Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja.
"Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby."Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby."Ada sedikit, dari Mamanya Nisa.""Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas."Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari."Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa."Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa."Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak."Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan membuatnya tengadah."Kita hadapi berdua. Seperti biasa." Iman mendekatkan bibirnya ke bibir Nisa yang sudah menanti."Mmmhh.." Nisa mengeluh saat tangan Iman meremas bukit kembarnya. Iman langsung menindih Nisa.Iman tetap bergairah meski Nisa tengah hamil tua.Setelah pergumulan yang melelahkan.."Mama, bisnis Iman yang itu nggak jalan, tapi uangnya masih ada sama Nisa, kok." Nisa menelpon Mama Wida."Kenapa? Kok bisa nggak jalan?""Nggak tau. Nggak turun turun barangnya." terdengar helaan nafas sang mama . Wida menduga kalau Iman tidak cukup ulet berusaha."Ma, uangnya mau Iman pakai untuk membuat pemancingan. Boleh ya, Ma?""Terserah Kamu, Sayang. Uang itu udah Mama kasihin ke Kamu untuk modal usaha. Terserah Kamu mau buat usaha apanya.""Makasih, Mama." Nadin memutuskan telponnya dengan perasaan bahagia."Boleh." Nisa menjawab tatapan suaminya yang penuh harap."Besok uangnya Mamah ambil, ya? Kita mulai ngerapihin empangnya." pungkas Iman seraya meraih Nisa ke dalam pelukannya.Nisa mengangguk. Di bibirnya tersungging senyum penuh harapan.Tapi, kembali keluarga Iman mulai dengan kenyinyirannya."Lah, enak banget Dia pake tanah Abang!" usik Edi."Nggak puas nguasain yang di depan, ya?""Keahliannya cuma itu, sih! Dasar serakah!"Semua nyinyiran itu hanya terjadi di belakang."Beraninya ngomongin di belakang!" Nisa kesal. Di depan mereka mulut mereka sangat manis. Tapi tetap saja nyinyiran itu akan sampai ke telinga mereka.Kali ini Iman bersikap tidak perduli. Ia sedang mengubah empang tak terawat menjadi sebuah pemancingan sesuai dengan yang ia inginkan. Dan itu membutuhkan kepintaran otaknya yang selalu aktif bergerak. Tidak seperti saudara saudaranya yang otaknya beku karena terlalu julid sama urusan orang lain. Otak mereka dipakai untuk memikirkan cara untuk menjatuhkan orang lain, meski itu saudara mereka sendiri."Papah beli makan di mana?" tanya Nisa saat melihat orang orang yang membantu mereka sedang memakan nasi bungkus."Di warteg, lah!""Sebungkusnya berapa, Pah?" Nisa melihat ada 3 orang di sana, 4 orang dengan Iman."15 ribu." Nisa mulai berpikir."Uangnya kasih Mamah aja, ya? Nanti mamah yang masak. 50 ribu aja nggak papa, kok." Saat ini ia dijatah Iman 50 ribu per hari. Kalau ditambah 50 ribu lagi untuk memasak buat mereka pasti cukup. Pengeluaran Iman juga bisa dihemat 10 ribu. Lumayan, kan?"Tapi apa Mamah nggak capek?" Iman berusaha mengelak."Nggak. Biar Papah bisa lebih ngirit juga." Nisa tersenyum manis. Iman bingung. Yang dilihat Nisa memang hanya 4 orang. Tapi bagaimana dengan bang Mumu dan bang Edi? Bagaimana dengan jatah mereka?"Bisa di bikin 6 bungkus, Mah?" tanya Iman hati hati."Kok 6 bungkus? Buat siapa?" mata Nisa yang mendelik membuat Iman menelan ludahnya."Itu Mamah udah ngirit lho, Pah. Masa suruh diirit lagi? Ya nggak bisa, dooong.."Iman tidak tahu harus memberi alasan apalagi.Nisa menerima uang tambahan yang diberikan Iman dengan sukacita."Nasi Aku mana?" Mumu melotot saat tak mendapatkan jatahnya."Nisa yang masak, Bang.""Terus kenapa kalau Nisa yang masak? Aku sama Bang Mumu nggak dapat jatah, gitu?" Edi ikut mencak mencak.'Gimana mau dapat jatah. Kalian mbantuin juga kagak!' dumel Iman dalam hati."Pelit banget sih, istrimu!""Bilangin