Sang gadis mengangkat pedang bergagang merahnya, menunjuk Hoaren. “Kau benar-benar seorang iblis, Hoaren!”
“Ahh …” Hoaren terkekeh. “Kukira siapa, ternyata Nona Muda Huang. Ada angin apa kau malam-malam begini mendatangi tempat yang terpencil ini, hmm?”
“Tadinya aku tidak percaya bahwa kau menculik anak selir senior,” balas Nona Huang, 20 tahun. “Kau membuat Kasim Utara sangat malu dan terancam hukuman berat!”
“Begitu, ya?” Hoaren dengan santainya tertawa pelan sembari mengusap-usap dagunya. “Jadi, kabar telah menyebar, hah?”
“Dan kau juga membunuh Guru Liu!” Sorot mata Huang seolah sepasang pedang tajam yang bersiap menebas leher Hoaren. “Kau tahu dia hanyalah seorang guru sastra. Laki-laki macam apa yang tega membunuh orang tak berdaya, hah?”
“Hei, tunggu dulu!”
Hoaren seperti memikirkan sesuatu. Seolah-olah, dia tidak memedulikan kemarahan yang tersirat jelas di wajah dan mimik tubuh Huang, tidak pula ucapannya.
“Tidak, tidak, tidak,” lanjutnya. “Tidak mungkin orang-orang di Istana Terlarang akan menyebarkan kasus ini sebab ini hanya akan menimbulkan kegaduhan, mengancam kekuasaan sang Kaisar yang tidak dapat melindungi anak dari selir seniornya. Dia akan dicap sebagai seorang kaisar bodoh!”
“Keparat bermulut besar!”
Swiiing!
Kesabaran Huang habis sudah. Satu gerakan, dan tubuh indah semampai sang gadis telah melesat bersama desingan pedang bergagang merah di tangannya.
Hoaren terkekeh dengan menyipitkan mata. “Oh, Nona Huang, kau sangat cantik sekali, dan semakin bertambah cantik bila dalam keadaan marah begini!”
“Tutup mulut busukmu!”
Wuush!
Tusukan ke arah wajahnya dapat dengan mudah dihindari oleh Hoaren dengan melengkungkan tubuhnya ke belakang. Lalu dengan cepat dia menghindar ke kiri.
Hoaren tahu pasti seperti apa kemampuan dan kesaktian seorang Nona Huang, sebab itu dia memutar otak untuk dapat mengunggulinya.
“Nona Huang!” ucap sang gadis yang masih bersimpuh di lantai. “Selamatkan saya, Nona.”
“Tenanglah!” Huang berdiri di dekat sang gadis, membelakanginya. “Aku akan memastikan bajingan yang satu ini mendapatkan hukuman yang sangat berat!”
Dengan kehadiran Huang di sana, sang gadis merasa punya harapan besar untuk dapat selamat dari cengkeraman Hoaren. Bagaimanapun, dia juga mengetahui bahwa Huang termasuk salah satu pendekar muda berbakat, dan dia juga adalah keponakan jauh dari Kaisar Taizong.
Nona Huang kembali menerjang dengan jurus tebasan pedangnya. Bilah pedang berkilau memantulkan cahaya rembulan.
Swiing!
Wuush!
Crass!
Sayangnya, jurus tebasan itu hanya mengenai tempat kosong sebab Hoaren kembali dapat menghindar. Dan angin tebasan yang tercipta justru menghancurkan meja usang di dekat dinding di belakang posisi Hoaren berdiri sesaat sebelumnya.
“Keparat!” Huang menggeram. “Ternyata benar, hah? Kau hanyalah seorang pengecut yang cuma bisa menghindar dan menghindar. Kau hanya berani pada yang lemah!”
Hoaren tanggapi itu dengan tawa. “Jangan besar kepala dulu, Nona Huang. Hei, bagaimana kalau kau ikut bersenang-senang denganku, hmm?”
“Kau benar-benar bermulut kotor!”
Swiing!
Huang kembali menyerang dengan jurus pedangnya. Bahkan kali ini, serangan tusukan pedangnya terlihat menjadi sangat banyak.
Gadis di lantai cukup terperangah menyaksikan keindahan gerakan pedang Nona Huang.
Akan tetapi, Hoaren tahu pasti bahwa di dalam ruangan yang tidak seberapa besar ini, gerakan dengan menggunakan senjata sangatlah terbatas dan tidak menjadi maksimal.
“Ayolah, Nona Huang!” Hoaren menghindar ke kanan dengan berguling ke lantai.
