“Ingin menghentikanku, hah?” teriakan Amugar alias si Mata Malaikat menggelegar.Dia merentangkan tangannya lebar-lebar, mendongak seolah menantang langit. Lalu kembali pada si Gadis Champa.“Mimpimu dan kalian semua ketinggian!”Whussh!Whuukh! Whuukh!Dia kembali melompat, menerjang ke arah sang gadis yang masih mematung di posisinya. Sementara cambuk sakti si Patuih Tungga ia putar-putar di atas kepalanya.“Aku tidak lagi menginginkanmu sebagai gundikku, gadis asing,” serunya. “Sekarang, matilah bersama penyesalanmu!”Ctass!“Champo…!” Dangmudo Basa berteriak penuh kekhawatiran. “Menghindar!”Swiiing!Sebuah benda kecil sepanjang dua jengkal melesat laksana kilat, menguarkan cahaya kemerah-merahan laksana bara api, bahkan menimbulkan suara berdesing kencang di atas kepala semua orang.Whuukh!Hanya sepersekian detik lagi saja, maka cambuk sakti di tangan si Mata Malaikat akan mengakhiri hidup seorang Puti Champo.Dan sang gadis, seakan tidak bisa bergerak dengan kondisinya yang men
Swoosh!Empat tinju beradu dan saling menempel menghasilkan pusaran angin yang cukup besar, lalu pecah mengempas ke segala arah.Si Mata Malaikat terus mendorong dan memperkuat tekanan tenaga dalamnya di kedua tinjunya meskipun dia mulai merasa sangat kedinginan di kedua tangannya itu.Sementara Saliah, dia tetap bertahan dengan jurus Tinju Penghancur Sukma-nya yang memiliki hawa sangat dingin.Dengan satu teriakan yang menggelegar, si Mata Malaikat menarik tinjunya seraya melesatkan tendangan lutut yang mengincar dagu lawan.Wuush!Saliah melengkungkan tubuhnya ke belakang, berjumpalitan sekali.Si Mata Malaikat tidak kendur. Serangannya datang beruntung. Dari tendangan lutut kini menjadi tendangan cangkul dengan kaki lainnya.Wuush!Begitu kakinya menjejak tanah, Saliah berguling ke kanan hingga tendangan cangkul lawan lewat sejengkal di sisi kiri tubuhnya dan menghantam tanah.Stamp!Permukaan tanah melesak dalam radius satu meteran akibat terkena hantaman kaki si Mata Malaikat.Da
Amugar alias si Mata Malaikat tercekat, rahang mengatup kuat meski darah bermuncratan dari sela-sela gigi dan lubang hidung. Wajah menggelembung merah padam dengan sorot mata yang menegang.Ledakan tenaga dalam yang dilepas lawan begitu panas luar biasa yang ia rasakan di kedua tinjunya yang besar.Tidak hanya sampai di situ.Meskipun dia tidak terpelanting, tidak pula bergeser pijakan kuda-kudanya, namun si Mata Malaikat dapat merasakan betapa kedua tangannya menjadi lumpuh seketika.Dan itu bukan sembarang lumpuh.“Ta-Tanganku…” dia membuka mulut dan darah berhamburan dari mulutnya. “K-Kau menghancurkan tanganku, keparat!”Dangmudo Basa dan Datuk Putih pun sama tercekatnya menyaksikan apa yang baru saja terjadi pada si Pemimpin Penjahat Bukit Tigapuluh. Begitu juga dengan Kirat yang buntungan di tangan kirinya tidak lagi mengeluarkan darah.“Dia benar-benar mengerikan!” Datuk Putih mereguk ludah. “Kesaktian macam apa yang dapat menembus kekuatan tingkat tinggi Kura-Kura Pualam?”Mes
“Jadi begitu, ya?” Dangmudo Basa menghela napas lebih dalam dengan tangan menyatu di belakang pinggang. “Engkau mengetahui bahwa para tahanan itu merencanakan sesuatu, lantas merampas pakaian salah satu dari mereka, dan menyamar sebagai seorang Prajurit Minanga.”Saliah tersenyum kikuk dan menganggukkan kepala.“Maaf, Angku Mudo,” ucapnya, berdiri di samping kiri sang Putra Mahkota. “Sa-Saya tidak punya mak-maksud lain. Maaf.”Pagi ini, Dangmudo Basa tengah berdiri di tepi kolam ikan hias, di halaman belakang istana. Ditemani oleh Saliah dan tiga pengawal pribadinya.Tidak ada Kirat di sana lantaran yang seorang itu masih dalam masa perawatan pada luka buntung di tangan kirinya.Jadi, hanya Kanteh, Kamba, dan Kirawah saja yang berdiri sekitar sepuluh langkah di belakang kedua orang di tepi kolam sana.Kolam besar itu berada di tengah-tengah taman nan indah dengan berbagai bunga dan tanaman pelindung lainnya yang menghiasi di beberapa titik, tersusun apik sedemikian rupa.Juga, kolam i
