Share

Persaingan Asmara

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Yaa―ya, ter-terserah padamu saja.” Lagi, Dangmudo Basa mereguk ludah sebab merasa tenggorokannya tiba-tiba mengering.

Bodoh! pikirnya. Kenapa harus menjadi gugup pula?

“Asalkan,” lanjutnya. “Jangan keluar lebih jauh dari lingkungan istana.”

“Hei!” Puti Champo mengernyit sembari tersenyum dan menatap wajah sang Putra Mahkota. “Kau mulai mengatur-atur diriku, Basa. Apa artinya itu?”

“Ti-Tidak!” Dangmudo Basa menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa. A-Aku hanya mengkhawatirkan kesembuhanmu, itu saja.”

“Ada apa dengan mereka bertiga?” Kanteh mengernyit.

Sedangkan Kamba dan Kirawah di sampingnya menahan tawa mereka.

“Dasar bodoh!” ujar Kirawah kemudian. “Apa kau juga belum memahami, hah?”

“Memahami apa?” maka semakin mengkerutlah kening Kanteh. “Apa yang kalian bicarakan, hah?”

“Oh, Dewata Agung …” Kamba geleng-geleng kepala.

“Dengar, kawan,” ucap Kirawah. “Kemunculan si Saliah di istano ini, itu disebabkan keberadaan si Gadis Champa.”

“Hoo…” Kanteh mengangguk-angguk.

“Dengan kata lain,” lan
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jakarta Kita
keren author, ada kisah pribadi yang ikut dikisahkan dalam luasnya kisah masalah kerajaan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Situasi yang Aneh

    Di pagi yang sama, di satu jalan setapak di antara hutan rindang, sisi selatan Sungai Musi bagian tengah.Galang berada di urutan paling belakang, menunggangi kudanya dengan cukup santai.Dia tahu, perjalanan pulang yang panjang dari Air Hitam kembali ke Kotaraja Sriwijaya di hulu Sungai Musi bukanlah hal yang mudah.Selusin Prajurit Sriwijaya bersamanya memperlihatkan itu.Dia tersenyum dan menggebrak kudanya untuk melangkah lebih cepat dan memimpin di depan.“Aku tahu kalian semua lelah,” ucapnya. “Tidak sabar untuk kembali berkumpul dengan istri dan anak-anak, ayah-bunda, ataupun saudara-saudari kalian. Tapi, semua tidak akan menjadi berarti bila kita tidak langsung menuju Kotaraja untuk melaporkan sesegera mungkin pada apa yang telah kita dapatkan di hadapan Datu Sarta.”“Kami tahu, Komandan,” ucap prajurit yang tepat di samping Galang.“Jangan khawatir, Komandan,” sahut yang lainnya pula. “Rasa rindu masih bisa kami bendung meski rasa sesak begitu menggunung!”Dan ucapan itu dita

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tuntutan Mencurigakan

    “Jangan menambah bahaya kondisi warga,” ucap sang komandan dengan sangat pelan, bahkan tanpa menggerakkan mulutnya dengan baik.Hal ini disebabkan Galang sendiri juga sedang berada di atas kemarahannya atas apa yang sedang berlaku di hadapannya kini itu.Hanya saja, dia tidak hendak gegabah sebab itu hanya akan menambah runyam kondisi yang saja. Setidaknya, akan semakin membahayakan nyawa penduduk awam di tangan keenam penjahat.“Katakan saja!” ulang Galang pada pimpinan penjahat. “Namaku, Galang. Aku pemimpin dari selusin Prajurit Sriwijaya yang ada bersamaku saat ini!”Lagi, pria misterius kembali menyeringai di balik penutup wajahnya. Seakan-akan, inilah yang dia inginkan.“Seorang komandan, hah?” ucapnya. “Ya. Kurasa, kau dapat menyampaikan keinginanku pada Dapunta Hyang di istana!”Galang mengatupkan rahang, menyisikan segala kemarahan yang menggelegak tepat pada saat itu juga. Semua demi memastikan bahwa sepuluh penduduk awam yang menjadi sandera keenam penjahat tidak dilukai.T