Crass! Crass! Crass!
Hujan bilah pedang menghancurkan rak tua di sisi kanan ruangan, juga menciptakan lubang-lubang kecil di permukaan lantai batu.
Huang menggeram lagi. Pria berhati iblis itu masih dapat menghindari serangan demi serangannya.
“Apa kau tidak tahu?” Hoaren terkekeh lagi sembari menepis debu-debu yang mengotori badannya sebab dia masih berlum mengenakan baju. “Kau juga termasuk gadis yang kuincar, Nona Huang. Kecantikanmu, keindahan tubuhmu, terlebih lagi … kau masih keluarga jauh sang Kaisar. Ini merupakan satu tantangan tersendiri, mendapatkan tubuhmu meski harus menjadi buronan adalah hal yang sepadan!”
Huang mengertakkan rahangnya dengan tatapan tajam. Dan dengan gerakan tiba-tiba, dia berputar ke arah kanan membentuk satu putaran penuh. Pedang di tangannya berdesing mengerikan.
Swiiing!
Hoaren cukup terkejut sebab tenaga dalam yang dilepaskan bersama jurus tebasan melingkar itu cukup besar, suara berdesing terdengar menggidikkan seolah angin tebasan membentuk bilah raksasa yang menderu ke arah dirinya.
“Berengsek!” Hoaren menggeram lalu melontarkan tubuhnya ke atas.
Swoosh!
Crasss!
Angin tebasan lewat kurang dari seinci di bawah kaki Hoaren, bahkan mengiris tipis salah satu telapak sepatunya. Dia mereguk ludah demi menyaksikan dinding batu kuil tersebut terpapas rata, menyisakan celah tipis panjang yang membuat cahaya sang rembulan memasuki sudut ruangan di bagian yang sama.
Hoaren selamat dengan bergelantungan di salah satu balok dari bagian kuda-kuda penyangga atap kuil.
Belum habis keterkejutannya, Nona Huang kembali menyerangnya dengan jurus tusukan pedang yang mengincar perutnya.
Swiing!
Disebabkan posisinya kini itu, Hoaren mau tidak mau harus mengandalkan ilmu bela diri dan kesaktian yang ia miliki.
Wuush!
Twiing!
Dia dengan cermat mampu menyapu bilah pedang yang berdesing ke arahnya, dan dengan kakinya yang satu lagi, Hoaren membuat gerakan tendangan melingkar dengan dua tangan tetap menjaga posisi tubuhnya yang bergelantungan.
Whuuk!
Begitu tusukan pedangnya dimentahkan Hoaren, Nona Huang dengan cepat membungkukkan tubuhnya. Dia dengan mudah melakukan hal tersebut meskipun masih mengambang di udara.
Wushh!
Tendangan melingkar Hoaren lewat di atas kepala Huang, kurang dari sejengkal saja.
Dengan memutar tubuhnya serta pedang di tangannya, Nona Huang kembali melepaskan serangan tebasan kepada Hoaren.
Swiing!
“Keparat!” Hoaren menggeram begitu tendangan melingkarnya tidak mengenai sasaran.
Sadar akan serangan susulan dari Huang, Hoaren mengangkat tubuhnya lebih tinggi, lalu menggunakan sepasang kakinya untuk menolak sebuah balok kuda-kuda, dan hal ini melontarkan tubuhnya dengan cepat ke bawah.
Dia berjumpalitan sekali, lalu menjejakkan kakinya ke lantai, dan dengan cepat berbalik.
“Hei,” ujarnya sembari menyeringai lebar. “Bukankah kau selalu bersama dengan kekasihmu itu?”
Huang menggembor kemarahan di dalam dadanya sebab lagi-lagi serangannya dapat dihindari oleh Hoaren. Dengan begelantungan satu tangan pada sebuah balok kuda-kuda, dia memutar tubuhnya sedemikian rupa, lalu melesat dengan pedang terhunus lurus.
Wuush!
“Di mana dia?” Hoaren terkekeh, lalu dengan cepat memutar kedua tangannya sedemikian rupa. “Kau tidak takut sendirian seperti ini, hah?”
Nona Huang tidak ingin meladeni ucapan Hoaren yang hanya akan membuatnya menjadi bertambah emosi.
Sementara itu, gerakan kedua tangan Hoaren serta kelenturan tubuhnya mampu membuat gerakan pedang Nona Huang tidak menyentuh tubuhnya sama sekali.
Swiing! Swiing!
