Bunga-bunga api membias ke segala arah. Begitu juga dengan kepingan-kepingan halus embun yang membeku akibat dentuman keras dari pecahnya dua tenaga dalam yang dahsyat.Untuk kesekian kalinya, halaman istana berguncang hebat laksana dilanda gempa dalam skala kecil.Datuk Merah dan Datuk Ungu sama terkesiap, bahkan berusaha melindungi wajah mereka dari terpaan angin yang membias begitu besar.Sedangkan Saliah hanya berdiri terpaku di kakinya yang melesak semakin dalam di tanah. Sementara Inyiak Marapi tergeser pijakannya setengah langkah dengan dada yang berdebum kencang, dan wajah sedikit pucat.“Kau―” ucapnya dengan memegangi dadanya.Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada Saliah sendiri. Dia merasakan dadanya begitu sesak dan aliran tenaga dalam di tubuhnya menjadi kacau untuk sesaat.Hanya saja, pemuda yang satu ini mampu menutupi itu dengan ketenangannya sehingga lawan tidak melihat kelemahan yang terjadi padanya.“Siapa kau sesungguhnya, hah?” seru Inyiak Marapi.Dan untuk ke
“Maafkan saya, Datuk.” Saliah lantas membantu Datuk Merah untuk berdiri. “Saya tidak punya maksud apa-apa dengan mengenakan pakaian prajurit seperti ini.”Dia pun membantu Datuk Ungu untuk berdiri.“Tapi, sa-saya Saliah.”“Saliah?” Datuk Ungu mengernyit, begitu juga dengan rekannya.Sang pemuda mengangguk, lantas memerhatikan Inyiak Marapi yang tergeletak di teras istana. Dia menghela napas dalam-dalam, tapi ada sedikit senyuman di sudut bibirnya.“Saya tidak punya wa-waktu untuk men-menjelaskan tentang hal ini.”Lagi pula, di sana masih terjadi pertempuran. Setidaknya, yang bisa terlihat dari sudut itu adalah pertempuran para prajurit dan para penjahat.Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, pikirnya.“Sa-Saya berasal dari Bukit Bulan.”“Bukit Bulan?” Datuk Ungu mengernyit dan memandang Datuk Merah.“Kalau tidak salah,” kata Datuk Merah. “Bukit Bulan ada di kawasan Pariaman.”“Benar,” Saliah mengangguk. “Dan, dan Putra Mah-Mahkota mengenal saya. Ju-Juga si Gadis Champa itu.”“Ahh …” Dat
Si Mata Malaikat menggeram. “Gadis keparat!”Dangmudo Bada tersenyum senang ketika Puti Champo akhirnya tiba di sana dan langsung terjun membantunya dengan menghadang serangan lawan.Dua dentuman mengguncang halaman depan istana.“Champo!”Sang gadis melirik pada si pemuda rupawan, dia mengedipkan sebelah matanya sebelum kembali pada si Mata Malaikat.Datuk Putih memeriksa kondisi sang Putra Mahkota. “Anda baik-baik saja, Angku?”“Terima kasih, Datuk,” balas sang pangeran. “Aku baik-baik saja.”“Kau bukan orang sini, hei, Gadis Champa!” hardik si Mata Malaikat dengan tatapan yang begitu tajam. “Jangan ikut campur urusan orang lain!”“Hmm, bagaimana, ya?” Acuh tak acuh saja, Puti Champo tersenyum manis. “Kalau dibilang tidak ada urusan, hei, bukankah di hutan ketika itu kau dan orang-orangmu mengganggu kami?”“Keparat!”“Jadi,” sang gadis mengendikkan bahu. “Kurasa, sudah sepantasnya aku mewakili para pedagang dan saudagar yang kau ganggu dahulu menuntut balas. Tidakkan kau pikir begit
Larikan-larikan cahaya seperti petir dalam wujud lebih kecil melesat ke sana kemari seiring dentuman dahsyat yang menggelegar dan menggetarkan halaman depan istana.Ledakan dua tenaga dalam itu juga menciptakan gelombang udara yang cukup kencang, menyapu ke segala arah, sehingga sebagian besar mereka yang berdekatan dengan pertempuran si Mata Malaikat dan Puti Champo terpaksa meringkuk ke tanah.Si Gadis Champa tidak terpelanting ataupun bergerser pijakannya. Akan tetapi, kondisi tanah di mana kakinya berpijak melesak jauh ke dalam, bahkan membentuk seperti kubangan besar dalam radius hampir lima meteran.Sedangkan si Mata Malaikat, sempat terhempas pula oleh gelombang dentuman namun dia berjumpalitan beberapa kali ke belakang, lalu menjejak tanah dengan setengah berlutut.Dia bangkit dengan seringai lebar di wajahnya. Lalu tertawa-tawa dengan sangat angkuh. Jelas kelihatan bahwa sesungguhnya, tenaga dalam dan kesaktian si Pemimpin Penjahat Bukit Tigapuluh ini berada di atas si gadis
