Home / Pendekar / Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga / Malam Terkutuk di Kuil Tua

Share

Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga
Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga
Author: Minang KW

Malam Terkutuk di Kuil Tua

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sesosok pria berlari dengan sangat cepat dengan memanggul sesuatu di bahunya. Di bawah siraman cahaya sang rembulan yang lembut, dia berlari keluar dari hutan, menuju sebuah kuil. Sebuah kuil yang lama tidak digunakan.

Tanpa halangan, sang pria bebas memasuki kuil sebab pintu kuil yang telah rusak.

Brugh!

Pria tiga puluh tahun menjatuhkan sosok di bahunya begitu saja ke lantai kuil yang kotor dan berdebu tebal, seorang gadis sepantaran 17 tahun dengan tangan terikat ke belakang. Begitu juga dengan mulut dan kakinya.

Sang gadis mengerang kesakitan, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia hanya mampu menggumam sebab mulut yang tersumbat. Dengan wajah pucat pasi, dia mencoba untuk menjerit dan meronta.

Bagaimanapun, kondisi sang gadis sangat-sangat menyedihkan dengan pakaiannya yang tak lagi utuh, dan darah yang mengalir keluar dari sela kedua pahanya, membentuk garis lebar hingga ke ujung salah satu kakinya.

Meskipun malam dan kondisi di sekitar cukup gelap, namun cahaya sang rembulan yang masuk lewat atap kuil yang tak sempurna sedikit dapat memberikan penerangan di dalam kuil.

Pria yang bertelanjang dada menyeringai lebar. “Merontalah sesukamu, Meimei. Menjeritlah!” dan dia tertawa-tawa. “Aku belum puas menikmati tubuhmu. Kau tahu, semenjak aku memasuki Istana Terlarang, kecantikanmu sudah menggoda hasratku. Dan lihat di mana kita sekarang!”

Sang pria merentangkan tangannya lebar-lebar, memandang ke seluruh bagian kuil terbengkalai itu.

“Sebuah kuil Tao yang tak lagi terpakai. Ditinggalkan pengikutnya sebab mereka beralih ke ajaran baru yang dibawa biksu-biksu busuk itu dari Barat!”

Sang gadis tak hendak mendengar omong kosong pria tersebut. Dia tetap mencoba meronta, mengabaikan bahaya yang lebih besar meskipun, perlakuan sang pria sebelumnya kepada dirinya telah membuat dia kehilangan kesuciannya.

“Tapi itu tidak masalah, adik cantik!” sang pria terkekeh dengan mengusap dagunya. “Di sini, tidak akan ada yang menemukan kita. Oh, aku akan berpuas-puas menikmati tubuh dan kecantikanmu!”

Ketakutan semakin merajalela di dalam diri sang gadis. Dia meronta lagi dan berteriak lagi meskipun teriakannya tidak keluar dengan maksimal.

Dan pria itu, membungkuk lebih dalam. Persis seperti orang yang kesetanan, dia merobek-robek apa yang tersisa di tubuh sang gadis.

“Hei, adik manis,” sang pria tersenyum lebar dengan wajah memerah karena berahinya sendiri. “Jangan marah. Jangan membenciku. Salahkan saja kecantikanmu yang selalu menggoda nafsuku!”

Brettt! Brett!

Sang gadis menjerit lagi dengan sekeras-kerasnya. Meskipun kecil kemungkinannya seseorang akan mendengar suara tak jelasnya itu, tapi dia tetap berharap seseorang akan mendengarnya, lalu datang menyelamatkannya dari nafsu binatang pria yang menindihnya kini itu.

“Oh, Dewa Yang Agung, apa yang sedang terjadi di sini?”

Pria tiga puluh tahun terkesiap dan menemukan seorang pria tua bertubuh pendek sedang berdiri di ambang pintu kuil yang telah rusak.

Dia menyeringai. “Orang tua,” ucapnya. “Lebih baik kau tidak ikut campur urusanku dan segeralah pergi dari sini sekarang juga!”

Melihat seseorang muncul di ambang pintu, sang gadis mencoba menjerit dan meronta-ronta, berharap si pria tua akan membantunya lepas dari cengkeraman si pria berhati iblis.

Si orang tua memerhatikan kondisi si gadis di bawah tindihan si pria. Dia menghela napas dengan tenang dan sangat mengerti apa yang sudah dan sedang terjadi pada sang gadis.