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Permainan Selanjutnya

    Semua tatapan tertuju pada si pria yang masih menyembunyikan wajahnya di balik kain bebat.Dia tertawa-tawa dengan tangan berlipat ke dada.“Keparat!” sahut pria yang memegang kantong palsu. “Kau memperdayai kami, bajingan. Di mana uang-uang emas yang kau janjikan pada kami, hah?!”“Bunuh saja dia!” hasut lainnya dengan kesal.Tanpa diduga oleh mereka, pria yang mereka anggap akan memberikan kekayaan bagi mereka itu justru telah mencengkeram leher pria terdepan.Dan kemudian …Krakk!“Ingin membunuhku, hah?” kekeh pria misterius.Dia mencampakkan tubuh rekannya yang baru saja ia bunuh dengan meremukkan tulang lehernya, jatuh bergedebukan begitu saja ke lantai hutan dalam keadaan mata membelalak lebar dan lidah terjulur.Dan dengan tangan lainnya, dia melepas kain yang menutupi wajahnya selama ini.Empat pria lainnya sama mengernyit dan semakin bertambah kesal.“Kau!Wuush!Krakk! Stab! Jlept!Berturut-turut empat tubuh lainnya bergelimpangan ke lantai hutan. Seorang mengalami nasib tr

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Berpikir Sebelum Bertindak

    “Guru,” Daiyun sedikit membungkukkan badan ketika tatapan Guru Ma tertuju padanya.Sang guru menghela napas dalam-dalam. “Kenapa engkau akhir-akhir ini selalu gelisah, Daiyun?”“Maafkan Murid, Guru,” ucap Daiyun.Dia lantas membereskan beberapa Sutra milik sang guru, lalu dikemas ke dalam sebuah buntalan rapi berwarna merah menyala dengan sulaman benang emas.“Hanya saja,” lanjutnya sembari bekerja, “barusan, Murid melihat rombongan―”“Shan cai, shan cai …” Guru Ma mendesah halus dan panjang.Tatapannya tertuju pada bangunan istana di arah utara keramaian itu sendiri sebelum kembali pada Daiyun yang telah dengan cepat membereskan barang-barang sang guru, lalu memanggulnya di bahu kanan.Melihat sikap tubuhnya, Daiyun percaya bahwa sang Guru Besar pasti telah mengetahui kemunculan selusin Prajurit Sriwijaya yang dipimpin oleh Galang tadi itu. Daiyun hanya tak hendak lancang saja menanyakan langsung pada sang guru.“Kau tahu, Daiyun?”“Guru?”“Ada beberapa ujar-ujar tua yang aku dapatka

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukti yang Bias

    Hanya saja, saat hendak menutup pintu ruangan itu dari luar, Datu Arrumanda melihat sosok Galang menghampiri. Tujuannya, jelas adalah menemui Datu Panglima.“Datu,” sapa Galang dengan takzim.“Kau sudah kembali, Komandan.”“Benar, Datu,” angguk Galang. “Baru beberapa saat yang lalu. Dan saya hendak menghadap Datu Agung Sarta.”Berpikir untuk ikut mengetahui berita apa yang dibawa oleh sang Komandan Prajurit Sriwijaya, Datu Arrumanda alias si Telinga Utara justru membukakan pintu tersebut bagi orang yang posisinya adalah di bawah dirinya.Galang cukup bisa menutupi keterkejutannya dengan membukukkan badan.“Terima kasih, Datu.”Dan menjadi semakin terkejut sebab Datu Arrumanda juga ikut masuk kembali ke dalam ruangan kerja Datu Panglima.Datu Panglima mengernyit mengetahui bahwa Datu Telinga Utara tidak jadi pergi meninggalkan ruang kerjanya, dan justru masuk kembali bersama Galang.“Salam, Datu,” sapa sang komandan begitu jarak mereka kini hanya terpaut lima langkah lagi saja.“Galang

