Nino mau acara lamaran? Kapan?" tanya Yanti antusias. Iman berkeliling ke rumah saudara - saudaranya untuk mengabarkan hal ini. Yanti bergegas ke rumah Nisa setelah mendengar kabar itu. "Sabtu besok, Insyaa Allah." tutur Nisa. "Aku nanti nyumbang apa, Nisa? Kue? Atau buah?" Nisa tersenyum. "Makasih banyak, Teteh. Tapi kalau Teteh nggak ada, nggak usah ya, jangan malah ngerepotin." tolak Nisa halus. "Ngerepotin apa, sih? Aku juga punya anak laki - laki, 'kan?" Nisa mengerti. Ini maksud Yanti. Agar Nisa juga dapat menyumbang saat Ari akan lamaran juga nantinya. "Kue aja, ya?" putus Yanti Akhirnya. Nisa mengangguk. "Makasih, Teh." Tidak banyak yang mesti disiapkan untuk acara lamaran. Uang Teh, sebutan untuk uang yang diberikan keluarga laki - laki untuk jamuan ala kadarnya yang disiapkan keluarga perempuan sudah disediakan oleh Nino. Kue - kue sumbangan terkumpul dari kakak - kakak dan keponakan - keponakan Iman. Dalam hal ini persaudaraan terasa menghangatkan hati. Apalag
"Bibii..?!" panggil Tika begitu masuk ke dalam rumah Nisa. "Bibi di kamar, Tika! Masuk sini!" Nisa balik memanggil. Tika melihat Nisa sedang merapihkan baju yang akan mereka kenakan besok. Kemeja lengan panjang dan celana panjang untuk Iman sudah digantung dalam lemari. Kemeja lengan pendek dan celana panjang untuk Deni dan Doni juga selesai dirapihkan. Tinggal digantung dalam lemari. Semua bernuansa batik. "Baju buat Bibi, mana?" tanya Tika. "Tuh." Nisa menunjuk kebaya brukat panjang yang ia gantung di tembok di belakang Tika berdiri. "Baju dari rias pengantin." Nisa menjelaskan tanpa diminta. "Bagus." ucap Tika seraya membelai kebaya itu. "Kemejanya juga dari rias pengantin, Bi?" "Nggak, lah. Itu Bibi beli di tanah Abang." "Bibi ke tanah Abang?" tanya Tika tidak percaya. Bibinya yang satu ini paling malas belanja ke tanah Abang. "Pusing. Terlalu banyak orang." begitu Nisa pernah mengatakan. "Nggak, lah. Bibi minta tolong Mamahmu sama Wak Yanti waktu minggu kemarin m
Lelaaah..! Lelah lahir dan batin. Itu yang Nisa rasakan. Tapi ia kembali dipusingkan dengan adat betawi ini. Ada yang namanya Niga hari, atau selamatan hari ke tiga. Jadi pengantin perempuan diantar ke rumah keluarga suaminya oleh keluarga dan kerabatnya. Mereka membawa masakan beraneka rupa untuk keluarga suami. Banyaknyal juga tidak tanggung - tanggung. 1 baskom besar untuk setiap macam masakan. Keluarga Iman kembali berkumpul untuk menyambut mereka. "Semua yang mereka bawa itu harus ditaksir harganya, lalu Kita bayar." terang Hasby. "Bayar?" Iman tercengang. Ia sama sekali tidak mengerti itu. "Iya. Memang begitu." tandas Yanah. Ia mulai menaksir - naksir berapa yang harus mereka bayar. Nisa sendiri masak - masak juga untuk menyambut keluarga besannya ini. Bayangkan bagaimana repotnya. Ia tidak memberitahu mama Wida karena takut merepotkannya. "Acaranya sebenarnya sama dengan adat Kita. Tapi keluaga Mama sudah lama tidak memakainya karena terlalu merepotkan." begitu Mama Wid
Senyum Iman berasal dari satu sisi dari hatinya. Sisi yang lain menjerit menyalahkannya. 'Kalau malu, kenapa Kamu nggak nambahin uangnya, Man? Nggak bisa, 'kan? Kamu cuma bisanya menekan Nisa!' sisi hati yang itu, Iman mengakui kesalahannya. Hati Iman seperti terbagi 2. Tapi tidak sama besar. Sisi yang kecil dikalahkan oleh sisi yang besar, yaitu keegoisan dan masukan dari saudara - saudaranya. 'Aku nggak suka kalau Nisa tidak bergantung padaku!''Tapi kenapa Kamu malah membiarkan Nisa sendirian mengatasi semua ini?''Biar Nisa merasakan sendiri kesulitannya tanpa Aku! Jangan cuma bisa menyalahkan terus!''Iman, Nisa itu istrimu! Kamu nggak ingin Dia bahagia?''Nisa terlalu sok! Aku ini seperti bukan siapa - siapa! Aku tidak bisa apa - apa! 'Kenyataannya begitu, 'kan? Kamu selalu lari dari tanggung jawab.''Aku tidak bermaksud begitu!''Nisa sangat mencintaimu. Apakah Kamu tidak mencintainya?''Aku..'"Aaahh!" Iman berteriak tertahan saat sisi egonya mengakui kebenaran lawannya.