“Anak Muda,” balasnya dengan suaranya yang tenang dan sangat bersahaja pada si pria yang mengangkangi sang gadis. “Tidakkah engkau takut akan karma buruk yang akan menimpamu?”

“Dan aku akan dengan senang hati menambah karma burukku dengan menebas batang lehermu, Orang Tua!”

Lagi, si orang tua menghela napas dengan tenang. Bahkan dia tersenyum ramah menanggapi ancaman pria tersebut.

“Kau berbuat dosa besar di dalam tempat yang suci ini.”

“Tempat suci?” sang pria tertawa-tawa, lalu bangkit berdiri dan menghadap ke arah pintu dengan tangan berada di pinggang. “Tempat suci macam apa yang dipenuhi oleh debu dan sarang laba-laba seperti ini, hah?”

“Meskipun tiada seorang pun yang datang berdoa ke tempat ini,” kata si orang tua, masih dengan senyuman. “Bukan berarti tempat ini kehilangan kesucian dan kesakralannya, Anak Muda.”

“Tutup mulutmu, orang tua keparat!” Si pria menunjuk kasar pada sosok di ambang pintu. “Segeralah berlalu atau aku benar-benar akan menenggelamkan tanganku dalam genangan darahmu!”

“Tuan Muda Hoaren, kau seharusnya tidak melakukan hal semacam ini.”

Pria itu terkesiap. Dia menyipitkan matanya demi melihat jelas sosok di ambang pintu. Lalu dia terkekeh.

“Benar,” ucapnya dengan mengangguk-angguk. “Ternyata kau Guru Liu. Ini sangat aneh, kenapa kau bisa datang ke kuil terbengkalai ini? Atau, kau sesungguhnya telah memata-mataiku?”

“Tidak, aku bukan orang yang seperti itu,” balas Guru Liu, 60 tahun. “Aku hanya kebetulan lewat dan ingin singgah berdoa di kuil ini.”

“Maaf-maaf saja, Guru Liu,” Hoaren menyeringai tipis. “Aku tidak percaya ucapanmu. Dan kau sudah melihat apa yang aku lakukan. Jadi, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini!”

“Apakah itu tidak berlebihan, Tuan Muda Hoaren?” ujar Guru Liu. “Kau tahu aku tidak membekal ilmu bela diri tidak pula kesaktian apa pun selain ilmu sastra. Aku hanya meminta, lepaskan gadis itu. Jangan menambah beban karma yang akan kau tanggung nanti.”

Hoaren tersenyum tipis. Lalu memerhatikan si gadis di bawah kakinya.

“Baiklah!” ucapnya dengan helaan napas yang panjang. “Jika kau dapat menjamin hal ini tidak akan tersebar, maka―” Dia menjauh dari sang gadis. “Silakan,” lanjutnya. “Silakan kau bawa dia pergi. Toh, aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan darinya!”

Guru Liu mengangguk kecil. “Terima kasih atas kebesaran hatimu, Tuan Muda Hoaren.”

Pria tua mendekati sang gadis, berjongkok di sampingnya, lalu melepaskan lapisan pertama pakaiannya dan menggunakan pakaian tersebut untuk menutupi tubuh telanjang sang gadis.

Dan sampai sejauh itu, Hoaren hanya berdiri dengan tangan berlipat ke dada sembari memerhatikan apa yang sedang dilakukan oleh Guru Liu terhadap sang gadis.

“A-Anda Guru Liu? Terima kasih,” ucap sang gadis ketika pria tua telah melepas pengikat mulutnya. “A-Aku―”

Guru Liu mengedipkan sebelah matanya. Bagaimanapun, dia tahu pasti siapa gadis malang di hadapannya itu.

“Kau pikir aku bodoh hah, Guru Liu!”

Pria tua terkesiap ketika hendak melepas ikatan di tangan sang gadis. Dan saat dia berpaling, sebuah cengkeraman kuat hinggap di lehernya, menghentikan keinginannya untuk melepas ikatan sang gadis.

“Tu-Tuan Muda Hoaren …” ucap Guru Liu dengan bersusah payah. “Ke-Kenapa? Bukankah engkau setuju aku membawa pergi gadis ini?”

Hoaren menyeringai lebar, mendekatkan wajahnya ke wajah Guru Liu sementara cengkeramannya di leher Guru Liu semakin kuat.

