Kotaraja bagian selatan.Seorang Datuk Hulubalang dengan pakaian serbabiru memimpin dua ratus Prajurit Istana bersamanya, meninggalkan Gerbang Selatan, dan terus saja menyusuri jalan utama di bagian itu.“Aneh,” ucap sang datuk sembari terus bergerak. “Informasi yang didapat, mereka juga menyerang lewat Gerbang Selatan Kotaraja. Di mana mereka?”“Datuk!” ucap seorang prajurit di sampingnya seraya menunjuk sesuatu di ujung sana, di tepi kanal. “Lihat!”Sang Hulubalang Kerajaan mengernyit. “Puti Champo!”Dia membawa pasukannya bergerak lebih cepat untuk membantu si Gadis Champa yang menghadapi seratus orang dengan bersendirian saja.Tapi sepertinya, percuma saja mencemaskan si gadis manis, pikirnya.Kenyataannya, sang gadis mampu membuat seratus orang tak berani bergerak. Bahkan dua pemimpin para penyerang itu tak mampu menyentuh sang gadis sama sekali.Puti Champo menjentikkan jarinya dua kali ke arah si Ruyuang Salatan yang menyerangnya dengan jurus putaran seperti angin puyuh dengan
Dhumm!Hekh!Dua tenaga dalam yang saling tekan akhirnya pecah, mengentak kuat ke dada keduanya, terutama bagi si Kiuang Ameh yang konsentrasinya terpecah akibat rasa perih di sekujur badan.Tak pelak, selagi tubuhnya melayang tak keruan ke belakang oleh daya ledakan barusan, darah segar menyembur dari mulut dan lubang hidungnya.Sedangkan Puti Champo, dengan menahan denyut nadi di dalam tubuhnya yang bergejolak dan menyesakkan, dia melesat dengan berputar kencang laksana gasing ke arah si Kiuang Ameh yang terpental.Wuush! Wuush!Dan lantas melepaskan satu tendangan keras.Duakh! Krak!Hekh!Tendangan keras telak mengenai ulu hati si Kiuang Ameh dan kembali memaksanya melenguh pendek dengan darah yang semakin menyembur hebat dari mulutnya.Dia melesat lebih cepat dan terhempas kencang ke permukaan tanah.Si Kiuang Ameh melenguh pendek dengan wajah merah menggelembung demi merasakan rasa sakit yang luar biasa di tubuhnya.Di bagian dalam, dia terluka sangat parah, bahkan tulang dada,
“Sepertinya yang satu itu tidak sepenuh hati mau menyerang kerajaan.”Datuk Hulubalang melirik pada Puti Champo dan mendesah panjang.“Itukah yang engkau pikirkan?” tatapannya kembali tertuju pada si Ruyuang Salatan yang terkapar di tanah.Sementara itu, para Prajurit Kerajaan mengumpulkan para penyerang yang masih hidup pada satu titik.Masing-masing penyerang dengan kondisi tangan terikat ke belakang, begitu juga dengan kaki mereka yang diikat tali sedemikian rupa sehingga tidak begitu menghalangi pergerakan mereka, tidak pula mereka bisa melarikan diri.Dua orang parjurit menghampiri si Kiuang Ameh yang juga dalam kondisi tergeletak di tanah.Meski dalam kondisi terluka dalam yang cukup parah, serta tangan dan wajah yang dipenuhi luka-luka sayat halus, dia masih sadar sepenuhnya.Dua prajurit mengangkat si Kiuang Ameh, mengikat kedua tangannya ke belakang punggung, lalu memapah dan membawanya pada sekumpulan penjahat lainnya.Dua prajurit lainnya juga menghampiri sang Datuk Hulubal
Saliah mengurungkan keinginannya dan tetap mendekam di atas atap istana, berdekatan dengan gonjong terakhir di bagian kanan.“Inyiak Marapi,” gumamnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Dan wanita muda itu … Dia pasti orang yang sama, tangan kanannya si Mata Malaikat.”Dan ketika terjadi dentuman kedua yang kali ini berasal dari Gerbang Barat Istana, Saliah menjadi yakin dengan pemikirannya.Sosok Amugar alias si Mata Malaikat berdiri angkuh di atas Gerbang Barat yang daun pintu kembarnya telah lepas.“Oh, jadi benar,” gumamnya lagi. “Kau lah penyebab semua keributan ini!”Begitu juga dengan Datuk Merah, Datuk Ungu yang menghentikan langkah mereka seiring kemunculan Inyiak Marapi, Siwan, dan puluhan anak buah mereka dari gerbang yang pintunya terkuak lebar.“Orang-orang yang lancang!” Datuk Merah menggeram.“Sepertinya,” kata Datuk Ungu. “Mak Itam dan Datuk Hijau tidak mampu menghentikan mereka.”“Tidak,” balas Datuk Merah. “Kurasa, mungkin mereka kewalahan dengan banyaknya penyera
