“Ya, itu sudah pasti.” Feng menghunus pedang bergagang birunya. “Jika kau tidak dihentikan, mungkin akan ada skandal-skandal lainnya yang muncul bersamamu di negeri ini.”
Hoaren terkekeh. “Sombong sekali!”
“Kakak Feng,” sahut Nona Huang. “Tidak ada gunanya berbicara dengan penjahat yang satu ini!”
Wuush!
Nona Huang sepertinya tak lagi hendak berlama-lama mendengarkan kata-kata dari mulut Hoaren sehingga dia melesat terlebih dahulu dengan pedang bergagang merahnya.
Feng hanya mendengus pelan sebelum dia pun bergerak menyerang Hoaren dari sisi yang berbeda.
Hoaren tahu pasti bahwa dia tidak akan selamat jika berhadapan dengan dua sejoli yang merupakan pasangan pendekar muda yang sedang naik daun di daratan Tiongkok ini.
Memutar otak di tengah situasi yang sekarang ini adalah yang terbaik dibandingkan otot, pikirnya.
Dia mengentakkan satu kakinya ke lantai. Sebuah balok kecil dari puing-puing rak yang ancur melesat ke atas dan disambar oleh Hoaren, lalu dengan cepat dia memutar tubuhnya ke arah kanan Nona Huang, dan menggunakan balok kecil itu untuk menahan bilah pedang.
Tweng!
Tusukan pedang Nona Huang dapat dipentalkan oleh Hoaren, namun dia harus menjatuhkan tubuhnya ke lantai untuk berpindah ke belakang sebab Nona Huang langsung menggunakan jurus telapak dengan tangan kirinya.
Wuush!
Blarr!
Si gadis yang tangannya terikat terpekik ketika lontaran tenaga dalam dari telapak tangan kiri Nona Huang menjebol lantai hingga batu lantai berterbangan dan terbentuk sebuah rongga seperti kubangan kecil.
Bersamaan dengan itu, selagi tubuh Hoaren meluncur ke arah kiri ruangan, Feng datang dengan deru pedangnya yang memancarkan hawa sejuk, berkebalikan dengan apa yang dikeluarkan oleh pedang di tangan Nona Huang.
Dalam posisi masih di udara, Feng menusukkan ujung pedangnya, mengincar perut Hoaren.
Dengan balok kecil yang masih di tangannya, Hoaren mencoba menghalau serangan Feng.
Crass!
Feng mengubah serangannya dengan sangat cepat. Dari gerakan menusuk menjadi menebas hingga balok kecil di tangan Hoaren putus setengahnya.
Hoaren melemparkan patahan balok yang tersisa di tangannya begitu saja dan itu memaksa Feng untuk menggunakan pedangnya lagi demi menepis patahan balok yang mengarah ke wajahnya.
Sementara itu, Hoaren sendiri langsung melakukan gerakan seperti menampar permukaan lantai dengan kedua tangannya. Gerakan tersebut membuat tubuhnya terangkat dan berjumpalitan ke belakang, melenting jauh hingga punggungnya tertahan oleh dinding ruangan di sisi kiri.
“Sepasang pendekar muda tersohor sedang mengeroyok seorang keponakan Kasim Utara, hah?” Hoaren menyeringai lebar.
“Tutup mulutmu!” Nona Huang telah bergerak kembali. “Kasim Utara sekarang sedang menghadapi tuntutan pertanggungjawaban atas ulahmu!”
Begitu kakinya menjejak lantai, Nona Huang berputar cepat satu putaran penuh, lalu membuat gerakan menusuk dengan pedang bergagang merahnya.
Bilah pedang pedang kembali terlihat menjadi banyak, bahkan dengan menguarkan hawa panas yang hebat.
Hoaren menggeram. “Kibasan Sayap Phoenix, hah?”
Sang pendosa menghentakkan satu kaki ke lantai dengan keras, dan melesat ke atas balok-balok yang menjadi kuda-kuda atap kuil.
Crass! Stab! Stab!