“Kau pikir kau akan semudah itu mengelabuiku?” Hoaren terkekeh. “Aku tidak bodoh, orang tua busuk! Jika kau mengenaliku, itu berarti, kau juga mengenali gadis ini, bukan?”

“Tu-Tuan Muda Hoaren, kumohon, jangan menambah dosa yang melumuri tanganmu!”

“Lepaskan dia!” teriak sang gadis. “Lepaskan Guru Liu. Hoaren! Kau bajingan, sang Kaisar pasti akan memenggal kepalamu, mengulitimu hidup-hidup!”

“Nona, hentikan!” Guru Liu hanya takut ucapan sang gadis justru hanya akan memprovokasi kemarahan Hoaren.

“Percuma saja!” Bahkan bola mata Hoaren seolah berkilat memantulkan cahaya sang rembulan. “Aku tidak akan melepaskan kalian berdua!”

“Tuan Muda, kau―”

Krakk!

“Guru Liu!” sang gadis menjerit histeris.

Hoaren dengan sangat kejam telah membunuh sang guru sastra dengan meremas kuat batang lehernya dan membuat tulang lehernya patah.

Dua tangan Guru Liu terkulai seiring nyawanya lepas dari raga. Dia tewas dengan mata membelalak dan lidah yang sedikit terjulur.

“Dasar orang tua keparat!” Hoaren mendengus kencang. “Kalau sudah tahu kau tidak akan bakal menang dariku, mengapa mencari penyakit? Bodoh!”

Hoaren melepaskan cengkeramannya dari leher pria tua malang itu hingga tubuh tak bernyawa tersebut ambruk ke lantai dan bergeming hening.

Sang gadis menjadi semakin ketakutan dengan mata membelalak lebar.

“Dan sekarang,” Hoaren menjulurkan lidah dan menjilat bibirnya, memandangi sang gadis dengan nafsu berahi yang meledak-ledak. “Giliranmu, Meimei!”

“Apa yang kau lakukan pada Guru Liu?!”

Satu suara lagi terdengar. Dan ketika Hoaren berbalik dia menemukan seorang gadis dengan pedang bergagang merah telah terhunus di tangan kanannya.

“Keparat!” teriak sang gadis dengan kemarahan yang begitu menggelegak.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Minang KW
Hai, genks ^^ jumpa lagi dengan saya, Minang KW. Jika kalian suka dengan cerita ini, plis beri dukungan dengan membuat ulasab dan bintang 5, makasih.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Dibatasi oleh Ruangan

    Sang gadis mengangkat pedang bergagang merahnya, menunjuk Hoaren. “Kau benar-benar seorang iblis, Hoaren!”“Ahh …” Hoaren terkekeh. “Kukira siapa, ternyata Nona Muda Huang. Ada angin apa kau malam-malam begini mendatangi tempat yang terpencil ini, hmm?”“Tadinya aku tidak percaya bahwa kau menculik anak selir senior,” balas Nona Huang, 20 tahun. “Kau membuat Kasim Utara sangat malu dan terancam hukuman berat!”“Begitu, ya?” Hoaren dengan santainya tertawa pelan sembari mengusap-usap dagunya. “Jadi, kabar telah menyebar, hah?”“Dan kau juga membunuh Guru Liu!” Sorot mata Huang seolah sepasang pedang tajam yang bersiap menebas leher Hoaren. “Kau tahu dia hanyalah seorang guru sastra. Laki-laki macam apa yang tega membunuh orang tak berdaya, hah?”“Hei, tunggu dulu!”Hoaren seperti memikirkan sesuatu. Seolah-olah, dia tidak memedulikan kemarahan yang tersirat jelas di wajah dan mimik tubuh Huang, tidak pula ucapannya.“Tidak, tidak, tidak,” lanjutnya. “Tidak mungkin orang-orang di Istana

