“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
Sesosok pria berlari dengan sangat cepat dengan memanggul sesuatu di bahunya. Di bawah siraman cahaya sang rembulan yang lembut, dia berlari keluar dari hutan, menuju sebuah kuil. Sebuah kuil yang lama tidak digunakan.Tanpa halangan, sang pria bebas memasuki kuil sebab pintu kuil yang telah rusak.Brugh!Pria tiga puluh tahun menjatuhkan sosok di bahunya begitu saja ke lantai kuil yang kotor dan berdebu tebal, seorang gadis sepantaran 17 tahun dengan tangan terikat ke belakang. Begitu juga dengan mulut dan kakinya.Sang gadis mengerang kesakitan, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia hanya mampu menggumam sebab mulut yang tersumbat. Dengan wajah pucat pasi, dia mencoba untuk menjerit dan meronta.Bagaimanapun, kondisi sang gadis sangat-sangat menyedihkan dengan pakaiannya yang tak lagi utuh, dan darah yang mengalir keluar dari sela kedua pahanya, membentuk garis lebar hingga ke ujung salah satu kakinya.Meskipun malam dan kondisi di sekitar cukup gelap, namun cahaya sang
Sang gadis mengangkat pedang bergagang merahnya, menunjuk Hoaren. “Kau benar-benar seorang iblis, Hoaren!”“Ahh …” Hoaren terkekeh. “Kukira siapa, ternyata Nona Muda Huang. Ada angin apa kau malam-malam begini mendatangi tempat yang terpencil ini, hmm?”“Tadinya aku tidak percaya bahwa kau menculik anak selir senior,” balas Nona Huang, 20 tahun. “Kau membuat Kasim Utara sangat malu dan terancam hukuman berat!”“Begitu, ya?” Hoaren dengan santainya tertawa pelan sembari mengusap-usap dagunya. “Jadi, kabar telah menyebar, hah?”“Dan kau juga membunuh Guru Liu!” Sorot mata Huang seolah sepasang pedang tajam yang bersiap menebas leher Hoaren. “Kau tahu dia hanyalah seorang guru sastra. Laki-laki macam apa yang tega membunuh orang tak berdaya, hah?”“Hei, tunggu dulu!”Hoaren seperti memikirkan sesuatu. Seolah-olah, dia tidak memedulikan kemarahan yang tersirat jelas di wajah dan mimik tubuh Huang, tidak pula ucapannya.“Tidak, tidak, tidak,” lanjutnya. “Tidak mungkin orang-orang di Istana
“Ya, itu sudah pasti.” Feng menghunus pedang bergagang birunya. “Jika kau tidak dihentikan, mungkin akan ada skandal-skandal lainnya yang muncul bersamamu di negeri ini.”Hoaren terkekeh. “Sombong sekali!”“Kakak Feng,” sahut Nona Huang. “Tidak ada gunanya berbicara dengan penjahat yang satu ini!”Wuush!Nona Huang sepertinya tak lagi hendak berlama-lama mendengarkan kata-kata dari mulut Hoaren sehingga dia melesat terlebih dahulu dengan pedang bergagang merahnya.Feng hanya mendengus pelan sebelum dia pun bergerak menyerang Hoaren dari sisi yang berbeda.Hoaren tahu pasti bahwa dia tidak akan selamat jika berhadapan dengan dua sejoli yang merupakan pasangan pendekar muda yang sedang naik daun di daratan Tiongkok ini.Memutar otak di tengah situasi yang sekarang ini adalah yang terbaik dibandingkan otot, pikirnya.Dia mengentakkan satu kakinya ke lantai. Sebuah balok kecil dari puing-puing rak yang ancur melesat ke atas dan disambar oleh Hoaren, lalu dengan cepat dia memutar tubuhnya
[Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif semata. Tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sesungguhnya.]Tahun 643 Masehi, di tahun ketujuh belas kepemerintahan Kaisar Taizong sebagai kaisar generasi kedua setelah menggantikan posisi Kaisar Gaozu yang wafat dalam silsilah Dinasti Tang, Negeri Tiongkok yang besar itu mengutus seorang pendeta Budha bermarga Ma untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Laut Melayu.Pada masa itu, Kekaisaran Tiongkok telah maju pesat. Terutama dalam bidang seni, sastra, kebudayaan, dan militer.Guru Ma, 50 tahun, begitu dia biasa disapa, diutus untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai Sutra yang tersebar di seluruh kawasan Aisa. Terutama, Asia Timur, Selatan, dan Tenggara.Di saat yang bersamaan, Istana Terlarang digemparkan dengan kematian seorang gadis yang merupakan anak dari salah seorang selir Kaisar Taizong. Pelakunya adalah bernama Hoaren, kerabat dekat seorang kasim istana yang berjuluk Kasim Utara. Hoaren memperkosa dan kemudian m
“Apakah kami butuh izin dari kalian?” Nona Huang menghunus pedangnya.Swiing!Dan lantas menyerang selusinan orang yang telah membunuh dua murid Guru Ma.Sementara itu, Feng menyarungkan kembali pedangnya, dan bergegas menghampiri Guru Ma.“Shan cai, shan cai …” Guru Ma masih tertunduk menatap jasad A Mien dan A Chen.Feng memeriksa kondisi kedua biksu muda yang berlumuran darah. Dia mendesah panjang. Yaah, mereka telah mati, pikirnya.“Guru Ma, maafkan aku, tapi kedua muridmu …”“Amithaba,” Guru Ma sedikit membungkukkan badannya. “A Mien dan A Chen telah memilih takdir mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk itu selain membacakan Sutra untuk arwah mereka.”Swiing!Crasss!Gerakan pedang bergagang merah di tangan Nona Huang begitu terfokus dan terarah, laksana tarian seekor Phoenix Api yang begitu indah. Sekali gerakan saja, dua penjahat terkapar dengan tubuh dipenuhi sayatan luka, menggeliat sesaat, lalu mati.“Pe-Pedang Surga!” Si pemimpin kawanan penjahat menelan ludah dengan w
“Guru Ma,” Tuan Muda Feng menunjuk ke arah timur. “Lihat! Di sana ada sebuah dermaga kecil dan dua kapal.” Guru Ma bersama Feng dan Huang berdiri di atas sebuah bukit pasir, di antara rumput dan ilalang yang tumbuh tidak begitu rapat. “Ayo, Guru Ma,” Huang mempersilakan sang biksu senior untuk melangkah terlebih dahulu. “Silakan.” “Shan cai, shan cai … Aku merasa senang ditemani oleh Nona Huang dan Tuan Muda Feng yang terkenal. Akan tetapi, aku takut merepotkan kalian berdua. Jadi, kurasa sebaiknya di dermaga itu nanti adalah perpisahan kita.” Huang melirik sang kekasih, begitu juga sebaliknya. “Guru Ma, Anda tidak perlu sungkan,” balas Feng dengan lembut. “Lagi pula, bukan satu kebetulan jika aku dan Nona Huang juga berada di kawasan Yangjiang ini.” “Shan cai, shan cai …” Guru Ma mengangguk-angguk. Pasangan muda dan menarik hati itu sudah membantu Guru Ma dalam mengkremasi jenazah dua biksu muda sebelumnya. Juga, dengan mayat-mayat penjahat yang terbunuh dalam pertarungan merek