Dinding di sisi kiri yang sebelumnya juga terkena tebasan angin tajam pedang Nona Huang, kini untuk kedua kalinya terkena serangan. Puluhan lubang menganga tercipta di dinding yang pada akhirnya membuat dinding bagian kiri ambruk setengahnya, menciptakan celah lebar.
Swiing!
“Berengsek!” Hoaren dipaksa untuk bergerak cepat sebab serangan lainnya datang dari Feng. “Terkutuklah kalian berdua!”
Dia melesat ke sudut lain kuda-kuda atap kuil, dan kemudian turun di sisi kanan.
Serangan dari pedang bergagang biru di tangan Feng menyebabkan atap kuil tua yang sudah rusak menjadi bertambah tak keruan. Belubang-lubang dan sebagian lalu runtuh sehingga memaksa Nona Huang untuk menghindar ke kanan.
Akan tetapi, kerusakan yang diciptakan oleh serangan Feng tidaklah separah yang dilakukan oleh Nona Huang.
Pasangan muda itu baru saja memperagakan dua jurus yang sama. Kibasan Sayap Phoenix. Jika Nona Huang menggunakan jurus berintikan api, maka Feng pula menggunakan jurus berkekuatan inti es.
“Kalian kombinasi yang menjengkelkan!” Hoaren meludah ke lantai.
Apa yang harus aku lakukan, pikirnya. Lalu tatapannya tertuju pada gadis yang sebelumnya telah dia perkosa di lingkungan Istana Terlarang. Juga, terhadap jasad Guru Liu. Satu senyuman tipis menghias wajahnya.
“Ayo,” hasutnya. “Serang aku lagi jika kalian mampu!”
“Adik Huang,” bisik Feng pada sang kekasih. “Jangan tergesa-gesa. Jangan keluarkan kekuatan besar sebab kuil ini bisa hancur!”
Bagaimanapun, Feng menyadari bahwa bertarung di dalam sebuah ruangan yang tidak begitu besar akan mempersulit gerakannya dan gerakan sang kekasih yang sama-sama menggunakan pedang.
“Aku tidak peduli!” balas Nona Huang dengan berbisik pula dan tanpa memandang pada Feng. “Kuil ini bisa dibangun kembali, tapi menangkap penjahat terkutuk itu adalah yang utama!”
Belum hilang suaranya, Nona Huang telah kembali bergerak menyerang Hoaren.
Feng menghela napas lebih dalam. Dia tidak punya pilihan selain bergabung dengan sang kekasih untuk menangkap Hoaren.
“Oh, lihatlah kalian berdua!” Hoaren tertawa-tawa. “Pasangan serasi apanya? Kalian malah bertengkar satu sama lain.”
“Tutup mulut jahanammu itu!” Nona Huang mengibaskan pedang di tangannya seiring tubuhnya melesat ke arah Hoaren.
“Kau tahu,” ujar Hoaren seraya ujung matanya tertuju pada meja-meja pendek di sebelah kanannya. “Mulutku ini bahkan dapat memberikan kesenangan yang hebat kepada tubuhmu!”
Duakh!
Dengan cepat, Hoaren menendang sebuah meja. Meja melayang ke arah Nona Huang, menghadang angin tajam tebasan pedangnya.
Stab!
Crass!
Meja hancur berantakan dimakan tebasan pedang Nona Huang. Sayangnya, Hoaren telah bergerak ke sudut paling kanan, lalu melemparkan dua meja rendah berturut-turut kepadanya.
Nona Huang menggeram kencang. Namun Feng telah lebih dahulu berada di depannya dan mengayunkan pedang bergagang birunya.
Crass! Crass!
Dua meja hancur berantakan dalam dua kali tebasan pedang di tangan Feng.
Bersamaan dengan dua meja itu terpotong-potong oleh tebasan Feng, Hoaren melompat jauh laksana gerakan menerkam seekor harimau ke tengah-tengah ruangan.
Dia berdiri dengan cepat, satu langkah saja dari jasad Guru Liu dan si gadis, putri dari seorang selir senior sang kaisar.
“Kupikir, nama besar kalian hanyalah isapan jempol semata,” Hoaren kembali terkekeh dengan bertolak pinggang. “Kemampuan kalian sangat payah!”
