Menunggu memang menyebalkan, apalagi mereka hampir satu jam menunggu di dalam mobil."Udah lama - lama nunggu, taunya nggak jadi." omel Doni. Kini ia berbaring. Kepalanya berada di atas pangkuan Nisa. "Insyaa Allah jadi." ucap Nisa optimis. Nisa meminta Doni untuk duduk."Ayok Kita ambil foto di dalam mobil ini untuk yang terakhir.""Mamah udah yakin aja."Nisa tertawa. Ia memaksa Doni untuk bangun. Doni menurut. Mereka berselfi ria untuk menghilangkan rasa jenuh untuk penantian yang terasa panjang ini. "Nisa, ini orangnya sudah datang." Raja membuka pintu mobil. Ada laki - laki seumuran Raja masuk dan duduk di tempat kemudi setelah mengulurkan tangannya pada Nisa untuk mengajak bersalaman."ibu Nisa, maaf sudah lama menunggu." Ia terlihat mengecek keadaan di sekitar kemudi. "Nggak papa, Pak." jawab Nisa sopan."Ibu pernah masukkin iklan menjual mobil ini di *LX, ya? Sepertinya Saya pernah lihat. Betul, Nggak?" Tanyanya seraya terus memeriksa keadaan mobil di area sekitar kemud
Iman bergegas keluar. Ia ingin membeli makan untuk dirinya sendiri saat tiba - tiba Yanah memanggilnya. "Iman! Mau kemana?""Mau beli makan, Teh!" Yanah melengak. "Sini dulu!" Iman memutar balik arah motornya."Mau beli makan buat siapa?""Buat Aku, lah.""Emang si Nisa nggak masak?""Nggak sempet, kali! Udah keburu pergi." Iman memutar arah motornya lagi. "Et dah! Mau kemana, sih pengen buru - buru pergi bae?""Kan mau beli makan, Iman lapar, Teh!""Ngapain beli? Udah! Makan di sini aja!" titah Yanah tanpa ingin di bantah. Iman menurut saat lengannya ditarik oleh kakak perempuan satu - satunya itu.Yanah membawa Iman ke meja makan. "Makan. Tuh, ada pindang bandeng kesukaanmu!" mata Iman membelalak senang. Ia langsung menuang nasi di atas piringnya dan makan dengan lahap. Yanah iba melihat cara Iman makan yang seperti orang kelaparan. Apa Nisa tidak mengurusnya dengan baik? Lagi - lagi Ia menyalahkan Nisa. Yanah duduk di sebelah Iman."Memang Nisa kemana, Man?" Ia melihat Nisa
Para pahlawan renovasi akhirnya datang pada pagi hari. Batu kali dan yang lainnya juga sudah datang pada malam harinya."Saya Oseng, Pak, Bu." orang yang seperti mandornya itu mengenalkan diri. Nisa menahan senyumnya. "Namanya lucu. Kenapa nggak 'tumisan' sekalian?'"Kopi, Mah!" tegur Iman melihat Nisa tersenyum - senyum sendiri."Mbaaak!" alih - alih mengerjakan perintah suaminya, Nisa malah berteriak memanggil art nya.Si Mbak muncul dengan sapu di tangannya. Ia juga baru datang. Si Mbak ini juga membantu menjaga warung saat malam hari, dibantu oleh anak tetangga sini yang membutuhkan uang untuk biaya sekolahnya. Ia sudah tidak punya Ayah. Ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya menikah lagi. Ayah tirinya justru menyuruhnya berhenti sekolah karena ia enggan mencukupi kebutuhan sekolah anak tirinya itu.Anet, anak ini cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Makanya sang Ibu meminta Nisa menerima Anet untuk bekerja padanya. "Kasihan, Bu. Dia ingin terus sekolah." Nisa tentu saja me
Nisa tersadar saat melihat 3 karyawan Iman seperti sedang menunggu sesuatu. Nisa bergegas ke dalam rumah. Ia lupa belum memberikan upah untuk mereka. "Mau kemana, Mah? Buru - buru amat." tegur Iman heran. "Itu, upah buat mereka belum." tunjuk Nisa pada Juned dan kawan - kawan yang langsung melebarkan senyumnya mendengar ucapan Nisa. "Ibu Bos memang pengertian." ucap Juned dengan maksud menyindir Iman. "Apaan! Mereka kalau udah seminggu aja, Mah! Sekalian!" ucapan Iman menhapus senyum yang sedang merekah di bibir mereka. "Tapi, Pah..""Nanti aja!" Iman bersikeras dengan ucapannya. "Tapi Kita libur besok nggak bisa jalan dong, Bos.." rayu Firman. "Pakai buat istirahat, dong! Jangan malah kelayapan!" bentak Iman. Ia menatap anak buahnya satu persatu. Mereka menunduk untuk menyembunyikan kekesalan mereka. "Ngapain lagi? Pulang sana!" gertakan Iman membuat mereka lari terbirit - birit. "Bos tega banget, sih!" keluh Juned saat mereka sudah tak terlihat lagi oleh Iman. "Iya. Seka