Datuak Rajo Tuo bermuram durja. Hanya bisa memandang sedih pada orang-orang yang saling bunuh di bawah sana.“Paduko,” Kanteh menghampiri jendela yang sama. Jendela yang menghadap ke halaman depan dari lantai teratas istana. “Sebaiknya, Paduko menjauhi jendela yang terbuka. Kami khawatir kalau-kalau ada serangan panah yang terarah ke sini.”Kamba dan Kirawah saling pandang. Mereka berpikir keras tentang wajah muram sang raja.“Mungkin,” ucap Datuak Rajo Tuo dengan embusan napas yang begitu panjang dan terdengar sangat berat. “Jika aku turun ke bawah sana, mereka akan berhenti untuk saling menyakiti.”“Paduko!” Kanteh mereguk ludah. Dia berpaling pada dua rekannya.“Maafkan kami, Paduko,” Kirawah mengapit sang raja dari sisi kanan sedang Kanteh di sisi kiri. “Kami tidak akan mengambil risiko semacam itu. Kami tidak ingin kehilangan Anda, Paduko.”“Kalian lihat di bawah sana!”Tatapan sang raja, Kanteh, Kirawah, dan Kamba yang berdiri di belakang sang raja sama tertuju pada orang-orang
Kembali ke wilayah Kotaraja sebelah utara.Dalam kemarahannya yang begitu besar, Datuk Hitam alias Mak Itam menggunakan silat Pungguk Sakti-nya dengan membabi buta.Krakk!Hekh!Dua penjahat sekaligus tewas dalam genggamannya dengan leher mereka sama remuk. Keduanya dijatuhkan begitu saja ke tanah.Dia memandang pada rekannya, Datuk Hijau, juga pada segelintir prajurit yang masih hidup.Sepertinya di sini sudah usai, pikirnya. Tapi tentu saja, raga-raga bergelimpangan dan tak lagi bernyawa adalah masalah berikutnya.Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dan mendesak untuk saat sekarang.“Tidak ada waktu!” ucap sang Datuk Hulubalang dengan menggelegar. “Segera kembali ke istana, cepat!”Tidak menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, sekitar tiga puluh prajurit yang masih hidup segera menuju ke Gerbang Utara Istana.“Datuk,” ucap Datuk Hijau pada rekannya tersebut. “Kau baik-baik saja?”“Yaah!” jawabnya dengan tegas. “Mari, kita juga harus segera menyusul. Aku mengkhawatirkan Paduk
Bunga-bunga api membias ke segala arah. Begitu juga dengan kepingan-kepingan halus embun yang membeku akibat dentuman keras dari pecahnya dua tenaga dalam yang dahsyat.Untuk kesekian kalinya, halaman istana berguncang hebat laksana dilanda gempa dalam skala kecil.Datuk Merah dan Datuk Ungu sama terkesiap, bahkan berusaha melindungi wajah mereka dari terpaan angin yang membias begitu besar.Sedangkan Saliah hanya berdiri terpaku di kakinya yang melesak semakin dalam di tanah. Sementara Inyiak Marapi tergeser pijakannya setengah langkah dengan dada yang berdebum kencang, dan wajah sedikit pucat.“Kau―” ucapnya dengan memegangi dadanya.Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada Saliah sendiri. Dia merasakan dadanya begitu sesak dan aliran tenaga dalam di tubuhnya menjadi kacau untuk sesaat.Hanya saja, pemuda yang satu ini mampu menutupi itu dengan ketenangannya sehingga lawan tidak melihat kelemahan yang terjadi padanya.“Siapa kau sesungguhnya, hah?” seru Inyiak Marapi.Dan untuk ke
“Maafkan saya, Datuk.” Saliah lantas membantu Datuk Merah untuk berdiri. “Saya tidak punya maksud apa-apa dengan mengenakan pakaian prajurit seperti ini.”Dia pun membantu Datuk Ungu untuk berdiri.“Tapi, sa-saya Saliah.”“Saliah?” Datuk Ungu mengernyit, begitu juga dengan rekannya.Sang pemuda mengangguk, lantas memerhatikan Inyiak Marapi yang tergeletak di teras istana. Dia menghela napas dalam-dalam, tapi ada sedikit senyuman di sudut bibirnya.“Saya tidak punya wa-waktu untuk men-menjelaskan tentang hal ini.”Lagi pula, di sana masih terjadi pertempuran. Setidaknya, yang bisa terlihat dari sudut itu adalah pertempuran para prajurit dan para penjahat.Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, pikirnya.“Sa-Saya berasal dari Bukit Bulan.”“Bukit Bulan?” Datuk Ungu mengernyit dan memandang Datuk Merah.“Kalau tidak salah,” kata Datuk Merah. “Bukit Bulan ada di kawasan Pariaman.”“Benar,” Saliah mengangguk. “Dan, dan Putra Mah-Mahkota mengenal saya. Ju-Juga si Gadis Champa itu.”“Ahh …” Dat