“Keparat bermulut tajam!” Nona Huang mengibaskan pedangnya ke samping. “Teruslah berkata semaumu sebab sebentar lagi, aku akan membuatmu tak lagi mampu berbicara!”
Hoaren mengernyit ketika menyadari bahwa bilah pedang di tangan Nona Huang seperti memerah. Meski samar-samar, tapi dia dapat melihat hal tersebut dengan baik.
Dia sangat terpancing, pikirnya sembari tertawa di dalam hati.
“Kakak Feng,” teriak Nona Huang. “Serang dia, sekarang!”
Wuush! Wuush!
Sepasang pendekar muda melesat bersamaan dengan pedang masing-masing yang memancarkan aura yang saling bertolak belakang.
Hoaren menyeringai. “Kena kalian,” gumamnya setengah tak terdengar.
Dan selagi kedua pendekar itu melesat ke arahnya, Hoaren dengan cepat melompat ke belakang si gadis di samping kanannya.
“Tidak!” teriak sang gadis. “A-Apa yang akan kau lakukan?!”
“Kau menjadi tamengku, gadis manis!” bisik Hoaren dan dengan satu tangan, dia mengangkat ketiak sang gadis. “Pergilah ke Neraka!”
“Tidak…!” sang gadis menjerit panjang.
Stab!
Hoaren dengan keji menusuk punggung sang gadis, lima jarinya menembus hingga je bagian dada sang gadis.
Tidak itu saja, setelah sang gadis tewas mengenaskan, dia melemparkan tubuh sang gadis ke arah sepasang pendekar yang melesat ke arahnya.
Lalu dengan gerakan yang sama cepatnya, Hoaren mencengkeram bagian punggung pakaian Guru Liu, lantas dengan kasar dan tanpa empati sama sekali, dia juga melemparkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu, menyusul tubuh sang gadis.
Tentu saja, dalam posisi mereka masih di udara seperti itu, Feng dan Huang terpaksa menghentikan serangan mereka demi menyambut dua tubuh yang mengarah kepada mereka.
Feng berhasil menangkap tubuh sang gadis namun sayangnya, sang gadis telah tewas dengan darah yang masih menyembur dari luka di punggung dan dadanya.
Sedangkan Nona Huang berhasil menangkap jasad Guru Liu.
Akan tetapi, begitu kaki mereka menjejak lantai, Hoaren telah melemparkan sebuah bola kuning sebesar jempol kaki ke arah mereka.
Ctas!
Bola kuning pecah dan meletup, menciptakan asap putih tebal kekuningan yang menutupi pandangan.
Takut akan ada racun yang tersembunyi di dalam asap tersebut, Feng dan Huang dengan segera menutup pernapasan mereka sembari tetap memegangi jasad Guru Liu dan putri selir senior.
“Adik Huang, hati-hati―”
Desgh! Duakh!
Baru saja Feng berkata demikian, Nona Huang telah melenguh pendek dan terjengkang bersama jasad Guru Liu sebab Hoaren ternyata menyerangnya dari balik asap.
Begitu juga dengan Feng sendiri yang merasakan satu tendangan keras mendarat di bahunya sehingga ia terpental bersama jasad sang gadis, lalu bergedebukan ke lantai.
“Keparat!” Nona Huang mencoba bangkit namun terhenti, tersedak, dan muntah darah. Tendangan keras Hoaren sebelumnya itu mengenai dada dan punggungnya.
Di tengah kepulan asap putih tebal kekuningan itu, Feng dan Huang tidak berani bergerak sembarangan lagi. Selagi menunggu asap menghilang, keduanya bersiap siaga dengan pedang di tangan dan untuk sementara, mengabaikan jasad di dekat mereka masing-masing.
“Keparat kau, Hoaren!” Nona Huang berteriak kencang.
Hoaren tidak lagi berada di dalam kuil setelah asap menghilang.
“Aku pasti akan menemukanmu dan membunuhmu, bajingan!”