“Ingin menghentikanku, hah?” teriakan Amugar alias si Mata Malaikat menggelegar.Dia merentangkan tangannya lebar-lebar, mendongak seolah menantang langit. Lalu kembali pada si Gadis Champa.“Mimpimu dan kalian semua ketinggian!”Whussh!Whuukh! Whuukh!Dia kembali melompat, menerjang ke arah sang gadis yang masih mematung di posisinya. Sementara cambuk sakti si Patuih Tungga ia putar-putar di atas kepalanya.“Aku tidak lagi menginginkanmu sebagai gundikku, gadis asing,” serunya. “Sekarang, matilah bersama penyesalanmu!”Ctass!“Champo…!” Dangmudo Basa berteriak penuh kekhawatiran. “Menghindar!”Swiiing!Sebuah benda kecil sepanjang dua jengkal melesat laksana kilat, menguarkan cahaya kemerah-merahan laksana bara api, bahkan menimbulkan suara berdesing kencang di atas kepala semua orang.Whuukh!Hanya sepersekian detik lagi saja, maka cambuk sakti di tangan si Mata Malaikat akan mengakhiri hidup seorang Puti Champo.Dan sang gadis, seakan tidak bisa bergerak dengan kondisinya yang men
Swoosh!Empat tinju beradu dan saling menempel menghasilkan pusaran angin yang cukup besar, lalu pecah mengempas ke segala arah.Si Mata Malaikat terus mendorong dan memperkuat tekanan tenaga dalamnya di kedua tinjunya meskipun dia mulai merasa sangat kedinginan di kedua tangannya itu.Sementara Saliah, dia tetap bertahan dengan jurus Tinju Penghancur Sukma-nya yang memiliki hawa sangat dingin.Dengan satu teriakan yang menggelegar, si Mata Malaikat menarik tinjunya seraya melesatkan tendangan lutut yang mengincar dagu lawan.Wuush!Saliah melengkungkan tubuhnya ke belakang, berjumpalitan sekali.Si Mata Malaikat tidak kendur. Serangannya datang beruntung. Dari tendangan lutut kini menjadi tendangan cangkul dengan kaki lainnya.Wuush!Begitu kakinya menjejak tanah, Saliah berguling ke kanan hingga tendangan cangkul lawan lewat sejengkal di sisi kiri tubuhnya dan menghantam tanah.Stamp!Permukaan tanah melesak dalam radius satu meteran akibat terkena hantaman kaki si Mata Malaikat.Da
Amugar alias si Mata Malaikat tercekat, rahang mengatup kuat meski darah bermuncratan dari sela-sela gigi dan lubang hidung. Wajah menggelembung merah padam dengan sorot mata yang menegang.Ledakan tenaga dalam yang dilepas lawan begitu panas luar biasa yang ia rasakan di kedua tinjunya yang besar.Tidak hanya sampai di situ.Meskipun dia tidak terpelanting, tidak pula bergeser pijakan kuda-kudanya, namun si Mata Malaikat dapat merasakan betapa kedua tangannya menjadi lumpuh seketika.Dan itu bukan sembarang lumpuh.“Ta-Tanganku…” dia membuka mulut dan darah berhamburan dari mulutnya. “K-Kau menghancurkan tanganku, keparat!”Dangmudo Basa dan Datuk Putih pun sama tercekatnya menyaksikan apa yang baru saja terjadi pada si Pemimpin Penjahat Bukit Tigapuluh. Begitu juga dengan Kirat yang buntungan di tangan kirinya tidak lagi mengeluarkan darah.“Dia benar-benar mengerikan!” Datuk Putih mereguk ludah. “Kesaktian macam apa yang dapat menembus kekuatan tingkat tinggi Kura-Kura Pualam?”Mes
“Jadi begitu, ya?” Dangmudo Basa menghela napas lebih dalam dengan tangan menyatu di belakang pinggang. “Engkau mengetahui bahwa para tahanan itu merencanakan sesuatu, lantas merampas pakaian salah satu dari mereka, dan menyamar sebagai seorang Prajurit Minanga.”Saliah tersenyum kikuk dan menganggukkan kepala.“Maaf, Angku Mudo,” ucapnya, berdiri di samping kiri sang Putra Mahkota. “Sa-Saya tidak punya mak-maksud lain. Maaf.”Pagi ini, Dangmudo Basa tengah berdiri di tepi kolam ikan hias, di halaman belakang istana. Ditemani oleh Saliah dan tiga pengawal pribadinya.Tidak ada Kirat di sana lantaran yang seorang itu masih dalam masa perawatan pada luka buntung di tangan kirinya.Jadi, hanya Kanteh, Kamba, dan Kirawah saja yang berdiri sekitar sepuluh langkah di belakang kedua orang di tepi kolam sana.Kolam besar itu berada di tengah-tengah taman nan indah dengan berbagai bunga dan tanaman pelindung lainnya yang menghiasi di beberapa titik, tersusun apik sedemikian rupa.Juga, kolam i