Whuuk! Whukk!
Sekeras apa pun upaya Nona Huang untuk melukai Hoaren, namun tak sekali juga mata pedangnya menggores kulit pria tersebut.
Desgh!
Tendangan tiba-tiba dari Hoaren dapat ditahan oleh Nona Huang dengan menyilangkan pedangnya di depan wajahnya sehingga telapak kaki Hoaren tertahan bilah pedang.
Memanfaatkan daya pantul serangannya pada bilah pedang, Hoaren melontarkan tubuhnya jauh ke belakang, dan menjejak lantai dengan membelakangi pintu kuil yang rusak.
“Sudah kukatakan, bukan?” Hoaren tersenyum lebar. “Jika kau hanya sendirian saja, maka kau hanya akan menjadi bulan-bulananku, Nona Huang yang manis!”
“Keparat bermulut busuk!” Nona Huang kembali mengangkat pedangnya. “Aku tidak akan melepaskanmu, bajingan!”
“Mari, Nona Huang,” Hoaren bahkan menggerakkan kedua tangannya seolah meminta sang gadis mendekatinya dengan baik-baik. “Mari datang padaku. Dan kali ini, aku tidak akan bermain-main lagi denganmu!”
“Siapa bilang dia sendirian?”
Hoaren membelalak terkesiap. Dari arah belakang, dia merasakan hawa sejuk yang mampu menusuk hingga ke dalam tulang.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, dia segera melemparkan tubuhnya ke arah kanan, ke arah rak usang yang sebelumnya telah hancur terkena serangan gagal Nona Huang.
Syuu!
Whuus!
Seorang pemuda gagah berpakaian serbabiru tiba-tiba muncul di dalam kuil tua tersebut dan telah berdiri satu langkah di hadapan Nona Huang. Dia membekal sebilah pedang dengan sarung dan gagangnya yang juga berwarna biru.
Hoaren yang mendarat di lantai dengan posisi setengah berlutut itu menggeram kencang, lalu berdiri sembari memutar otak untuk bisa lari dari situasi yang tidak menguntungkannya kini.
“Datang juga kau,” ucapnya dengan seringai tipis di wajah. “Tuan Muda Feng!”
“Tentu saja,” Feng, 25 tahun, tersenyum lalu melirik Nona Huang dan lebih mendekat kepadanya. “Kau baik-baik saja, Adik Huang?”
Nona Huang yang masih kesal kepada Hoaren hanya menanggapi dengan helaan napas yang panjang.
“Kenapa tidak memberi tahuku terlebih dahulu?”
Hening. Tatapan Nona Huang yang begitu tajam tidak beralih dari sosok Hoaren, seolah mengabaikan saja pertanyaan pemuda di hadapannya yang adalah kekasih sekaligus tunangannya.
Tuan Muda Feng sudah mengenal pasti watak kekasihnya tersebut. Jadi, dia tidak meneruskan ucapannya namun justru menatap pada sosok gadis terikat di belakang Nona Huang. Juga, pada mayat Guru Liu.
“Oh, Guru Liu …” gumamnya dengan bersedih hati. Dan kembali tatapannya tertuju pada Hoaren. “Kau benar-benar buruk, Hoaren.”
“Kau siapa, hah?” Hoaren mengendikkan sedikit bahunya dengan tangan mengembang ke samping. “Seorang hakim, kah?”
“Kejahatanmu benar-benar sulit untuk dimaafkan!”
“Oh, begitukah yang kau pikirkan, Tuan Muda Feng?” Hoaren terkekeh dengan mengangguk-angguk kecil. “Jadi, kau juga datang untuk menangkapku, hah?”
