"Hari ini terakhir Kita ngangkatin lumpurnya. Besok lanjut renov, ya?" teriak Iman pada 3 orang karyawannya. Nisa bersyukur, perkiraanya tidak salah. Hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mengangkat lumpur itu. "Besok Papah mulai belanja untuk keperluan renov ya, Mah." Nisa mengangguk senang. Iman mengakui kebenaran pendapat Nisa dalam hatinya, tapi ia tidak mau mengungkapnnya apalagi mengakui kalau Nisa itu benar. Iman langsung belanja untuk keperluan renovasi. Ternyata itu menghabiskan banyak dana. Untung uangnya masih ada. "Tuh, kalau Papah bayar tukang gali itu. Nggak akan cukup 'kan, Pah?" Iman juga senang. Ia bahkan dapat memberi upah pada karyawannya itu. Meskipun tidak banyak tapi mereka sangat senang menerimanya. "Makasih, Bos!" teriak mereka serempak.Akhirnya renovasi selesai. Tapi bagaimana membeli ikannya? "Mah, Bang Ijay nawarin untuk nerusin kredit mobil Kita.""Lah, terus uang muka yang udah Kita bayar gimana? 'Kan, sayang. 40 juta, lho."'Lagian bang Ijay itu a
Alah bisa karena biasa. Itu yang terjadi pada kehidupan rumah tangga mereka. Iman mulai bersikap zalim dengan seenaknya dalam memberi nafkah dan Nisa juga tidak ingin menjadi istri yang banyak menuntut."Senang banget hidupmu sekarang, Man. Mau mancing tinggal mancing. Mau jalan tinggal jalan. Emang nggak mau mikirin yang di rumah?" salah satu dari sahabatnya, Samsul menegurnya.. Samsul datang membawa mobil temannya untuk diservis Iman, tapi Iman sudah siap untuk berangkat memancing. "Lah, mau ngapain lagi? Bukannya hidup itu untuk dinikmatin?" sergah Iman tertawa. Ia masih sibuk merapikan alat memancingnya. "Kamu kayak gitu emang Nisa nggak marah? Nikmat di Kamu, Dia nggak!""Awalnya sih, marah. Tapi kesiniin kayaknya Dia udah biasa.""Masa' sih? Dia sama sekali nggak ngomel kalau Kamu pergi mancing tiap hari?""Kagak! Cemberut mah, iya!" Iman tergelak gelak sendiri. "Bosan kali ya, ngomel juga. Lah, yang diomelinnya batu banget!" sungut Samsul."Lah, itu Kamu tau!" Samsul hanya
"Papah mau renovasi empang. Mobil Kita jual, ya?""Kok sampai jual mobil sih, Pah? Baru juga lunas." keluh Nisa."Emang harus ya, empangnya di renov?" "Empangnya udah rusak parah, Mah. Nanti malah hancur, nggak bisa dipakai mancing." memang sampai begitu parahnya, ya? Kelihatannya sih biasa saja menurut mata orang awam seperti Nisa. Orang yang sama sekali tidak mengetahui seluk beluk keadaan pemancingan."Harus jual mobil, ya?" Nisa dan anak - anak sudah terlanjur sayang sama mobil itu. Nisa tidak pernah kesulitan membayar cicilannya sampai sekarang akhirnya mobil itu lunas terbayar. "Mau dapat duit darimana lagi?" Nisa menyerah. Anak - anak pun merasa sedih. Terutama Nino. Dia sedang senang - senangnya mengendarai mobil itu bersama pacarnya. Semula Iman tidak mengizinkannya membawa mobil itu sebelum memiliki SIM. Sekarang setelah ia punya SIM, mobilnya malah akan dijual.Tapi seperti kebiasaannya, Nino tetap diam. Ia tidak mengatakan sepatah katapun untuk menyatakan kekecewaannya.
