Dhumm!Hekh!Dua tenaga dalam yang saling tekan akhirnya pecah, mengentak kuat ke dada keduanya, terutama bagi si Kiuang Ameh yang konsentrasinya terpecah akibat rasa perih di sekujur badan.Tak pelak, selagi tubuhnya melayang tak keruan ke belakang oleh daya ledakan barusan, darah segar menyembur dari mulut dan lubang hidungnya.Sedangkan Puti Champo, dengan menahan denyut nadi di dalam tubuhnya yang bergejolak dan menyesakkan, dia melesat dengan berputar kencang laksana gasing ke arah si Kiuang Ameh yang terpental.Wuush! Wuush!Dan lantas melepaskan satu tendangan keras.Duakh! Krak!Hekh!Tendangan keras telak mengenai ulu hati si Kiuang Ameh dan kembali memaksanya melenguh pendek dengan darah yang semakin menyembur hebat dari mulutnya.Dia melesat lebih cepat dan terhempas kencang ke permukaan tanah.Si Kiuang Ameh melenguh pendek dengan wajah merah menggelembung demi merasakan rasa sakit yang luar biasa di tubuhnya.Di bagian dalam, dia terluka sangat parah, bahkan tulang dada,
“Sepertinya yang satu itu tidak sepenuh hati mau menyerang kerajaan.”Datuk Hulubalang melirik pada Puti Champo dan mendesah panjang.“Itukah yang engkau pikirkan?” tatapannya kembali tertuju pada si Ruyuang Salatan yang terkapar di tanah.Sementara itu, para Prajurit Kerajaan mengumpulkan para penyerang yang masih hidup pada satu titik.Masing-masing penyerang dengan kondisi tangan terikat ke belakang, begitu juga dengan kaki mereka yang diikat tali sedemikian rupa sehingga tidak begitu menghalangi pergerakan mereka, tidak pula mereka bisa melarikan diri.Dua orang parjurit menghampiri si Kiuang Ameh yang juga dalam kondisi tergeletak di tanah.Meski dalam kondisi terluka dalam yang cukup parah, serta tangan dan wajah yang dipenuhi luka-luka sayat halus, dia masih sadar sepenuhnya.Dua prajurit mengangkat si Kiuang Ameh, mengikat kedua tangannya ke belakang punggung, lalu memapah dan membawanya pada sekumpulan penjahat lainnya.Dua prajurit lainnya juga menghampiri sang Datuk Hulubal
Saliah mengurungkan keinginannya dan tetap mendekam di atas atap istana, berdekatan dengan gonjong terakhir di bagian kanan.“Inyiak Marapi,” gumamnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Dan wanita muda itu … Dia pasti orang yang sama, tangan kanannya si Mata Malaikat.”Dan ketika terjadi dentuman kedua yang kali ini berasal dari Gerbang Barat Istana, Saliah menjadi yakin dengan pemikirannya.Sosok Amugar alias si Mata Malaikat berdiri angkuh di atas Gerbang Barat yang daun pintu kembarnya telah lepas.“Oh, jadi benar,” gumamnya lagi. “Kau lah penyebab semua keributan ini!”Begitu juga dengan Datuk Merah, Datuk Ungu yang menghentikan langkah mereka seiring kemunculan Inyiak Marapi, Siwan, dan puluhan anak buah mereka dari gerbang yang pintunya terkuak lebar.“Orang-orang yang lancang!” Datuk Merah menggeram.“Sepertinya,” kata Datuk Ungu. “Mak Itam dan Datuk Hijau tidak mampu menghentikan mereka.”“Tidak,” balas Datuk Merah. “Kurasa, mungkin mereka kewalahan dengan banyaknya penyera
Datuak Rajo Tuo bermuram durja. Hanya bisa memandang sedih pada orang-orang yang saling bunuh di bawah sana.“Paduko,” Kanteh menghampiri jendela yang sama. Jendela yang menghadap ke halaman depan dari lantai teratas istana. “Sebaiknya, Paduko menjauhi jendela yang terbuka. Kami khawatir kalau-kalau ada serangan panah yang terarah ke sini.”Kamba dan Kirawah saling pandang. Mereka berpikir keras tentang wajah muram sang raja.“Mungkin,” ucap Datuak Rajo Tuo dengan embusan napas yang begitu panjang dan terdengar sangat berat. “Jika aku turun ke bawah sana, mereka akan berhenti untuk saling menyakiti.”“Paduko!” Kanteh mereguk ludah. Dia berpaling pada dua rekannya.“Maafkan kami, Paduko,” Kirawah mengapit sang raja dari sisi kanan sedang Kanteh di sisi kiri. “Kami tidak akan mengambil risiko semacam itu. Kami tidak ingin kehilangan Anda, Paduko.”“Kalian lihat di bawah sana!”Tatapan sang raja, Kanteh, Kirawah, dan Kamba yang berdiri di belakang sang raja sama tertuju pada orang-orang