“Adik!” Feng mencoba menenangi kekasihnya. “Lupakan tentang dia terlebih dahulu.”
Feng menyarungkan pedangnya, lantas mendekati dan mengangkat jasad putri selir senior.
“Kita harus membawa jasad adik ini dan Guru Liu ke Istana Terlarang sekarang.”
Meski kesal setengah mati, namun Nona Huang tidak punya pilihan. Lagi pula, dia tidak tahu ke mana larinya si penjahat terkutuk yang telah memperkosa bahkan membunuh gadis dalam bopongan Feng. Juga, membunuh Guru Liu.
“Kita pasti akan menemukannya,” ujar Feng pada Huang. “Pasti!”
***
[Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif semata. Tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sesungguhnya.]Tahun 643 Masehi, di tahun ketujuh belas kepemerintahan Kaisar Taizong sebagai kaisar generasi kedua setelah menggantikan posisi Kaisar Gaozu yang wafat dalam silsilah Dinasti Tang, Negeri Tiongkok yang besar itu mengutus seorang pendeta Budha bermarga Ma untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Laut Melayu.Pada masa itu, Kekaisaran Tiongkok telah maju pesat. Terutama dalam bidang seni, sastra, kebudayaan, dan militer.Guru Ma, 50 tahun, begitu dia biasa disapa, diutus untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai Sutra yang tersebar di seluruh kawasan Aisa. Terutama, Asia Timur, Selatan, dan Tenggara.Di saat yang bersamaan, Istana Terlarang digemparkan dengan kematian seorang gadis yang merupakan anak dari salah seorang selir Kaisar Taizong. Pelakunya adalah bernama Hoaren, kerabat dekat seorang kasim istana yang berjuluk Kasim Utara. Hoaren memperkosa dan kemudian m
“Apakah kami butuh izin dari kalian?” Nona Huang menghunus pedangnya.Swiing!Dan lantas menyerang selusinan orang yang telah membunuh dua murid Guru Ma.Sementara itu, Feng menyarungkan kembali pedangnya, dan bergegas menghampiri Guru Ma.“Shan cai, shan cai …” Guru Ma masih tertunduk menatap jasad A Mien dan A Chen.Feng memeriksa kondisi kedua biksu muda yang berlumuran darah. Dia mendesah panjang. Yaah, mereka telah mati, pikirnya.“Guru Ma, maafkan aku, tapi kedua muridmu …”“Amithaba,” Guru Ma sedikit membungkukkan badannya. “A Mien dan A Chen telah memilih takdir mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk itu selain membacakan Sutra untuk arwah mereka.”Swiing!Crasss!Gerakan pedang bergagang merah di tangan Nona Huang begitu terfokus dan terarah, laksana tarian seekor Phoenix Api yang begitu indah. Sekali gerakan saja, dua penjahat terkapar dengan tubuh dipenuhi sayatan luka, menggeliat sesaat, lalu mati.“Pe-Pedang Surga!” Si pemimpin kawanan penjahat menelan ludah dengan w
“Guru Ma,” Tuan Muda Feng menunjuk ke arah timur. “Lihat! Di sana ada sebuah dermaga kecil dan dua kapal.” Guru Ma bersama Feng dan Huang berdiri di atas sebuah bukit pasir, di antara rumput dan ilalang yang tumbuh tidak begitu rapat. “Ayo, Guru Ma,” Huang mempersilakan sang biksu senior untuk melangkah terlebih dahulu. “Silakan.” “Shan cai, shan cai … Aku merasa senang ditemani oleh Nona Huang dan Tuan Muda Feng yang terkenal. Akan tetapi, aku takut merepotkan kalian berdua. Jadi, kurasa sebaiknya di dermaga itu nanti adalah perpisahan kita.” Huang melirik sang kekasih, begitu juga sebaliknya. “Guru Ma, Anda tidak perlu sungkan,” balas Feng dengan lembut. “Lagi pula, bukan satu kebetulan jika aku dan Nona Huang juga berada di kawasan Yangjiang ini.” “Shan cai, shan cai …” Guru Ma mengangguk-angguk. Pasangan muda dan menarik hati itu sudah membantu Guru Ma dalam mengkremasi jenazah dua biksu muda sebelumnya. Juga, dengan mayat-mayat penjahat yang terbunuh dalam pertarungan merek
