Edi tercenung sejenak. Apa yang dikatakan Mumu memang tidak salah. Tapi Ratna 'kan sudah biasa memenuhi kebutuhannya sendiri? Kenapa harus bergantung padanya? Ratna bukan Sari yang sepenuhnya bergantung padanya. 'Sari.' keluh hati Edi. Netranya langsung berembun. Mobil meluncur membelah jalan pulang. Kali ini semua sudah malas berbicara. Yanah tidur dengan menyandarkan tubuhnya pada Ijay sedang tangannya memegang tangan Nisa. Sekarang ia sangat bergantung pada Nisa. Ia tidak mau Nisa menjauhinya."Bagaimana Yanah?""Keringatnya hanya sedikit sekarang. Alhamdulillah." ucap Nisa saat Hasby menanyakan keadaan Yanah. Nisa melihat tidak ada lagi keringat yang membanjir. Yanah juga terlihat lebih tenang. Kulit Yanah hanya sedikit basah dan kering saat Nisa mengusapnya dengan handuk kecil yang ia siapkan.Nisa memejamkan netranya. Ia merasa lelah tapi bersyukur karena perjalanan ini tidak membuatnya kecewa. Tukang urut itu memang benar - benar menguasai teknik mengurutnya.Mereka berhen
Nisa memang tidak menyadari kalau sebenarnya Ijay jatuh hati padanya sejak pandangan pertama. Nisa tidak tahu kalau Yanah sempat membencinya karena ini. Ijay juga berusaha menekan perasaannya pada Nisa dari tahun ke tahun dengan bersikap buruk padanya di depan orang lain. Kalau saja Nisa tahu, Kalau saja Iman tahu, ..."Kalau Mamah ngantuk, tidur aja." terdengar suara Iman saat Ijay mulai memejamkan matanya. Berusaha untuk tidur seperti yang lain. Yanti juga tertidur karena kelelahan dengan amarahnya sendiri. "Iya. Nanti kalau Mamah ngantuk. Sekarang Mamah nggak ngantuk, kok." Iman tahu Nisa berbohong karena berkali kali kepala Nisa tersentak ke depan dan ke belakang. Iman melihat ke bagian belakang melalui kaca spionnya. Semua tertidur atau hanya memejamkan matanya. "Udah, Mamah tidur aja." Iman terbiasa terjaga sendirian. Ini masih sore. Bila perjalanan pulang setelah off road bersama Anto, itu selalu larut malam bahkan dini hari dan ia akan terjaga sendirian karena Anto tid
"Masak cuma segini sih, Pah?" Nisa menatap lembaran biru yang baru diberikan Iman, sang suami."Emang adanya segitu! Mau gimana lagi?" Iman melotot. Nisa menghela nafas. Lima puluh ribu, dari tahun ke tahun. Saat anak anak mereka masih kecil, saat lembaran sepuluh ribu masih dapat mencukupi kebutuhan hariannya, Iman sudah memberinya nafkah harian sebesar itu. Waktu itu ia dapat menyisihkannya untuk semua kebutuhan rumah tangga seperti membayar listrik, air, gas dan sampah. Bahkan ia dapat menabung.Sudah puluhan tahun berlalu. Si bungsunya sudah menginjak remaja. Sulungnya sudah menikah tapi masih mengikuti mereka. Lima puluh ribu. Itu jumlah terbanyak setelah Imam memberi lembaran merah tapi dengan catatan harus beli token dulu, atau harus beli rokoknya dulu.. Hati Nisa menjerit. Lima puluh ribu itu bukan sepenuhnya untuknya. Ada jatah bekal si bungsu di sana. Kepalanya langsung pusing. "Kenapa mukamu ditekuk gitu sih, Mah?" tegur Iman tanpa dosa. "Mamah pusing! Mamah harus be
Sebelum menikah dengan Iman, sekitar 25 tahun yang lalu, Annisa Saktiara adalah seorang gadis yang sangat cantik pada masanya. Ia anak konglomerat dari tanah pasundan. Gadis polos yang manja dan murah hati."Nisa berangkat, Ma!" Nisa meneguk sisa susunya di meja dan berlari keluar rumah. "Sandwichmu, Nak!" Wida, sang mama, balas berteriak. Tak terdengar jawaban dari Nisa. "Udah telat kali, Ma." Papanya memberikan argumen. ia juga sudah siap siap berangkat. Tak lama kemudian terdengar suara derum mobil matic milik Nisa, melaju menuju gerbang.Nisa gadis yang cantik luar dalam. Ia tidak pernah membeda bedakan sikapnya pada siapapun. Semua orang menyayanginya. Bahkan para ART nya.Annisa Saktiara, putri tunggal dari Indra Bakti Wiguna, seorang pengusaha properti yang sukses. Ia memiliki kerajaan bisnis yang siap diturunkan pada putri satu satunya ini. Kehidupannya yang begitu sempurna menjadi hancur saat ia jatuh cinta pada seorang montir di bengkel mobil langganannya. Seorang pega