“Ya, itu sudah pasti.” Feng menghunus pedang bergagang birunya. “Jika kau tidak dihentikan, mungkin akan ada skandal-skandal lainnya yang muncul bersamamu di negeri ini.”Hoaren terkekeh. “Sombong sekali!”“Kakak Feng,” sahut Nona Huang. “Tidak ada gunanya berbicara dengan penjahat yang satu ini!”Wuush!Nona Huang sepertinya tak lagi hendak berlama-lama mendengarkan kata-kata dari mulut Hoaren sehingga dia melesat terlebih dahulu dengan pedang bergagang merahnya.Feng hanya mendengus pelan sebelum dia pun bergerak menyerang Hoaren dari sisi yang berbeda.Hoaren tahu pasti bahwa dia tidak akan selamat jika berhadapan dengan dua sejoli yang merupakan pasangan pendekar muda yang sedang naik daun di daratan Tiongkok ini.Memutar otak di tengah situasi yang sekarang ini adalah yang terbaik dibandingkan otot, pikirnya.Dia mengentakkan satu kakinya ke lantai. Sebuah balok kecil dari puing-puing rak yang ancur melesat ke atas dan disambar oleh Hoaren, lalu dengan cepat dia memutar tubuhnya
[Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif semata. Tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sesungguhnya.]Tahun 643 Masehi, di tahun ketujuh belas kepemerintahan Kaisar Taizong sebagai kaisar generasi kedua setelah menggantikan posisi Kaisar Gaozu yang wafat dalam silsilah Dinasti Tang, Negeri Tiongkok yang besar itu mengutus seorang pendeta Budha bermarga Ma untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Laut Melayu.Pada masa itu, Kekaisaran Tiongkok telah maju pesat. Terutama dalam bidang seni, sastra, kebudayaan, dan militer.Guru Ma, 50 tahun, begitu dia biasa disapa, diutus untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai Sutra yang tersebar di seluruh kawasan Aisa. Terutama, Asia Timur, Selatan, dan Tenggara.Di saat yang bersamaan, Istana Terlarang digemparkan dengan kematian seorang gadis yang merupakan anak dari salah seorang selir Kaisar Taizong. Pelakunya adalah bernama Hoaren, kerabat dekat seorang kasim istana yang berjuluk Kasim Utara. Hoaren memperkosa dan kemudian m
“Apakah kami butuh izin dari kalian?” Nona Huang menghunus pedangnya.Swiing!Dan lantas menyerang selusinan orang yang telah membunuh dua murid Guru Ma.Sementara itu, Feng menyarungkan kembali pedangnya, dan bergegas menghampiri Guru Ma.“Shan cai, shan cai …” Guru Ma masih tertunduk menatap jasad A Mien dan A Chen.Feng memeriksa kondisi kedua biksu muda yang berlumuran darah. Dia mendesah panjang. Yaah, mereka telah mati, pikirnya.“Guru Ma, maafkan aku, tapi kedua muridmu …”“Amithaba,” Guru Ma sedikit membungkukkan badannya. “A Mien dan A Chen telah memilih takdir mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk itu selain membacakan Sutra untuk arwah mereka.”Swiing!Crasss!Gerakan pedang bergagang merah di tangan Nona Huang begitu terfokus dan terarah, laksana tarian seekor Phoenix Api yang begitu indah. Sekali gerakan saja, dua penjahat terkapar dengan tubuh dipenuhi sayatan luka, menggeliat sesaat, lalu mati.“Pe-Pedang Surga!” Si pemimpin kawanan penjahat menelan ludah dengan w
“Guru Ma,” Tuan Muda Feng menunjuk ke arah timur. “Lihat! Di sana ada sebuah dermaga kecil dan dua kapal.” Guru Ma bersama Feng dan Huang berdiri di atas sebuah bukit pasir, di antara rumput dan ilalang yang tumbuh tidak begitu rapat. “Ayo, Guru Ma,” Huang mempersilakan sang biksu senior untuk melangkah terlebih dahulu. “Silakan.” “Shan cai, shan cai … Aku merasa senang ditemani oleh Nona Huang dan Tuan Muda Feng yang terkenal. Akan tetapi, aku takut merepotkan kalian berdua. Jadi, kurasa sebaiknya di dermaga itu nanti adalah perpisahan kita.” Huang melirik sang kekasih, begitu juga sebaliknya. “Guru Ma, Anda tidak perlu sungkan,” balas Feng dengan lembut. “Lagi pula, bukan satu kebetulan jika aku dan Nona Huang juga berada di kawasan Yangjiang ini.” “Shan cai, shan cai …” Guru Ma mengangguk-angguk. Pasangan muda dan menarik hati itu sudah membantu Guru Ma dalam mengkremasi jenazah dua biksu muda sebelumnya. Juga, dengan mayat-mayat penjahat yang terbunuh dalam pertarungan merek