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Sebuah Kegagalan

    “Ya, itu sudah pasti.” Feng menghunus pedang bergagang birunya. “Jika kau tidak dihentikan, mungkin akan ada skandal-skandal lainnya yang muncul bersamamu di negeri ini.”Hoaren terkekeh. “Sombong sekali!”“Kakak Feng,” sahut Nona Huang. “Tidak ada gunanya berbicara dengan penjahat yang satu ini!”Wuush!Nona Huang sepertinya tak lagi hendak berlama-lama mendengarkan kata-kata dari mulut Hoaren sehingga dia melesat terlebih dahulu dengan pedang bergagang merahnya.Feng hanya mendengus pelan sebelum dia pun bergerak menyerang Hoaren dari sisi yang berbeda.Hoaren tahu pasti bahwa dia tidak akan selamat jika berhadapan dengan dua sejoli yang merupakan pasangan pendekar muda yang sedang naik daun di daratan Tiongkok ini.Memutar otak di tengah situasi yang sekarang ini adalah yang terbaik dibandingkan otot, pikirnya.Dia mengentakkan satu kakinya ke lantai. Sebuah balok kecil dari puing-puing rak yang ancur melesat ke atas dan disambar oleh Hoaren, lalu dengan cepat dia memutar tubuhnya

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Sisa-Sisa Pemberontakan

    [Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif semata. Tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sesungguhnya.]Tahun 643 Masehi, di tahun ketujuh belas kepemerintahan Kaisar Taizong sebagai kaisar generasi kedua setelah menggantikan posisi Kaisar Gaozu yang wafat dalam silsilah Dinasti Tang, Negeri Tiongkok yang besar itu mengutus seorang pendeta Budha bermarga Ma untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Laut Melayu.Pada masa itu, Kekaisaran Tiongkok telah maju pesat. Terutama dalam bidang seni, sastra, kebudayaan, dan militer.Guru Ma, 50 tahun, begitu dia biasa disapa, diutus untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai Sutra yang tersebar di seluruh kawasan Aisa. Terutama, Asia Timur, Selatan, dan Tenggara.Di saat yang bersamaan, Istana Terlarang digemparkan dengan kematian seorang gadis yang merupakan anak dari salah seorang selir Kaisar Taizong. Pelakunya adalah bernama Hoaren, kerabat dekat seorang kasim istana yang berjuluk Kasim Utara. Hoaren memperkosa dan kemudian m

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Sang Phoenix Api

    “Apakah kami butuh izin dari kalian?” Nona Huang menghunus pedangnya.Swiing!Dan lantas menyerang selusinan orang yang telah membunuh dua murid Guru Ma.Sementara itu, Feng menyarungkan kembali pedangnya, dan bergegas menghampiri Guru Ma.“Shan cai, shan cai …” Guru Ma masih tertunduk menatap jasad A Mien dan A Chen.Feng memeriksa kondisi kedua biksu muda yang berlumuran darah. Dia mendesah panjang. Yaah, mereka telah mati, pikirnya.“Guru Ma, maafkan aku, tapi kedua muridmu …”“Amithaba,” Guru Ma sedikit membungkukkan badannya. “A Mien dan A Chen telah memilih takdir mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk itu selain membacakan Sutra untuk arwah mereka.”Swiing!Crasss!Gerakan pedang bergagang merah di tangan Nona Huang begitu terfokus dan terarah, laksana tarian seekor Phoenix Api yang begitu indah. Sekali gerakan saja, dua penjahat terkapar dengan tubuh dipenuhi sayatan luka, menggeliat sesaat, lalu mati.“Pe-Pedang Surga!” Si pemimpin kawanan penjahat menelan ludah dengan w

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Yin dan Yang

    “Guru Ma,” Tuan Muda Feng menunjuk ke arah timur. “Lihat! Di sana ada sebuah dermaga kecil dan dua kapal.” Guru Ma bersama Feng dan Huang berdiri di atas sebuah bukit pasir, di antara rumput dan ilalang yang tumbuh tidak begitu rapat. “Ayo, Guru Ma,” Huang mempersilakan sang biksu senior untuk melangkah terlebih dahulu. “Silakan.” “Shan cai, shan cai … Aku merasa senang ditemani oleh Nona Huang dan Tuan Muda Feng yang terkenal. Akan tetapi, aku takut merepotkan kalian berdua. Jadi, kurasa sebaiknya di dermaga itu nanti adalah perpisahan kita.” Huang melirik sang kekasih, begitu juga sebaliknya. “Guru Ma, Anda tidak perlu sungkan,” balas Feng dengan lembut. “Lagi pula, bukan satu kebetulan jika aku dan Nona Huang juga berada di kawasan Yangjiang ini.” “Shan cai, shan cai …” Guru Ma mengangguk-angguk. Pasangan muda dan menarik hati itu sudah membantu Guru Ma dalam mengkremasi jenazah dua biksu muda sebelumnya. Juga, dengan mayat-mayat penjahat yang terbunuh dalam pertarungan merek