Iman merasa sudah sekuat mungkin berteriak. Tapi bang Edi masih juga tidak dapat mendengarnya. "Dasar budek!" gerutunya kesal. "Kamu ngatain Aku budek?" teriak Edi seraya menepuk helm yang Iman kenakan. 'Busyet, dah! Giliran ngomong begitu malah kedengeran." dumel Iman. Edi mendekatkan kepalanya. "Kamu ngomong apa?""Besok Kita mancing lagi, ya!" Edi terlihat senang. "Sip!" ia menunjukkan jempolnya. Mereka ini pemancing mania, tapi Edi tidak mau mengeluarkan uang untuk jajan mereka. Sementara Iman sangat royal dalam keadaan seperti ini dan Edi mengerti itu. Edi mengandalkan Iman untuk jajan, makan dan minum."Aku balik!" Edi menenteng korang ikan yang hanya beisi 2 ekor itu. Sebelum melangkah pulang ia tersenyum - lebih tepatnya - menyeringai pada Nisa. Nisa membalas dengan senyumnya. "Kok sudah pulang, Pah?" Nisa heran melihat Iman sudah pulang. Padahal biasanya menjelang maghrib ia baru menunjukkan batang hidungnya."Ikannya mana? Nisa merasa lebih heran lagi. Iman tidak perna
Bang Oseng melihat Iman yang terus menekuk wajahnya. "Santai, Bos!""Gimana bisa santai? Uangku habis!" dengus Iman kesal. Bukannya sakit hati, Bang Oseng malah tertawa terbahak - bahak. "Amal, Bos! Amaal!" Iman mengerucutkan bibirnya. Nisa tersenyum. Sepertinya Iman cocok dengan Bang Oseng ini. Ia begitu bebas menyatakan perasaannya tanpa takut ada yang tersinggung karenanya. Biasanya Ia hanya berani menggerutu di belakang. Bang Osengpun menganggap ucapan Iman seperti sebuah lelucon karena ia terus tertawa terbahak - bahak."Udah cepetan makan! Jangan tertawa terus! Nanti gigi Kamu kering, lagi!" kali ini bukan hanya bang Oseng yang tertawa, Nisa dan si Mbak juga ikut tertawa. "Mbak, gelarin karpet di dalam, ya. Kasih bantal. Biar si kunyuk ini bisa tidur!" titah Iman. Si Mbak mengangguk.Bang Oseng menghentikan kunyahannya. "Tapi kerjaan Saya, Bos?!" Iman melambaikan tangannya. "Jangan membantah! Hari ini Situ harus benar - benar istirahat!" Bang Oseng melongo. Tadi di mobi
"Biar Saya yang pisahin buat Dia, Mbak." Iman biasanya ingin makan bersama - sama mereka. Berkumpul untuk saling melempar canda. Tapi kali ini sepertinya harus ada pengecualian. Nisa bergegaa memisahkan jatah untuk Iman dan meletakkannya di lemari makan. "Minta mereka berhenti bekerja, Mbak. Kita makan siang dulu." si Mbak pun langsung melaksanakan perintah Nisa. "Asyik! Akhirnya makan juga." dengan cepat Juned berlari ke arah dapur sementara yang lain mencuci tangan dan kakinya dulu. "Juned!" si Mbak menarik tangan Juned yang berdebu dan menjauhkannya dari tempat makanan. "Cuci tangan dulu. Jorok banget, siiih!" ucap si Mbak geregetan. Juned nyengir kuda. Ia mencuci tangannya di wastafel dapur. "Kok malah nyuci di situuu.. !" teriak si Mbak gemas. Nisa hanya tertawa melihat kelakuan Juned yang seperti takut kehabisan makanan. "Mbak bawel banget, ih! Tuh, Ibu Bos nggak ngapa - ngapa juga!" Juned meleletkan lidahnya seraya mengambil piring. Si Mbak mendengus kesal. "Ngambilnya
Selamat siang menjelang sore semuanyaa!" suara yang diharapkan kehadirannya oleh Iman akhirnya terdengar. Bang Oseng datang dengan senyum kocaknya. Ia diantarkan oleh istri tercinta dengan mengendarai motornya. "Ngapain datang? Udah sore juga!" Iman mendengus. Tentu saja ia berbicara tidak sesuai dengan kata hatinya karena matanya terlihat berbinar cerah."Kan mau kontrol dulu, Bos? Besok baru kerjanya." seperti biasa Bang Oseng tidak merasa sakit hati karena ucapan Iman."Saya langsung pulang ya, Pak." kata istri bang Oseng seraya mencium punggung tangan suaminya."Kok buru - buru, Teh? Duduk dulu, minum teh dulu." cegah Nisa. Ia menggeleng. "Nggak usah, Bu. Makasih. Takut kemalaman nyampe rumahnya, Bu." tolaknya halus."Atuh, pakai segala dianterin! Udah kayak Bocah bae!" sungut Iman. "Namanya juga suami kesayangan." Bang Oseng meleletkan lidahnya. Wajahnya selalu terlihat kocak. "Iya, Bu. Hati - hati, ya." Bang Oseng melepas istrinya pergi sebelum akhirnya menatap Iman lekat -