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tambahan Tuduhan

    Tiba di depan rumah Datu Arrumanda, tempat di mana beberapa hari ini ia menumpang inap, senyumnya semakin lebar tatkala menjumpai istri sang datu sedang menata tanaman bunga di halaman depan tersebut.Bagaimanapun, birahinya selalu terbakar setiap kali mendapati senyuman manis di wajah istri Datu Arrumanda yang menyapanya.“Kau sudah pulang, A Niu?”Hoaren mengangguk dengan senyuman semakin lebar.Benar, pikirnya. Wanita di hadapannya yang sedang berjongkok dengan sejumput rumput liar di tangannya itu memang sudah berusia 40 tahun. Akan tetapi, keayuan wajahnya masih terjaga dengan baik, begitu pula dengan kesintalan tubuhnya.“Di mana Tuan Datu?” tanyanya sekadar berbasa-basi.“Ahh, suamiku masih berada di istana.”“Nyonya hanya bersendirian saja di rumah?”Astaga, ini kesempatan yang baik untuk menikmati wanita yang satu ini! jerit Hoaren di dalam hati.“Tidak juga,” jawab sang wanita. “Anak-anak ada di dalam, mereka sedang makan.”“Ooh…” Hoaren mengangguk-angguk.Dia masih berdiri

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Senjata Terakhir

    “Kurasa,” balas Haoren dengan tenang. “Anda dapat menanyakan langsung hal ini pada masyarakat adat di sana. Atau pula, pada seorang Datu Gomo yang memang bertugas menjaga kesakralan kawasan itu.”“Keterlaluan!” sang datu mengentakkan satu kaki ke lantai.Napasnya terdengar begitu memburu, pandangannya liar ke sana kemari dengan dua tangan berada di sisi pinggang.“Ini sangat keterlaluan!”“Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana,” lanjut Hoaren menebar fitnah terhadap Feng dan Huang. “Akan tetapi, mereka bisa keluar dari pulau itu dengan baik-baik saja. Tidakkah ini aneh?”Datu Arrumanda mengangguk setuju.“Dan kurasa,” lanjut si Pria Tiongkok. “Hal inilah yang mendatangkan kutukan akan negeri ini sebab menampung pasangan gila yang tak segan-segan melanggar pantangan adat di Batu Limau.”“Benar!” sang datu semakin merah padam wajahnya karena menahan kemarahan besar. “Kau benar. Mungkin pula di Pulau Alai sekarang sedang terjadi bencana akibat larangan yang dilanggar.”“Itu mungkin saj

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Hari Persidangan

    Dengan langkah yang tergesa-gesa dan sembari membawa makanan di atas nampan kayu, Daiyun bergegas menuju kuil istana.“Guru!” panggilnya. “Guru Ma!”Biksu Agung yang sedang berdoa di depan altar sang Budha seketika menghentikan lantunan Sutra-nya.“Amitabha,” lirihnya. “Kenapa engkau tergesa-gesa seperti dikejar setan, Daiyun?”“Guru,” Daiyun dengan cepat berlutut dan meletakkan nampan berisi makanan di dekat Guru Ma, lalu menundukkan kepala. “Maafkan murid, Guru. Akan tetapi, sepertinya sedang terjadi sesuatu yang genting, Guru.”Wajah memerah seperti bayi itu mengernyit.“Daiyun,” ucapnya dengan lemah lembut. “Angkat wajahmu, dan katakan dengan jelas. Apa yang engkau maksudkan barusan?”Sang Biksu Muda menyampaikan apa yang ia saksikan beberapa saat sebelumnya pada sang guru.“Mohon Guru segera bertindak,” ucapnya di akhir kalimatnya, “untuk menyelamatkan Nona Huang dan Tuan Muda Feng.”Ia bahkan menyentuhkan dahinya ke lantai.Guru Ma menghela napas dengan tenang dan panjang, mence

Latest chapter

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Memohon Petunjuk

    “Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kembali Ditahan

    Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menjemput Saksi

    “Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n

DMCA.com Protection Status