“Hei!” Seorang pemuda berdiri dan menatap pada semua orang, pun begitu sebaliknya. “Sepertinya aku mendengar tentang hal ini kemarin dari seorang yang datang dari Daratan Tengah.”“Nah, itu dia!” Hoaren tersenyum lebar, umpannya telah dimakan oleh seseorang. Ini akan lebih mudah lagi, pikirnya.Jika seseorang di antara mereka yang berbicara, maka besar kemungkinan orang-orang itu akan percaya. Hal inilah yang hendak dimanfaatkan oleh Hoaren.“Lalu, apa hubungannya dengan kami?” tanya si pria dengan golok besar di bahunya, lagi. “Apa yang ingin kau sampaikan, hah?”“Hadiah!” Hoaren berkata dengan sangat percaya diri.“Hadiah?” Orang-orang kembali saling pandang.“Ya, hadiah yang besar!” balas Hoaren. “Sangat besar!”“Itu benar!” timpal si pemuda yang tadi. “Aku tidak tahu pastinya, tapi, menurut orang-orang Tengah itu, wang emas yang sangat banyak.”Dan tampaknya hal ini telah mengusik pikiran semua orang. Terlebih lagi, rata-rata mereka adalah masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja,
Kelompok pria bergolok lebar melirik tajam pada Haoren.“Apa jawabanmu hei, A Niu?!” Pria bergolok lebar sepertinya pemimpin bagi rekan-rekannya.Hoaren tersenyum lagi meski dalam hati dia mengutuk habis-habisan si perempuan tua yang dengan satu dan lain alasan seolah selalu menentang ucapannya.Kubunuh kau nanti, perempuan tua keparat!“Apakah kau tahu siapa pendeta itu, Nenek?” Hoaren membalikkan pertanyaan untuk menutupi kekesalannya.“Tentu saja aku tidak tahu. Kau yang seharusnya memberi tahu pada kami!” kata si nenek dengan wajah tak senang. “Cih, kau tidak punya sopan santun sama sekali terhadap wanita tua sepertiku!”“Dia adalah seorang Pendeta Budha sesat!” Hoaren menebar lagi fitnahan lainnya di atas fitnah pertama. “Kalian pernah mendengar bahwa di wilayah Barat ada segerombolan Pendeta Budha yang menyiksa pengikut Tao, bukan?”Mendengar itu, orang-orang di sana yang rata-rata berkepercayaan Taoisme menjadi geram dengan sorot mata dipenuhi hawa membunuh yang kuat.Ya, Hoare
Sementara itu, Feng mengernyitkan dahi ketika melihat salah satu dari dua kapal di dermaga telah berlayar terlebih dahulu.“Oh, tidak!” ucapnya. “Salah satu kapal telah berangkat!”“Shan cai, shan cai …” Guru Ma tetap bersabar sebagaimana dengan sifatnya sendiri.“Tidak perlu khawatir, Kakak Feng,” ujar Huang sembari membimbing Guru Ma dari sisi kiri. “Sungai Moyang termasuk salah satu jalur yang sibuk. Pasti akan ada kapal-kapal lainnya yang datang dari arah utara.”“Yah …” Feng mendesah halus. “Semoga saja.”“Amitabha,” Guru Ma tersenyum tipis. Dia dapat menangkap kegelisahan di diri Feng meskipun pemuda itu sudah berupaya menyembunyikannya. “Tuan Muda Feng.”“Guru Ma?” Feng sedikit membungkuk dan terus membimbing guru besar tersebut dari sisi kanan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” lanjut Guru Ma pada Feng. “Tidak perlu tergesa-gesa. Jika memang sudah ditakdirkan, kau dan Nona Huang pasti akan bisa menemukan Hoaren. Mungkin dia berada di kapal itu, mungkin pula tidak. Manusia