"Awas Kamu, Den. Kalau mobil sampai lecet gara - gara Kamu!" Ancam Iman pada anak no 2 nya itu. Entah apa yang akan dilakukannya seandainya itu benar - benar terjadi."Masih belum ada kabar yang mau beli mobil Kita, ya?" tanya Iman pada Nisa. Nisa menunjukkan iklan yang ia kirim di situs jual beli mobil."Yang liat banyak, tapi belum ada yang nawar.""Papah takut tuh mobil keburu lecet sama Deni." sungut Iman kesal. Ucapan itu seperti doa. Itu memang benar. Yang dikhawatirkan Iman akhirnya terjadi. Mobil bukan hanya lecet, tapi penyok parah. Untungnya bukan Deni yang membawa, tapi Nino. "Mobilnya ditabrak dari belakang, Pah. " lapor Nino saat baru pulang dari berpergian. Nisa langsung berdiri dan menghampirinya untuk memastikan keadaan Nino. Sedang Iman langsung berlari keluar untuk melihat keadaan mobilnya. "Kamu nggak papa? Kamu lagi sama Wiwi? Dia nggak papa?" berondong Nisa cemas. Nino menggeleng - geleng. Sebenarnya dahi Wiwi sedikit memar karena terbentur dasbor. Tapi i
Nino mau acara lamaran? Kapan?" tanya Yanti antusias. Iman berkeliling ke rumah saudara - saudaranya untuk mengabarkan hal ini. Yanti bergegas ke rumah Nisa setelah mendengar kabar itu. "Sabtu besok, Insyaa Allah." tutur Nisa. "Aku nanti nyumbang apa, Nisa? Kue? Atau buah?" Nisa tersenyum. "Makasih banyak, Teteh. Tapi kalau Teteh nggak ada, nggak usah ya, jangan malah ngerepotin." tolak Nisa halus. "Ngerepotin apa, sih? Aku juga punya anak laki - laki, 'kan?" Nisa mengerti. Ini maksud Yanti. Agar Nisa juga dapat menyumbang saat Ari akan lamaran juga nantinya. "Kue aja, ya?" putus Yanti Akhirnya. Nisa mengangguk. "Makasih, Teh." Tidak banyak yang mesti disiapkan untuk acara lamaran. Uang Teh, sebutan untuk uang yang diberikan keluarga laki - laki untuk jamuan ala kadarnya yang disiapkan keluarga perempuan sudah disediakan oleh Nino. Kue - kue sumbangan terkumpul dari kakak - kakak dan keponakan - keponakan Iman. Dalam hal ini persaudaraan terasa menghangatkan hati. Apalag
"Bibii..?!" panggil Tika begitu masuk ke dalam rumah Nisa. "Bibi di kamar, Tika! Masuk sini!" Nisa balik memanggil. Tika melihat Nisa sedang merapihkan baju yang akan mereka kenakan besok. Kemeja lengan panjang dan celana panjang untuk Iman sudah digantung dalam lemari. Kemeja lengan pendek dan celana panjang untuk Deni dan Doni juga selesai dirapihkan. Tinggal digantung dalam lemari. Semua bernuansa batik. "Baju buat Bibi, mana?" tanya Tika. "Tuh." Nisa menunjuk kebaya brukat panjang yang ia gantung di tembok di belakang Tika berdiri. "Baju dari rias pengantin." Nisa menjelaskan tanpa diminta. "Bagus." ucap Tika seraya membelai kebaya itu. "Kemejanya juga dari rias pengantin, Bi?" "Nggak, lah. Itu Bibi beli di tanah Abang." "Bibi ke tanah Abang?" tanya Tika tidak percaya. Bibinya yang satu ini paling malas belanja ke tanah Abang. "Pusing. Terlalu banyak orang." begitu Nisa pernah mengatakan. "Nggak, lah. Bibi minta tolong Mamahmu sama Wak Yanti waktu minggu kemarin m
Lelaaah..! Lelah lahir dan batin. Itu yang Nisa rasakan. Tapi ia kembali dipusingkan dengan adat betawi ini. Ada yang namanya Niga hari, atau selamatan hari ke tiga. Jadi pengantin perempuan diantar ke rumah keluarga suaminya oleh keluarga dan kerabatnya. Mereka membawa masakan beraneka rupa untuk keluarga suami. Banyaknyal juga tidak tanggung - tanggung. 1 baskom besar untuk setiap macam masakan. Keluarga Iman kembali berkumpul untuk menyambut mereka. "Semua yang mereka bawa itu harus ditaksir harganya, lalu Kita bayar." terang Hasby. "Bayar?" Iman tercengang. Ia sama sekali tidak mengerti itu. "Iya. Memang begitu." tandas Yanah. Ia mulai menaksir - naksir berapa yang harus mereka bayar. Nisa sendiri masak - masak juga untuk menyambut keluarga besannya ini. Bayangkan bagaimana repotnya. Ia tidak memberitahu mama Wida karena takut merepotkannya. "Acaranya sebenarnya sama dengan adat Kita. Tapi keluaga Mama sudah lama tidak memakainya karena terlalu merepotkan." begitu Mama Wid
Senyum Iman berasal dari satu sisi dari hatinya. Sisi yang lain menjerit menyalahkannya. 'Kalau malu, kenapa Kamu nggak nambahin uangnya, Man? Nggak bisa, 'kan? Kamu cuma bisanya menekan Nisa!' sisi hati yang itu, Iman mengakui kesalahannya. Hati Iman seperti terbagi 2. Tapi tidak sama besar. Sisi yang kecil dikalahkan oleh sisi yang besar, yaitu keegoisan dan masukan dari saudara - saudaranya. 'Aku nggak suka kalau Nisa tidak bergantung padaku!''Tapi kenapa Kamu malah membiarkan Nisa sendirian mengatasi semua ini?''Biar Nisa merasakan sendiri kesulitannya tanpa Aku! Jangan cuma bisa menyalahkan terus!''Iman, Nisa itu istrimu! Kamu nggak ingin Dia bahagia?''Nisa terlalu sok! Aku ini seperti bukan siapa - siapa! Aku tidak bisa apa - apa! 'Kenyataannya begitu, 'kan? Kamu selalu lari dari tanggung jawab.''Aku tidak bermaksud begitu!''Nisa sangat mencintaimu. Apakah Kamu tidak mencintainya?''Aku..'"Aaahh!" Iman berteriak tertahan saat sisi egonya mengakui kebenaran lawannya.