ini, dong?!" pinta Yanti. Nisa mengangguk. Untung ia sempat mengantongi uang tadi. Yanti masih terus ngedumel. "Awas aja, kalau ngajak - ngajak lagi Kita nggak usah ikut!""Tapi kalau dapat kupon lagi, gimana?" sergah Sari. "Iya, ya." Nisa hanya diam memperhatikan kakak kakak iparnya ini bersungut - sungut sambil terus memakan kacangnya. "Kamu nggak makan, Nisa? Ini enak banget, lho!"Nisa menggeleng. Ia takut haus sedang mereka tidak ada yang membawa minum. Dan benar saja, "Aduuh! Aku kok jadi haus, nih?" keluh Yanti.
Telphon Nisa langsung ditolak oleh Doni. "Nggak di angkat?" Nisa mengangkat bahunya. Bibib bibib..!Doni men chat nya.'Ada apa, Mah. Jangan telphon, Doni masih belajar.''Mamah mau pergi sama Wak Yanah. Kalau Kamu pulang masak mie aja, ya. Mie sama telornya ada di lemari makan.' balas Nisa. 'Mamah mau kemana?''Nggak tau. Ini sama Wak Yanti dan Wak Sari juga.''Oh.' Hanya itu jawaban Doni. "Gimana? Jadi ikut, 'kan?"Nisa mengangguk menanggapi pertanyaan Yanti. Sari menghela nafas lega. Ia sendiri tidak ada yang perlu dipikirkan. Anak - anaknya sudah menikah semua. Sedang Yanti anaknya juga sudah bekerja dan tinggal di luar kota."Hayuk!" Ijay akhirnya tiba dan menyuruh mereka masuk ke dalam mobil. "Pah, Kita cari makan dulu, ya?" kata Yanah begitu Ia duduk. Ijay mengerutkan dahinya."Makan? Kemana?""Terserah Papah aja, yang enak di mana."'Kok pakai acara makan, sih?' Ijay menggaruk kepalanya. ia mulai melajukan mobilnya"Emang harus makan dulu ya?""Haruslah! Teh Yanah 'kan u
"Pah?" hanya panggilan berupa desahan yang terlontar dari bibir Nisa saat pagutan itu berakhir."Kita lanjutin yang tadi pagi, ya?" Iman menarik Nisa masuk ke dalam kamar dan langsung menguncinya. Iman perlahan mendorong Nisa ke tempat tidur.Nisa memejamkan matanya saat Iman kembali melumat bibirnya. Ia membalas lumatan itu dengan bergairah. "Emmmhh..' keluh Nisa saat Iman mulai memberi kecupan - kecupan kecil di lehernya. "Paahhh..?" tubuh Nisa menggelinjang sesaat. Tubuhnya mulai terasa terbakar. "Mmm?" nafas Iman mulai memburu. Ia membuka kancing daster Nisa. Begitu terbuka ia membenamkan wajahnya di sana."Awwhh...Geli.. Pah.." Tok - Tok! Tok -Tok!Tok - Tok! Tok -Tok!"Mamaah! Kok dikunci, sih? Doni mau be - a - be!" suara Doni terdengar memaksa. Kenapa anak itu tiba - tiba pulang?"Busyet, dah!" Iman mengucak rambutnya seraya bangun dari atas tubuh Nisa. "Kenapa nggak di kamar mandi sana aja sih, Don?!" seru Iman gusar. Ia sudah berdiri di depan pintu tapi tidak ingin mem
"Hari ini terakhir Kita ngangkatin lumpurnya. Besok lanjut renov, ya?" teriak Iman pada 3 orang karyawannya. Nisa bersyukur, perkiraanya tidak salah. Hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mengangkat lumpur itu. "Besok Papah mulai belanja untuk keperluan renov ya, Mah." Nisa mengangguk senang. Iman mengakui kebenaran pendapat Nisa dalam hatinya, tapi ia tidak mau mengungkapnnya apalagi mengakui kalau Nisa itu benar. Iman langsung belanja untuk keperluan renovasi. Ternyata itu menghabiskan banyak dana. Untung uangnya masih ada. "Tuh, kalau Papah bayar tukang gali itu. Nggak akan cukup 'kan, Pah?" Iman juga senang. Ia bahkan dapat memberi upah pada karyawannya itu. Meskipun tidak banyak tapi mereka sangat senang menerimanya. "Makasih, Bos!" teriak mereka serempak.Akhirnya renovasi selesai. Tapi bagaimana membeli ikannya? "Mah, Bang Ijay nawarin untuk nerusin kredit mobil Kita.""Lah, terus uang muka yang udah Kita bayar gimana? 'Kan, sayang. 40 juta, lho."'Lagian bang Ijay itu a