“Adik Huang, apakah kau membutuhkan bantuanku?”Huang tersenyum tanpa berpaling menanggapi tawaran dari Feng. “Tidak,” ucapnya seraya memutar dan mengarahkan pedangnya ke depan. “Kurasa cukup aku saja. Kau lindungi saja Guru Ma, Kakak!”Pria besar dengan golok lebar terkekeh dengan tatapan membunuh yang kental terhadap Huang.“Kau sungguh takabur, Nona,” ucapnya. “Kuakui, kau menggunakan pedangmu dengan baik. Tapi, jangan besar kepala dulu!”Dia tiba-tiba melakukan gerakan melompat. Meski berbadan besar, namun gerakannya terlihat cukup ringan, pertanda dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang baik.Swuung!Golok panjang dan lebar berdengung keras ketika diayunkan pemiliknya.“Berikan nyawamu, Nona manis!”Huang melompat ke kiri untuk mengindari serangan tebasan tersebut, sementara Feng membawa Guru Ma melompat ke sisi kanan.Crass!Satu garis lebar dan panjang terbentuk di permukaan tanah. Seandainya Feng tidak awas dengan membawa Guru Ma menjauh, mungkin angin tebasan itu juga akan
Swiing!Tring! Tring!Feng mampu menepis tiga jarum beracun yang dilepas si pria kurus ke arah Huang, bahkan masih sempat untuk membalikkan serangan.Wuush!Crass!Sebuah gerobak kayu terpelanting dan terbelah dua, tepat di belakang posisi si pria kurus menghentikan langkah sesaat sebelumnya.Beberapa penduduk yang berada di sekitar gerobak langsung tunggang-langgang dengan menjerit keras. Mereka bergidik membayangkan serangan Feng barusan mengenai tubuh mereka.“Amitabha …” Guru Ma sedikit lega atas kelihaian Feng menggunakan jurusnya hingga tidak salah sasaran.Pria kurus menggeram menatap pada gerobak yang kembali terhempas ke tanah.“Kau menggunakan jarum beracun,” ucap Feng dengan nada datar pada si pria kurus, “apakah itu sikap seorang pendekar? Menggunakan racun?”“Tutup mulutmu!” balas si pria kurus dengan membentak. “Untuk seorang laki-laki hina sepertimu, apa pun pantas dilakukan!”“Hina?” Feng mengernyit dengan kepala sedikit miring.“Bukankah kau laki-laki yang menyukai se
“Yah, di sini memang pas untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Dangmudo Basa.Puncak perbukitan rendah terlihat memang bergelombang, akan tetapi, secara garis besar justru terlihat rata.“Lihat!” dia menunjuk ke arah tenggara. “Ujung perbukitan ini sepertinya melandai.”Puti Champo tidak begitu menggubris sang Putra Mahkota, dia terlihat asyik memandangi bebungaan liar di sekitar.“Baiklah,” Kirawah mengangguk. “Saya dan Kanteh akan mencari kayu bakar untuk membuat perapian.”“Mungkin pula ada kelinci-kelinci liar yang hidup di atas sini,” sambung Kanteh pula. “Setidaknya, sesuatu untuk kita makan malam ini.”Dangmudo Basa mengangguk dan kedua pengawalnya itu berpencar.Meski pepohonan besar tidak banyak yang terlihat di sana, tapi pastinya akan ada ranting-ranting mati yang bisa digunakan.“Aku tidak pernah tahu tempat ini sebelumnya,” sang Putra Mahkota melirik pada Saliah.Si pemuda lugu menghela napas lebih dalam. “Sa-Saya juga tidak,” balasnya. “Ta-Tapi … mungkin disebabkan
