"Projek apa, sih?" sengat Iman."Projek. Tugas dari sekolah." jelas Nisa."Uang mulu!" dumel Iman. Doni cemberut. Papahnya ini selalu ngomel sebelum memberinya uang. Kenapa nggak langsung ngasih aja, sih? Bikin sakit hati aja!Doni selalu malas untuk meminta keperluannya pada Papahnya itu. Ia segera beranjak menuju ke kamarnya. "Mamah punya uang?" bisik Iman. Nisa menggelengkan kepalanya. "Lah, itu Mamah janji besok?" Nisa inigin meminta pada Deni sebenarnya. Tapi,"Makanya Papah cari, dong. Kali aja ada yang buang di jalanan!" ketus Nisa. Netra Iman membeliak mendengar jawaban Nisa. Tapi pada dasarnya Iman ini sangat menyayangi anak - anaknya. Hanya ia terlalu malas. Iman melihat jam dinding. Sudah hampir jam 1 siang. "Mamah tungguin Raka, ya? Sebentar lagi Nino juga pulang.""Papah mau nyetrum lagi?" alis tebal Nisa bertaut. Iman mendelik. "Papah mau nyari uang. Kali aja ada yang buang di jalan!" dumel Iman kesal. Mau tak mau Nisa menahan senyumnya. "Asal jangan jadi tukang mi
Iman yang ingin masuk kamar tertahan di balik pintu. Ia tercenung mendengar pertanyaan Doni. "Kenapa Mamah yang selalu punya uang jika diminta sedang Papah enggak? Kan Papah yang nyari uang?"Itulah kehebatan seorang ibu. Ia dapat memilih mana yang harus didahulukan. Ia memilih tidak membeli apa - apa asalkan kebutuhan si anak tercukupi. Uang 50 ribu di tangan Iman akan berbeda jalannya dengan uang yang sama di tangan Nisa. Itu yang terjadi pada hampir seluruh ibu - ibu di dunia ini. Mau dibuktikan? Iman lalu memasuki kamar. "Kamu nggak percaya sama Papah?" Iman memelototi Doni. "Begini, 'kan." Doni bangun dari sisi tempat tidur. "Belum juga apa - apa udah ngomel - ngomel. Malas, 'kan?" Iman melongo saat Doni langsung keluar dari kamar setelah mengucapkan itu. "Papah salah, ya?" keluh Iman. Selama pemancingan tidak beroperasi semua biaya sepenuhnya berasal dari dirinya. Meskipun itu jauh dari kata cukup. "Papah duduk dulu." ajak Nisa. Ia menepuk sisi tempat tidur yang ditingg
"Teh Yanah sakit." Itu berita yang Nisa terima saat Nisa pulang. "Sakit apa?""Nggak tau. Tubuhnya terus ngeluarin keringat dingin. Terus gelisah ngeliat orang yang datang nengokin.""Kok gitu?" Nisa tidak jadi merapikan pakaian dari dalam kopernya. Ia mengambil oleh - oleh kue kesukaan Yanah. "Mamah lihat dulu, deh." tapi Iman menahannya. "Jangan, Mah." Nisa menoleh. Tentu saja ia heran. "Kenapa, Pah? Mamah mau kasih kue ini. Teh Yanah 'kan suka banget.""Teh Yanah nggak mau ketemu orang. Apalagi Kamu." kata Iman ragu - ragu. Ia tahu betul ketidaksukaan Yanah pada Nisa.Nisa semakin penasaran."Nanti Mamah berdiri dulu di depan pintu kamarnya, deh. Kalau Teh Yanah ngelarang Mamah masuk, ya udah. Mamah pulang." akhirnya Iman setuju. Ia sendiri mengantar Nisa ke rumah Yanah. "Masuk, Nisa." Ijay justru memintanya masuk. Ia sendiri duduk di ruang tamu depan kamarnya. Ia sedang mendinginkan tubuhnya yang kegerahan. "Teteh sama siapa?" tanya Nisa."Sendiri. Anak - anak baru aja pulan