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Lidah Bercabang

    “Hei!” Seorang pemuda berdiri dan menatap pada semua orang, pun begitu sebaliknya. “Sepertinya aku mendengar tentang hal ini kemarin dari seorang yang datang dari Daratan Tengah.”“Nah, itu dia!” Hoaren tersenyum lebar, umpannya telah dimakan oleh seseorang. Ini akan lebih mudah lagi, pikirnya.Jika seseorang di antara mereka yang berbicara, maka besar kemungkinan orang-orang itu akan percaya. Hal inilah yang hendak dimanfaatkan oleh Hoaren.“Lalu, apa hubungannya dengan kami?” tanya si pria dengan golok besar di bahunya, lagi. “Apa yang ingin kau sampaikan, hah?”“Hadiah!” Hoaren berkata dengan sangat percaya diri.“Hadiah?” Orang-orang kembali saling pandang.“Ya, hadiah yang besar!” balas Hoaren. “Sangat besar!”“Itu benar!” timpal si pemuda yang tadi. “Aku tidak tahu pastinya, tapi, menurut orang-orang Tengah itu, wang emas yang sangat banyak.”Dan tampaknya hal ini telah mengusik pikiran semua orang. Terlebih lagi, rata-rata mereka adalah masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menjual Nama

    Kelompok pria bergolok lebar melirik tajam pada Haoren.“Apa jawabanmu hei, A Niu?!” Pria bergolok lebar sepertinya pemimpin bagi rekan-rekannya.Hoaren tersenyum lagi meski dalam hati dia mengutuk habis-habisan si perempuan tua yang dengan satu dan lain alasan seolah selalu menentang ucapannya.Kubunuh kau nanti, perempuan tua keparat!“Apakah kau tahu siapa pendeta itu, Nenek?” Hoaren membalikkan pertanyaan untuk menutupi kekesalannya.“Tentu saja aku tidak tahu. Kau yang seharusnya memberi tahu pada kami!” kata si nenek dengan wajah tak senang. “Cih, kau tidak punya sopan santun sama sekali terhadap wanita tua sepertiku!”“Dia adalah seorang Pendeta Budha sesat!” Hoaren menebar lagi fitnahan lainnya di atas fitnah pertama. “Kalian pernah mendengar bahwa di wilayah Barat ada segerombolan Pendeta Budha yang menyiksa pengikut Tao, bukan?”Mendengar itu, orang-orang di sana yang rata-rata berkepercayaan Taoisme menjadi geram dengan sorot mata dipenuhi hawa membunuh yang kuat.Ya, Hoare

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Benang Kusut

    Sementara itu, Feng mengernyitkan dahi ketika melihat salah satu dari dua kapal di dermaga telah berlayar terlebih dahulu.“Oh, tidak!” ucapnya. “Salah satu kapal telah berangkat!”“Shan cai, shan cai …” Guru Ma tetap bersabar sebagaimana dengan sifatnya sendiri.“Tidak perlu khawatir, Kakak Feng,” ujar Huang sembari membimbing Guru Ma dari sisi kiri. “Sungai Moyang termasuk salah satu jalur yang sibuk. Pasti akan ada kapal-kapal lainnya yang datang dari arah utara.”“Yah …” Feng mendesah halus. “Semoga saja.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum tipis. Dia dapat menangkap kegelisahan di diri Feng meskipun pemuda itu sudah berupaya menyembunyikannya. “Tuan Muda Feng.”“Guru Ma?” Feng sedikit membungkuk dan terus membimbing guru besar tersebut dari sisi kanan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” lanjut Guru Ma pada Feng. “Tidak perlu tergesa-gesa. Jika memang sudah ditakdirkan, kau dan Nona Huang pasti akan bisa menemukan Hoaren. Mungkin dia berada di kapal itu, mungkin pula tidak. Manusia

Latest chapter

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kondisi yang Berbeda

    “Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Bukan Sebuah Perlombaan

    “Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Di Bukit Tiga Puluh

    “Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tapak Suci Bodhisatva

    Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tidak Pandang Bulu

    “Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Tekad Hoaren

    Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Memohon Petunjuk

    “Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Kembali Ditahan

    Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.

  • Feng Huang - Kitab 3: Pedang Surga   Menjemput Saksi

    “Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n

DMCA.com Protection Status