sama si Nisa, jangan pelit sama saudara!""Ngasih makan saudara tuh berkah, tau nggak?""Iya Iyaaa!" Iman mengangkat kedua tangannya."Ini Abang pada beli sendiri aja dah!" Iman mengeluarkan selembar uang berwarna hijau."Mana cukup, Maan!" teriak Mumu."Ini sih buat 1orang!" teriaknya lagi. Dasar tidak tahu diri. Minta makan saja sampai begitunya."Ya udah! Biarin Aku yang beliin!" seru Iman gusar."Tapi sama dengan yang Nisa masakkin buat Kalian, ya. Kayaknya enak tuh. Ayam goreng sama tumis kangkung. Bergedel sama sambal juga!" Waaaah.. Bener bener ngelunjak mereka ini. Dengan menu seperti itu di warteg memang tidak cukup 15 ribu. Iman mengucak rambutnya kasar.Hari berikutnya Nisa memasak daging cincang ala Padang."Weeei..! Mantap,nih!" teriak Juned alias Junaedi. Dan lagi lagi Mumu dan Edi menuntut masakan yang sama. Iman harus membelinya di rumah makan padang karena tidak ada daging cincang seperti itu di warteg.Iman pusing. Ia memikirkan bagaimana caranya agar Nisa berhenti memasak untuk mereka."Mana uangnya, Pah?" tagih Nisa karena Iman tidak kunjung memberinya uang. Iman mengulurkan selembar warns hijau."Lho kok cuma segini?" dahi Nisa berkerut."Diirit, Mah. Nggak usah masak yang enak enak." kerut di dahi Nisa makin bertambah."Diirit juga nggak cukup kalau buat makan berempat, Pah!" 5 ribu rupiah seorang, mau makan apa?"Ya harus cukup, Mah! " dicukup cukupin, tepatnya. Nisa mengembalikan uang duapuluh ribu itu."Papah cukup cukupin sendiri ajalah!" Iman pura pura menghela nafas. Padahal hatinya bersorak. Siasatnya berhasil.Berhasil, berhasil, berhasil Horre..!Iman bersorak seperti Film yang sering di tonton Deni, anak mereka yang nomor 2.Uang yang diberikan Wida tinggal sedikit lagi. Iman mulai bingung."Mah, bisa minta tambahan modal sama Mama?" katanya akhirnya. Nisa mengerutkan keningnya."Banyak yang masih harus dibeli tapi uangnya tinggal sedikit." lagi lagi Iman terlihat putus asa. Sejatinya ia ini mudah sekali menyerah. Dan lagi lagi Nisa merasa iba. Ia pun menelpon Wida untuk meminta bantuan. Meski seringkali pada saat ia membutuhkan bantuan hanya Nisa yang mendukungnya, Iman tak pernah menyadari itu. Ia tetap membela saudara saudaranya jika Nisa merasa terzolimi akan kelakuan mereka."Bagaimana, sih? Membuat sesuatu itu harus dipikirkan dulu masak masak. Cukup atau tidaknya dengan dana yang ada.""Iya, Mama. Maaf..""Ini ada 10 juta lagi. Tapi ini yang terakhir. Mama sudah tidak punya apa apa lagi. Katakan begitu pada Iman, ya.""Iya, Ma. Makasih, Mama."Nisa menatap suaminya yang terus menguping percakapan mereka. Saat ia memberikan jempolnya pada Nisa, saat itulah Nisa merasakan sakit yang hebat pada perutnya."Aawh..!" keluhnya seraya memegang perutnya. Sepertinya ia akan segera melahirkan.*******Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin
Sepertinya semua sudah beres. "Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar. "Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi.."Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta. "Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya. "Apa?""Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?" "Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun. "Papah bisa pergi?" "Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun. "Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?""Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini. "Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya. "Aku