Nisa memintanya untuk banyak minum karena keringatnya yang tidak kunjung berhenti. Nisa takut Yanah dehidrasi."Kamu ikut ya, Nisa." pinta Yanah mengiba. Nisa langsung teringat pada Sari yang saat itu juga memintanya ikut untuk melakukan pengobatan. Tapi saat itu ia tidak dapat ikut."Tika di rumah aja, ya? Tika nggak bisa izin, Mah." Yanah mengangguk. Ia tahu anak - anaknya sibuk dengan pekerjaannya. "Aku ikut." ucap Yanti memaksa. Yanah menatap Yanti dengan perasaan tak suka. Daritadi Yanti hanya mondar mandir nggak jelas bahkan ikut memakan makanan yang dibawakan oleh Nisa. "Ikut ya, Nisa?" Yanah mengulangi permintaannya tanpa mengindahkan ucapan Yanti. "Ya." Nisa menggenggam tangan Yanah untuk menenangkannya. "Kapan Kita berangkat?""Besok pagi." jawab Hasby. "Man, Kamu yang bawa mobil." titahnya. Iman mengangguk. Kalau Hasby yang meminta ia tidak dapat menolaknya. Mereka berencana di tempat yang terpisah, jadi Iman tidak tahu kalau Nisa akan ikut dan Nisa juga tidak tahu
Nisa menatap orang yang terlihat 'slebor geboy' itu. Nisa mengagumi keahliannya mengobati Yanah tapi ia tidak suka melihat 2 istri yang ia himpunkan dalam 1 rumah. Kakak beradik pula. "Siapa lagi yang mau diurut?" tanyanya bersahabat. Yanti membuang wajahnya. Ia masih kesal dengan omongan orang itu tadi. Entah bercanda atau tidak. Iman menatap Nisa. Mungkin Nisa harus diurut. Bukankah Nisa juga pernah sakit parah waktu itu? Iman ingin Nisa sembuh total dan tidak kambuh - kambuh lagi. "Mamah mau diurut?" bisiknya pada Nisa. Tentu saja Nisa menolak. "Papah mau Mamah dijamah oleh laki - laki lain?" Nisa balas berbisik. Membayangkan dirinya disentuh oleh laki - laki itu seperti ia mengurut Yanah tadi membuatnya jengah. "Papah tau Mamah nggak mau disentuh laki - laki lain meski itu buat pengobatan?" desis Nisa marah. Bahkan ia memilih melahirkan pada Bidan daripada Dokter karena kebanyakan dokter kandungan adalah laki - laki. Iman tentu saja tidak rela istrinya dijamah laki -laki l
Hasby meminta Ijay memanggil Iman agar dapat segera meningalkan tempat itu. Sungguh, ia merasa jengah setiap kali jemari tangan Ratna mengusap lengannya. Ia hanya dapat menarik tangannya dan melipatnya di depan dada. Rasanya ia ingin berteriak, 'Edi! Bawa jauh - jauh orang gila ini dari hadapanku!'Tapi ia menahannya. Tak tega rasanya melihat pendar cahaya yang keluar dari netra Edi, adiknya yang belum lama ini kehilangan istrinya. Sebelum Ijay memanggilnya, Iman dan Nisa sudah kembali. Iman memalingkan wajahnya saat melihat Ratna. Rasanya rugi bandar kalau melihatnya sebentar saja. "Kita pulang sekarang, Bang?" tanyanya pada Hasby. Hasby mengangguk. "Tapi Saya 'kan belum makan, Bang?" rengek Edi seperti anak kecil. Iman mendengus. Edi ingin terlihat manja di depan Ratna. 'Dari tadi ngapain aja sih, Bang?!' omelnya dalam hati. Ratna juga menyadari kalau Iman tidak menyukainya. Ia juga diam - diam mengagumi kecantikan Nisa yang jelas terpancar meski tidak ada sapuan make up d
"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami."Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot. Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu. Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka. Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu.. Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana. Kepalanya langsung pusing. "Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa. "Mamah pusing! Mamah harus be
Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati."Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah. "Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak. Tak terdengar jawaban dari Nisa. "Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat. Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini. Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pega