Alah bisa karena biasa. Itu yang terjadi pada kehidupan rumah tangga mereka. Iman mulai bersikap zalim dengan seenaknya dalam memberi nafkah dan Nisa juga tidak ingin menjadi istri yang banyak menuntut."Senang banget hidupmu sekarang, Man. Mau mancing tinggal mancing. Mau jalan tinggal jalan. Emang nggak mau mikirin yang di rumah?" salah satu dari sahabatnya, Samsul menegurnya.. Samsul datang membawa mobil temannya untuk diservis Iman, tapi Iman sudah siap untuk berangkat memancing. "Lah, mau ngapain lagi? Bukannya hidup itu untuk dinikmatin?" sergah Iman tertawa. Ia masih sibuk merapikan alat memancingnya. "Kamu kayak gitu emang Nisa nggak marah? Nikmat di Kamu, Dia nggak!""Awalnya sih, marah. Tapi kesiniin kayaknya Dia udah biasa.""Masa' sih? Dia sama sekali nggak ngomel kalau Kamu pergi mancing tiap hari?""Kagak! Cemberut mah, iya!" Iman tergelak gelak sendiri. "Bosan kali ya, ngomel juga. Lah, yang diomelinnya batu banget!" sungut Samsul."Lah, itu Kamu tau!" Samsul hanya
"Papah mau renovasi empang. Mobil Kita jual, ya?""Kok sampai jual mobil sih, Pah? Baru juga lunas." keluh Nisa."Emang harus ya, empangnya di renov?" "Empangnya udah rusak parah, Mah. Nanti malah hancur, nggak bisa dipakai mancing." memang sampai begitu parahnya, ya? Kelihatannya sih biasa saja menurut mata orang awam seperti Nisa. Orang yang sama sekali tidak mengetahui seluk beluk keadaan pemancingan."Harus jual mobil, ya?" Nisa dan anak - anak sudah terlanjur sayang sama mobil itu. Nisa tidak pernah kesulitan membayar cicilannya sampai sekarang akhirnya mobil itu lunas terbayar. "Mau dapat duit darimana lagi?" Nisa menyerah. Anak - anak pun merasa sedih. Terutama Nino. Dia sedang senang - senangnya mengendarai mobil itu bersama pacarnya. Semula Iman tidak mengizinkannya membawa mobil itu sebelum memiliki SIM. Sekarang setelah ia punya SIM, mobilnya malah akan dijual.Tapi seperti kebiasaannya, Nino tetap diam. Ia tidak mengatakan sepatah katapun untuk menyatakan kekecewaannya.
"Awas Kamu, Den. Kalau mobil sampai lecet gara - gara Kamu!" Ancam Iman pada anak no 2 nya itu. Entah apa yang akan dilakukannya seandainya itu benar - benar terjadi."Masih belum ada kabar yang mau beli mobil Kita, ya?" tanya Iman pada Nisa. Nisa menunjukkan iklan yang ia kirim di situs jual beli mobil."Yang liat banyak, tapi belum ada yang nawar.""Papah takut tuh mobil keburu lecet sama Deni." sungut Iman kesal. Ucapan itu seperti doa. Itu memang benar. Yang dikhawatirkan Iman akhirnya terjadi. Mobil bukan hanya lecet, tapi penyok parah. Untungnya bukan Deni yang membawa, tapi Nino. "Mobilnya ditabrak dari belakang, Pah. " lapor Nino saat baru pulang dari berpergian. Nisa langsung berdiri dan menghampirinya untuk memastikan keadaan Nino. Sedang Iman langsung berlari keluar untuk melihat keadaan mobilnya. "Kamu nggak papa? Kamu lagi sama Wiwi? Dia nggak papa?" berondong Nisa cemas. Nino menggeleng - geleng. Sebenarnya dahi Wiwi sedikit memar karena terbentur dasbor. Tapi i
Nino mau acara lamaran? Kapan?" tanya Yanti antusias. Iman berkeliling ke rumah saudara - saudaranya untuk mengabarkan hal ini. Yanti bergegas ke rumah Nisa setelah mendengar kabar itu. "Sabtu besok, Insyaa Allah." tutur Nisa. "Aku nanti nyumbang apa, Nisa? Kue? Atau buah?" Nisa tersenyum. "Makasih banyak, Teteh. Tapi kalau Teteh nggak ada, nggak usah ya, jangan malah ngerepotin." tolak Nisa halus. "Ngerepotin apa, sih? Aku juga punya anak laki - laki, 'kan?" Nisa mengerti. Ini maksud Yanti. Agar Nisa juga dapat menyumbang saat Ari akan lamaran juga nantinya. "Kue aja, ya?" putus Yanti Akhirnya. Nisa mengangguk. "Makasih, Teh." Tidak banyak yang mesti disiapkan untuk acara lamaran. Uang Teh, sebutan untuk uang yang diberikan keluarga laki - laki untuk jamuan ala kadarnya yang disiapkan keluarga perempuan sudah disediakan oleh Nino. Kue - kue sumbangan terkumpul dari kakak - kakak dan keponakan - keponakan Iman. Dalam hal ini persaudaraan terasa menghangatkan hati. Apalag