Kembali ke wilayah Kotaraja sebelah utara.Dalam kemarahannya yang begitu besar, Datuk Hitam alias Mak Itam menggunakan silat Pungguk Sakti-nya dengan membabi buta.Krakk!Hekh!Dua penjahat sekaligus tewas dalam genggamannya dengan leher mereka sama remuk. Keduanya dijatuhkan begitu saja ke tanah.Dia memandang pada rekannya, Datuk Hijau, juga pada segelintir prajurit yang masih hidup.Sepertinya di sini sudah usai, pikirnya. Tapi tentu saja, raga-raga bergelimpangan dan tak lagi bernyawa adalah masalah berikutnya.Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dan mendesak untuk saat sekarang.“Tidak ada waktu!” ucap sang Datuk Hulubalang dengan menggelegar. “Segera kembali ke istana, cepat!”Tidak menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, sekitar tiga puluh prajurit yang masih hidup segera menuju ke Gerbang Utara Istana.“Datuk,” ucap Datuk Hijau pada rekannya tersebut. “Kau baik-baik saja?”“Yaah!” jawabnya dengan tegas. “Mari, kita juga harus segera menyusul. Aku mengkhawatirkan Paduk
Bunga-bunga api membias ke segala arah. Begitu juga dengan kepingan-kepingan halus embun yang membeku akibat dentuman keras dari pecahnya dua tenaga dalam yang dahsyat.Untuk kesekian kalinya, halaman istana berguncang hebat laksana dilanda gempa dalam skala kecil.Datuk Merah dan Datuk Ungu sama terkesiap, bahkan berusaha melindungi wajah mereka dari terpaan angin yang membias begitu besar.Sedangkan Saliah hanya berdiri terpaku di kakinya yang melesak semakin dalam di tanah. Sementara Inyiak Marapi tergeser pijakannya setengah langkah dengan dada yang berdebum kencang, dan wajah sedikit pucat.“Kau―” ucapnya dengan memegangi dadanya.Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada Saliah sendiri. Dia merasakan dadanya begitu sesak dan aliran tenaga dalam di tubuhnya menjadi kacau untuk sesaat.Hanya saja, pemuda yang satu ini mampu menutupi itu dengan ketenangannya sehingga lawan tidak melihat kelemahan yang terjadi padanya.“Siapa kau sesungguhnya, hah?” seru Inyiak Marapi.Dan untuk ke
“Maafkan saya, Datuk.” Saliah lantas membantu Datuk Merah untuk berdiri. “Saya tidak punya maksud apa-apa dengan mengenakan pakaian prajurit seperti ini.”Dia pun membantu Datuk Ungu untuk berdiri.“Tapi, sa-saya Saliah.”“Saliah?” Datuk Ungu mengernyit, begitu juga dengan rekannya.Sang pemuda mengangguk, lantas memerhatikan Inyiak Marapi yang tergeletak di teras istana. Dia menghela napas dalam-dalam, tapi ada sedikit senyuman di sudut bibirnya.“Saya tidak punya wa-waktu untuk men-menjelaskan tentang hal ini.”Lagi pula, di sana masih terjadi pertempuran. Setidaknya, yang bisa terlihat dari sudut itu adalah pertempuran para prajurit dan para penjahat.Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, pikirnya.“Sa-Saya berasal dari Bukit Bulan.”“Bukit Bulan?” Datuk Ungu mengernyit dan memandang Datuk Merah.“Kalau tidak salah,” kata Datuk Merah. “Bukit Bulan ada di kawasan Pariaman.”“Benar,” Saliah mengangguk. “Dan, dan Putra Mah-Mahkota mengenal saya. Ju-Juga si Gadis Champa itu.”“Ahh …” Dat
Si Mata Malaikat menggeram. “Gadis keparat!”Dangmudo Bada tersenyum senang ketika Puti Champo akhirnya tiba di sana dan langsung terjun membantunya dengan menghadang serangan lawan.Dua dentuman mengguncang halaman depan istana.“Champo!”Sang gadis melirik pada si pemuda rupawan, dia mengedipkan sebelah matanya sebelum kembali pada si Mata Malaikat.Datuk Putih memeriksa kondisi sang Putra Mahkota. “Anda baik-baik saja, Angku?”“Terima kasih, Datuk,” balas sang pangeran. “Aku baik-baik saja.”“Kau bukan orang sini, hei, Gadis Champa!” hardik si Mata Malaikat dengan tatapan yang begitu tajam. “Jangan ikut campur urusan orang lain!”“Hmm, bagaimana, ya?” Acuh tak acuh saja, Puti Champo tersenyum manis. “Kalau dibilang tidak ada urusan, hei, bukankah di hutan ketika itu kau dan orang-orangmu mengganggu kami?”“Keparat!”“Jadi,” sang gadis mengendikkan bahu. “Kurasa, sudah sepantasnya aku mewakili para pedagang dan saudagar yang kau ganggu dahulu menuntut balas. Tidakkan kau pikir begit
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n