“Hei!” Seorang pemuda berdiri dan menatap pada semua orang, pun begitu sebaliknya. “Sepertinya aku mendengar tentang hal ini kemarin dari seorang yang datang dari Daratan Tengah.”“Nah, itu dia!” Hoaren tersenyum lebar, umpannya telah dimakan oleh seseorang. Ini akan lebih mudah lagi, pikirnya.Jika seseorang di antara mereka yang berbicara, maka besar kemungkinan orang-orang itu akan percaya. Hal inilah yang hendak dimanfaatkan oleh Hoaren.“Lalu, apa hubungannya dengan kami?” tanya si pria dengan golok besar di bahunya, lagi. “Apa yang ingin kau sampaikan, hah?”“Hadiah!” Hoaren berkata dengan sangat percaya diri.“Hadiah?” Orang-orang kembali saling pandang.“Ya, hadiah yang besar!” balas Hoaren. “Sangat besar!”“Itu benar!” timpal si pemuda yang tadi. “Aku tidak tahu pastinya, tapi, menurut orang-orang Tengah itu, wang emas yang sangat banyak.”Dan tampaknya hal ini telah mengusik pikiran semua orang. Terlebih lagi, rata-rata mereka adalah masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja,
Kelompok pria bergolok lebar melirik tajam pada Haoren.“Apa jawabanmu hei, A Niu?!” Pria bergolok lebar sepertinya pemimpin bagi rekan-rekannya.Hoaren tersenyum lagi meski dalam hati dia mengutuk habis-habisan si perempuan tua yang dengan satu dan lain alasan seolah selalu menentang ucapannya.Kubunuh kau nanti, perempuan tua keparat!“Apakah kau tahu siapa pendeta itu, Nenek?” Hoaren membalikkan pertanyaan untuk menutupi kekesalannya.“Tentu saja aku tidak tahu. Kau yang seharusnya memberi tahu pada kami!” kata si nenek dengan wajah tak senang. “Cih, kau tidak punya sopan santun sama sekali terhadap wanita tua sepertiku!”“Dia adalah seorang Pendeta Budha sesat!” Hoaren menebar lagi fitnahan lainnya di atas fitnah pertama. “Kalian pernah mendengar bahwa di wilayah Barat ada segerombolan Pendeta Budha yang menyiksa pengikut Tao, bukan?”Mendengar itu, orang-orang di sana yang rata-rata berkepercayaan Taoisme menjadi geram dengan sorot mata dipenuhi hawa membunuh yang kuat.Ya, Hoare
Sementara itu, Feng mengernyitkan dahi ketika melihat salah satu dari dua kapal di dermaga telah berlayar terlebih dahulu.“Oh, tidak!” ucapnya. “Salah satu kapal telah berangkat!”“Shan cai, shan cai …” Guru Ma tetap bersabar sebagaimana dengan sifatnya sendiri.“Tidak perlu khawatir, Kakak Feng,” ujar Huang sembari membimbing Guru Ma dari sisi kiri. “Sungai Moyang termasuk salah satu jalur yang sibuk. Pasti akan ada kapal-kapal lainnya yang datang dari arah utara.”“Yah …” Feng mendesah halus. “Semoga saja.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum tipis. Dia dapat menangkap kegelisahan di diri Feng meskipun pemuda itu sudah berupaya menyembunyikannya. “Tuan Muda Feng.”“Guru Ma?” Feng sedikit membungkuk dan terus membimbing guru besar tersebut dari sisi kanan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” lanjut Guru Ma pada Feng. “Tidak perlu tergesa-gesa. Jika memang sudah ditakdirkan, kau dan Nona Huang pasti akan bisa menemukan Hoaren. Mungkin dia berada di kapal itu, mungkin pula tidak. Manusia
“Adik Huang, apakah kau membutuhkan bantuanku?”Huang tersenyum tanpa berpaling menanggapi tawaran dari Feng. “Tidak,” ucapnya seraya memutar dan mengarahkan pedangnya ke depan. “Kurasa cukup aku saja. Kau lindungi saja Guru Ma, Kakak!”Pria besar dengan golok lebar terkekeh dengan tatapan membunuh yang kental terhadap Huang.“Kau sungguh takabur, Nona,” ucapnya. “Kuakui, kau menggunakan pedangmu dengan baik. Tapi, jangan besar kepala dulu!”Dia tiba-tiba melakukan gerakan melompat. Meski berbadan besar, namun gerakannya terlihat cukup ringan, pertanda dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang baik.Swuung!Golok panjang dan lebar berdengung keras ketika diayunkan pemiliknya.“Berikan nyawamu, Nona manis!”Huang melompat ke kiri untuk mengindari serangan tebasan tersebut, sementara Feng membawa Guru Ma melompat ke sisi kanan.Crass!Satu garis lebar dan panjang terbentuk di permukaan tanah. Seandainya Feng tidak awas dengan membawa Guru Ma menjauh, mungkin angin tebasan itu juga akan
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n