“Me-Mereka pasti tidak mau jauh-jauh dari Pu-Putra Mahkota.”“Aah!” sang gadis mengangguk-angguk menanggapi ucapan Saliah.“Kau keberatan?” Dangmudo Basa tersenyum lebar sembari meluruskan punggung. “Nona Champo?”“Dasar manja!” kikik sang gadis. “Kemana-mana harus dikawal.”“Ayolah, Nona,” balas sang Putra Mahkota dengan wajah sedikit merah. “Beri sedikit muka untukku di sini. Lagi pula, sudah menjadi tugas mereka untuk selalu mendampingiku. Aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa.”Puti Champo terkikik tanpa suara seraya mengendikkan bahu.“Paduko,” ucap Kirawah begitu dia dan Kanteh telah berada di dekat Dangmudo Basa. “Lain kali, jangan pergi begitu saja.”“Ya!” Kanteh mengangguk-angguk. “Setidaknya, tolong pikirkan juga nasib kami jika hal semacam ini diketahui oleh Datuak Rajo Tuo.”Dangmudo Basa menyeringai pada Puti Bungo, “Kau dengar itu?”“He-emm, terserah!” jawab sang gadis acuh tak acuh.Dia melangkah ke sisi barat telaga.“Hei, hei!” Dangmudo Basa langsung menyusul. “J
“Tidak ada lagi yang tersisa di sini!” Kanteh mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Kita turun sekarang!”Salah satu pengawal Putra Mahkota Minanga membawa sekitar seratus orang prajurit bersamanya menuruni lereng perbukitan, dari sudut utara.Sementara Kamba yang berada di sudut timur perbukitan besar itu juga melakukan hal yang sama, bersama seratus prajurit bersamanya.Juga, Kirawah di sisi barat dengan seratus prajurit yang mengikuti perintahnya.Mereka baru saja selesai menyisir semua sisi dari kawasan Bukit Tiga Puluh. Tidak ada lagi penjahat-penjahat di bawah pimpinan Amugar alias si Mata Malaikat yang bersarang ataupun bersembunyi di kawasan itu.Bahkan goa besar dan alami yang menjadi markas Amugar beserta kroni-kroninya juga ditemukan dan telah disisir dengan baik.Para prajurit membawa semua barang-barang milik Penjahat Bukit Tiga Puluh. Mulai dari perhiasan perak, emas, kain-kain sutra, dan benda-benda berharga lainnya.Barang-barang tersebut sejatinya adalah hasil rampasan
Dengan menahan geram dan kekesalan luar biasa terhadap Hoaren, Daiyun mengangkat jasad sang kusir.“Apa yang harus aku lakukan, Guru?”“Amitabha,” sahut Guru Ma. “Orang-orang di Swarnadwipa lebih suka menguburkan jasad daripada mengkremasinya.”Sang Biksu Muda langsung mengerti apa yang harus dia lakukan.Akan tetapi, langkahnya tertahan sebab Hoaren melesat ke arahnya dengan melancarkan serangan dahsyat.“Kau tidak perlu menguburkan bangkai pria itu, Biksu busuk!”Wuush!Daiyun membelalak sebab mengenali jurus telapak yang dilepas oleh Hoaren.“Kau―”Teph!Hoaren sempat terkejut ketika mendapati jurus telapaknya ditahan seseorang, dan seseorang itu adalah Guru Ma sendiri.Dia menyeringai.“Sudah kuduga!”“Kau berlebihan, Tuan Muda Zhou,” ucap Guru Ma yang beradu telapak tangan kanan dengan telapak tangan kanan Hoaren. “Sangat berlebihan, shan cai, shan cai.”Swoosh!Dhumm!Akibat paksaan pada tekanan tenaga dalam oleh Hoaren, kekuatan itu pecah dan mementalkannya beberapa langkah ke
“Saya tidak yakin apakah di orang yang kalian kejar,” ujar Galang. “Akan tetapi, kendatipun dia menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mengubah gaya bicaranya, saya masih bisa menduga bahwa dia bukanlah pribumi Sriwijaya.”Feng dan Huang saling pandang.“Tidak mungkin tidak,” Huang terlihat begitu geram. “Kak Jian, aku yakin, dia pasti si Hoaren!”Sang suami menghela napas dalam-dalam.“Aku juga berpikiran yang sama,” tanggapnya. “Komandan Galang … tidak ada orang yang mengenal kami di Swarnadwipa ini, kecuali mereka yang telah menjadi sahabat baru bagi kami. Terlebih lagi, seseorang dari Tiongkok. Selain Guru Ma dan Biksu Muda bernama Daiyun itu, tidak ada.”“Zhou Hoaren itu orang yang sangat licik,” sambung Huang pula pada sang komandan. “Dia sangat berbahaya!”Galang mengangguk-angguk dengan tangan merangkap di dada.Dia berada di dalam sel tahanan Feng dan Huang tanpa penjagaan dari prajurit lainnya.Lagi pula, dia sangat yakin bahwa orang-orang seperti suami-istri muda di hadapan