Kembali ke laptop, eh bukan. Kembali pada Iman, maksudnya.Anto sangat puas. Tidak sia sia ia membawa sahabatnya ini. Iman dengan kepintarannya bekerja dengan cekatan. Mobil mobil yang sudah ia pegang tidak ada yang tiba tiba ngadat di jalan. Bos mereka juga sangat puas."Bang Iman itu hebat sekali, ya!" sayang rumah mereka jauh, andai saja Imam juga tinggal di Jonggol, ia tidak akan memasukkan mobil mobilnya ke bengkel lagi. Cukup Iman yang pegang. Anto ikut bangga untuk Iman. Yang di banggakan malah terlihat cuek. Bahkan ia menolak saat ditawarkan untuk pindah ke Jonggol. Disediakan tempat tinggal pula. Ia juga boleh membawa anak istrinya ke sana. "Hijrah, Man. Hijrah.""Ogah!""Daripada di sono Kamu hidup susah?""Aku nggak susah!""Laah.. ! Istrimu nangis mulu itu?""Sok tau, Kamu!" Iman ngambek. Apa dia lapar lagi? Tatapan Anto menyelidik. Iman membuang mukanya. Ia tidak sanggup jika harus terpisah dengan saudara saudaranya. Meskipun mereka seringkali menyakiti hatinya tapi e
Nisa tidak menyangka, aksinya mencuri uang Iman itu tersebar ke seluruh keluarga Iman. Mereka juga tahu Nisa membayar hutang pada mamanya.Mereka mulai menghasut Hasby."Abang di kasih berapa sama Iman?" Hasby menggeleng. "Iman itu banyak duitnya, Bang. 'Kan pakai tanah Abang, harusnya Abang dapat bagian, dong?" "Iman baru merintis. Mungkin nanti." jelas Hasby. Tapi ia mulai terpancing. Ia memang mendapat jatah berupa sembako tiap bulan dari Nisa. Iman juga membayarkan listriknya jadi ia tidak pernah dipusingkan lagi dengan urusan bayar listrik."Apaan sih, Bang! Si Nisa tuh ngasih Mak nya satu setengah juta sebulan! Sekarang mereka bisa beli TV juga!"Hasby diam. Hatinya mulai panas. Pemancingan itu 'kan tanahnya? Kenapa Dia tidak mendapat bagian? Iman pun di panggil. Lagipula Iman ini terlalu terbuka pada saudara saudaranya itu. Kalau bukan ia yang memberitahu mereka mengenai Nisa yang membayar hutang pada mamanya, darimana mereka tahu? Akhirnya ia pusing sendiri."Iman.." bla b
Buat yang belum mengerti apa itu pemancingan Galatama Lele akan Author coba jelaskan sedikit.Di pemancingan Galatama lele itu, ikan yang sudah terkena kail atau memakan umpan, Ikan itu akan di ceburkan lagi ke dalam empang. Pemancing mendapat poin dari berapa ikan yang ia dapat, juga siapa yang mendapatkan ikan terberat atau disebut babon. Siapa yang mendapat terbanyak atau teberat, ialah juaranya. Ia mendapatkan uang yang mereka bayarkan bersama. Itu judi bukan, sih? Nisa mulai merasa cemas. "Itu lomba, Mah. Bukan judi.Kalau judi, Kita nggak ngapa - ngapain dapat uang. Cuma modal uang doang." pendapat Nino menenangkannya. "Kok gitu? Jadi harus beli ikan terus?"" Iyalah! ""Terus gimana bayar Mamanya?""Dari duit warung aja!" 'Kaaan!"Nggak bisa, Pah. Uang warung Mamah kumpulin buat biaya kuliah Nino." Tidak lama lagi Nino lulus SMA. "Emangnya Nino harus kuliah, ya?""Harus dong, Pah! Emang harus seperti Papahnya?" Iman cemberut mendengar celotehan Nisa. Ia kembali merasa dirend
Anto berdecak kesal."Kamu tega banget, Man! Kita pergi 3 hari 3 malam, lho! Duit yang kemarin pasti sudah habis. Gimana sih Kamu jadi suami?!" Iman melongo. Ia sama sekali tidak memikirkan itu. Karena senangnya, 3 hari kemarin itu serasa sehari baginya. "Jadi kurang, dong!" keluhnya. Anto menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mengeluarkan lagi dompetnya. Kali ini ia mengeluarkan 2 lembaran berwarna merah. Itu uang pribadinya. "Ini buat Nisa. Kasihin! Awas kalau Kamu tilep lagi!" Iman menerimanya dengan senang hati. "Beli jorannya yang sejuta aja kali, ya? Buat Nisa cepek aja." Anto melotot. "Awas kalau berani! Aku patahin Kakimu sekalian!" ancamnya. Iman pun takut. Anto selama ini selalu menepati kata katanya. Ia bisa sangat galak pada orang lain, tapi pada sahabat sahabatnya ia lebih banyak mengalah."Ya udah sana!" balas Iman. "Ngusir nih, ceritanya?""Kagak, Bang! Kali Kamu udah kepagian!" Iman tertawa. Ia tau Anto paling tidak suka dipanggil Abang. Kesannya ia terlalu tua. Pada
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k