Kembali ke hari sekarang.Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan. "Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada. Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya. "Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya. "Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan. Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah. "Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!""Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!""Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis. "Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar
"Emang adanya segitu!" Lembaran biru itu lagi. "Tapi Kamu 'kan habis servis 2 mobil, Pah! Masa dapetnya cuma segini?!" lagi lagi airmata Nisa meluncur turun. Lembaran biru lagi yang ia terima. Itupun hanya 1 lembar. Padahal ia begitu bahagia saat melihat 2 mobil yang akan di servis di depan rumah. "Aku bisa nyimpen buat Doni camping besok." begitu harapnya. Tapi ternyata itu cuma harapan kosong. Sebenarnya Iman tidak tega melihat airmata Nisa yang akhir akhir ini sering meluncur dari matanya yang indah."Uangnya sudah kupakai duluan." keluh Iman nyaris tak terdengar. "Kamu pakai? Buat apa?" mata Nisa mengerjap. Pikirannya mulai traveling. Sepertinya Iman tidak ada membeli sesuatu yang mahal akhir akhir ini. Apa Iman memilki wanita idaman lain? "Aku beli joran.""Joran?""Iya! Joran! Joran lamaku sudah butut begitu. Malu kalau masih Aku pakai mancing di tempat Babah Ali!""Astaghfirullaah.." Nisa mengusap dadanya yang langsung terasa sesak. Hatinya terasa ngilu. Iman lebih mement
"Mmaaa..!" Nisa cepat cepat berlari pulang ke rumahnya. Iman terkejut mendengar suara Rifki. Ia langsung berdiri dan ingin keluar tapi bang Hasby menahannya. "Duduk! Kita selesaikan dulu masalahnya. " Imanpun kembali duduk. Hatinya gelisah. Rifki tadi bersama siapa, ya? Bagaimana kalau ia bersama Nisa? Apa mereka tadi sudah lama di sana? "Mu, kapan kapan Kamu nggak boleh begitu lagi. Denger, nggak?!" bentak bang Hasby pada Mumu. "Kamu harus gantiin duit Iman secepatnya! ""Iya, Bang." Mumu menunduk pasrah. "Man, kalo Abangmu yang satu ini nggak bayar bayar, laporin ke Abang, ya! " tegas Hasby seraya menunjuk dadanya. Iman mengangguk. Ia langsung berdiri. " Kamu mau kemana? Sekarang Kamu ikut Abang!" titah Hasby. Iman menurut. Ia mengikuti langkah abang tertuanya itu. "Kamu, sih!" Yanti mulai mengomeli suaminya. "Apaan, sih! Nggak tau suami Kamu ini lagi pusing, apa!""Lah! Pusing dibikin sendiri!""Kalau menang Kamu juga yang senang, kan?!""Iya kalau menang! Kalah mulu! Kaya
Semua masalah itu diawali saat Ibu mertua Nisa atau ibu dari Iman yang meninggal dunia tidak lama setelah mereka menikah. Keadaan rumah mereka tidak lagi nyaman. Mumu dan yang lainnya meributkan pembagian warisan. Mumu, Edi dan Yanah tidak rela bila Iman sebagai anak terkecil mendapat bagian paling depan. Padahal sang ibu sudah mengatakannya dengan jelas kenapa ia memberikan tanah yang di depan untuk Iman. "Karena Iman bisa ngebengkel." saat itu semua tidak ada yang membantah. Iman juga tenang. Belum ada perjanjian hitam di atas putih saat ibu mereka meninggal. Nyinyiran mulai sering mampir di telinga Iman dan Nisa, kalau tanah dan rumah yang mereka tempati itu adalah milik bersama. Semangat kerja Iman kian memudar. Hatinya lelah. Setiap menerima banyak pelanggan yang ingin servis, nyinyiran itu kembali terdengar. "Enak banget ya, nerima duit tapi Kita nggak kebagian. Padahal yang ia tempati itu kan tanah Kita juga.""Iya. Masih pakai tanah bersama juga sok kuasa gitu."Deg! Da