Datu Agung Sarta mendengus pelan, itu lebih terdengar seperti sedang menahan tawa.Komandan Galang menghela napas lebih dalam, lalu berkata, “Maaf, Datu, saya tidak bermaksud―”“Kalaupun benar,” sahut sang datu, “di mana salahnya? Sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk melindungi suami-istri muda itu, bukan? Aku juga akan melakukan hal yang sama, Galang. Mencari dan mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, menghubungi seseorang berpengaruh yang dapat membantuku. Yaah, tidak ada yang salah. Jadi, biarkan saja mereka.”Sang komandan mengangguk-angguk. Setidaknya, pemikirannya menjadi semakin tercerahka oleh ucapan sang Datu Panglima.“Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah,” lanjut sang datu, “pada siapa mereka hendak meminta bantuan? Kita semua tahu, Guru Ma dan Biksu Muda itu belum setahun jagung di Andalas ini. Begitu juga dengan Feng dan Huang.”“Mungkinkah Dangmudo Basa?” tebak Galang. “Putra Mahkota Minanga?”Sang datu mendesah halus. “Sulit untuk dipastikan,” ujarnya. “Lagi pula,
“Tidak ada hal yang bisa kita lakukan lagi jika Datu Telinga Utara berhasil membawa seseorang yang mengetahui segalanya ke sini.”Daiyun terlihat sedikit panik demi mendengar ucapan dari Feng barusan.Sementara, Guru Ma mengangguk-angguk kecil.“Guru Ma?” Huang berharap pria tua bersahaja yang satu itu punya jalan keluar yang baik bagi keduanya.Atas izin dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Guru Ma dan Daiyun diperbolehkan menjenguk Feng dan Huang di dalam penjara.“Amitabha …” ujar Guru Ma. “Jika Tuan Muda sudah berkata demikian, saya khawatir apa yang saya takutkan benar-benar terjadi.”Feng dan Huang saling pandang, sedangkan Daiyu sedikit bingung sebab tidak begitu memahami apa yang sedang dibahas oleh Guru Ma dengan dua sejoli bersama mereka.“Adik,” ujar Feng pada Huang, “kurasa, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi.”“Aku tahu,” Huang mengangguk. “Lagi pula, kita membutuhkan Guru Ma untuk saat sekarang ini.”“Shan cai, shan cai …” seakan memahami apa yang perah dialami oleh Fe
Datu Telinga Utara berlalu dengan pandangan dingin dan seringai lebar di wajah terhadap Feng dan Huang.Seolah-olah, tatapan itu menegaskan bahwa pasangan muda itu tidak akan bisa kemana-mana.“Tunggu saja hari kalian!”Hanya kalimat itu yang didengar oleh Feng maupun Huang seiring sosok sang datu berlalu dari ruang besar. Kalimat tidak menyenangkan yang dipenuhi ancaman besar.“Maafkan aku, Tuan Muda Feng, Nona Huang.”Perhatian suami-istri muda beralih pada sosok yang baru saja berujar, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.“Tapi kami telah menebus kesalahan tak berniat di Batu Limau ketika itu!”Sang raja mengernyit menanggapi ucapan Huang yang sedikit dibalut emosi.“Adik!” Feng lekas merangkul bahu sang istri.“Kami memperlihatkan itikad baik selama ini, Tuan Raja,” lanjut Huang dengan mata memerah. “Tanyakan saja pada komandan bernama Galang di sana!”Galang mereguk ludah. Tatapannya berpindah dari Huang ke sang raja, lalu kepada Datu Panglima.“Adik tenanglah!” pinta Feng dengan lembut.
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n