“Yaa―ya, ter-terserah padamu saja.” Lagi, Dangmudo Basa mereguk ludah sebab merasa tenggorokannya tiba-tiba mengering.Bodoh! pikirnya. Kenapa harus menjadi gugup pula?“Asalkan,” lanjutnya. “Jangan keluar lebih jauh dari lingkungan istana.”“Hei!” Puti Champo mengernyit sembari tersenyum dan menatap wajah sang Putra Mahkota. “Kau mulai mengatur-atur diriku, Basa. Apa artinya itu?”“Ti-Tidak!” Dangmudo Basa menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa. A-Aku hanya mengkhawatirkan kesembuhanmu, itu saja.”“Ada apa dengan mereka bertiga?” Kanteh mengernyit.Sedangkan Kamba dan Kirawah di sampingnya menahan tawa mereka.“Dasar bodoh!” ujar Kirawah kemudian. “Apa kau juga belum memahami, hah?”“Memahami apa?” maka semakin mengkerutlah kening Kanteh. “Apa yang kalian bicarakan, hah?”“Oh, Dewata Agung …” Kamba geleng-geleng kepala.“Dengar, kawan,” ucap Kirawah. “Kemunculan si Saliah di istano ini, itu disebabkan keberadaan si Gadis Champa.”“Hoo…” Kanteh mengangguk-angguk.“Dengan kata lain,” lan
Di pagi yang sama, di satu jalan setapak di antara hutan rindang, sisi selatan Sungai Musi bagian tengah.Galang berada di urutan paling belakang, menunggangi kudanya dengan cukup santai.Dia tahu, perjalanan pulang yang panjang dari Air Hitam kembali ke Kotaraja Sriwijaya di hulu Sungai Musi bukanlah hal yang mudah.Selusin Prajurit Sriwijaya bersamanya memperlihatkan itu.Dia tersenyum dan menggebrak kudanya untuk melangkah lebih cepat dan memimpin di depan.“Aku tahu kalian semua lelah,” ucapnya. “Tidak sabar untuk kembali berkumpul dengan istri dan anak-anak, ayah-bunda, ataupun saudara-saudari kalian. Tapi, semua tidak akan menjadi berarti bila kita tidak langsung menuju Kotaraja untuk melaporkan sesegera mungkin pada apa yang telah kita dapatkan di hadapan Datu Sarta.”“Kami tahu, Komandan,” ucap prajurit yang tepat di samping Galang.“Jangan khawatir, Komandan,” sahut yang lainnya pula. “Rasa rindu masih bisa kami bendung meski rasa sesak begitu menggunung!”Dan ucapan itu dita
“Jangan menambah bahaya kondisi warga,” ucap sang komandan dengan sangat pelan, bahkan tanpa menggerakkan mulutnya dengan baik.Hal ini disebabkan Galang sendiri juga sedang berada di atas kemarahannya atas apa yang sedang berlaku di hadapannya kini itu.Hanya saja, dia tidak hendak gegabah sebab itu hanya akan menambah runyam kondisi yang saja. Setidaknya, akan semakin membahayakan nyawa penduduk awam di tangan keenam penjahat.“Katakan saja!” ulang Galang pada pimpinan penjahat. “Namaku, Galang. Aku pemimpin dari selusin Prajurit Sriwijaya yang ada bersamaku saat ini!”Lagi, pria misterius kembali menyeringai di balik penutup wajahnya. Seakan-akan, inilah yang dia inginkan.“Seorang komandan, hah?” ucapnya. “Ya. Kurasa, kau dapat menyampaikan keinginanku pada Dapunta Hyang di istana!”Galang mengatupkan rahang, menyisikan segala kemarahan yang menggelegak tepat pada saat itu juga. Semua demi memastikan bahwa sepuluh penduduk awam yang menjadi sandera keenam penjahat tidak dilukai.T
Semua tatapan tertuju pada si pria yang masih menyembunyikan wajahnya di balik kain bebat.Dia tertawa-tawa dengan tangan berlipat ke dada.“Keparat!” sahut pria yang memegang kantong palsu. “Kau memperdayai kami, bajingan. Di mana uang-uang emas yang kau janjikan pada kami, hah?!”“Bunuh saja dia!” hasut lainnya dengan kesal.Tanpa diduga oleh mereka, pria yang mereka anggap akan memberikan kekayaan bagi mereka itu justru telah mencengkeram leher pria terdepan.Dan kemudian …Krakk!“Ingin membunuhku, hah?” kekeh pria misterius.Dia mencampakkan tubuh rekannya yang baru saja ia bunuh dengan meremukkan tulang lehernya, jatuh bergedebukan begitu saja ke lantai hutan dalam keadaan mata membelalak lebar dan lidah terjulur.Dan dengan tangan lainnya, dia melepas kain yang menutupi wajahnya selama ini.Empat pria lainnya sama mengernyit dan semakin bertambah kesal.“Kau!Wuush!Krakk! Stab! Jlept!Berturut-turut empat tubuh lainnya bergelimpangan ke lantai hutan. Seorang mengalami nasib tr
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n