"Mah, si Raja mau beli mobil Kita. Temennya, sih." Iman menghubungi Nisa melalui hpnya. Saat ini Dia sedang berada di rumah Anto. "Raja mana?""Raja mana lagi, sih? Raja kakaknya si Samsul, lah.""Oh. Alhamdulillah." desah Nisa di depan Hpnya."Mamah siap - siap, ya?""Siap - siap?" Nisa jadi terheran - heran. "Siapin BPKB Dan STNK nya.""Oh, iya." itu 'kan sudah disiapkan sejak ada rencana menjual mobilnya."Mamah juga siap - siap. Temenin Raja Ke tempat temennya Itu." ucap Iman lagi. Nisa tentu saja terkejut."Raja lagi meluncur ke rumah, Mah. Dia udah tau kok Mamah yang mau nemenin Dia.""Kok Mamah? Papah aja, dong. Masa' Mamah berduaan sama Bang Raja?" protes Nisa langsung. Apalagi ia tahu Iman sedang berada di rumah Anto. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah."Papah veteran pulang sekarang, jadi bisa nemenin Bang Raja." titah Nisa. "Papah nggak bisa pulang, Mah. Raja mau nyamper sebentar lagi. Begitu lihat mobilnya, orangnya pasti langsung bayar.""Tapi, Pah
Menunggu memang menyebalkan, apalagi mereka hampir satu jam menunggu di dalam mobil."Udah lama - lama nunggu, taunya nggak jadi." omel Doni. Kini ia berbaring. Kepalanya berada di atas pangkuan Nisa. "Insyaa Allah jadi." ucap Nisa optimis. Nisa meminta Doni untuk duduk."Ayok Kita ambil foto di dalam mobil ini untuk yang terakhir.""Mamah udah yakin aja."Nisa tertawa. Ia memaksa Doni untuk bangun. Doni menurut. Mereka berselfi ria untuk menghilangkan rasa jenuh untuk penantian yang terasa panjang ini. "Nisa, ini orangnya sudah datang." Raja membuka pintu mobil. Ada laki - laki seumuran Raja masuk dan duduk di tempat kemudi setelah mengulurkan tangannya pada Nisa untuk mengajak bersalaman."ibu Nisa, maaf sudah lama menunggu." Ia terlihat mengecek keadaan di sekitar kemudi. "Nggak papa, Pak." jawab Nisa sopan."Ibu pernah masukkin iklan menjual mobil ini di *LX, ya? Sepertinya Saya pernah lihat. Betul, Nggak?" Tanyanya seraya terus memeriksa keadaan mobil di area sekitar kemud
Iman bergegas keluar. Ia ingin membeli makan untuk dirinya sendiri saat tiba - tiba Yanah memanggilnya. "Iman! Mau kemana?""Mau beli makan, Teh!" Yanah melengak. "Sini dulu!" Iman memutar balik arah motornya."Mau beli makan buat siapa?""Buat Aku, lah.""Emang si Nisa nggak masak?""Nggak sempet, kali! Udah keburu pergi." Iman memutar arah motornya lagi. "Et dah! Mau kemana, sih pengen buru - buru pergi bae?""Kan mau beli makan, Iman lapar, Teh!""Ngapain beli? Udah! Makan di sini aja!" titah Yanah tanpa ingin di bantah. Iman menurut saat lengannya ditarik oleh kakak perempuan satu - satunya itu.Yanah membawa Iman ke meja makan. "Makan. Tuh, ada pindang bandeng kesukaanmu!" mata Iman membelalak senang. Ia langsung menuang nasi di atas piringnya dan makan dengan lahap. Yanah iba melihat cara Iman makan yang seperti orang kelaparan. Apa Nisa tidak mengurusnya dengan baik? Lagi - lagi Ia menyalahkan Nisa. Yanah duduk di sebelah Iman."Memang Nisa kemana, Man?" Ia melihat Nisa
Para pahlawan renovasi akhirnya datang pada pagi hari. Batu kali dan yang lainnya juga sudah datang pada malam harinya."Saya Oseng, Pak, Bu." orang yang seperti mandornya itu mengenalkan diri. Nisa menahan senyumnya. "Namanya lucu. Kenapa nggak 'tumisan' sekalian?'"Kopi, Mah!" tegur Iman melihat Nisa tersenyum - senyum sendiri."Mbaaak!" alih - alih mengerjakan perintah suaminya, Nisa malah berteriak memanggil art nya.Si Mbak muncul dengan sapu di tangannya. Ia juga baru datang. Si Mbak ini juga membantu menjaga warung saat malam hari, dibantu oleh anak tetangga sini yang membutuhkan uang untuk biaya sekolahnya. Ia sudah tidak punya Ayah. Ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya menikah lagi. Ayah tirinya justru menyuruhnya berhenti sekolah karena ia enggan mencukupi kebutuhan sekolah anak tirinya itu.Anet, anak ini cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Makanya sang Ibu meminta Nisa menerima Anet untuk bekerja padanya. "Kasihan, Bu. Dia ingin terus sekolah." Nisa tentu saja me