Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.
Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.
Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.
Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.
Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisnis fashion ternama yang baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan Reyhan sebagai perancang desain utama.
Ternyata, pesta itu adalah perayaan atas kesepakatan bisnis mereka dan juga menjadi pertemuan pertama Reyhan dan Raisa setelah sekian lama berpisah. Berita mengenai kerja sama ini pertama kali muncul dalam laporan seorang wartawan yang meliput acara tersebut, memperlihatkan kedekatan profesional sekaligus pribadi antara keduanya.
Di pesta itu, keduanya terlihat begitu mesra, seolah tidak ada jarak yang pernah memisahkan mereka. Bahkan, saat diwawancarai oleh wartawan, Reyhan dengan terang-terangan mengakui bahwa Raisa adalah sosok istri idaman. "Dia selalu memiliki visi yang luar biasa, itulah yang membuatnya istimewa," ujarnya, membuat Raisa tersenyum penuh arti.
Naira yang mendengar pernyataan suaminya hanya bisa bergumam lirih dengan nada getir, "Pantas saja dia tidak membawaku..."
Lebih menyakitkan lagi, di media sosial Lila, Bu Maya terlihat sangat akrab dengan Raisa. Dalam video itu, ia tertawa penuh kebanggaan. "Reyhan memang pantas dengan wanita sepertimu, Raisa." Matanya penuh kepuasan, jelas meremehkan Naira.
Tangan Naira mengepal. Amarahnya, yang selama ini dikubur, mulai merayap naik. Bukan hanya karena Reyhan menggandeng Raisa, tetapi juga karena ia diperlakukan seperti sampah di hadapan semua orang.
Malam semakin larut ketika suara mobil Reyhan terdengar di halaman. Naira sudah duduk di ruang tamu, menunggu. Begitu Reyhan masuk, aroma parfum mahal masih melekat di tubuhnya. Ia melepas jas dengan santai tanpa melirik Naira sedikit pun.
"Seru sekali pestanya, ya?" Suara Naira dingin, menusuk kesunyian malam.
Reyhan menoleh malas. "Apa maksudmu?"
"Kamu tidak mengajakku ke pesta, itu tidak masalah. Aku sudah terbiasa ditinggalkan. Tapi menggandeng Raisa di depan semua orang dan mengakuinya sebagai istri idamanmu? Apa kamu pikir aku tidak akan tahu?"
Reyhan mendengus, menuangkan segelas air. "Oh, jadi kamu marah karena itu? Aku memang merindukannya. Apa salahnya jika aku sedikit mesra dengan seseorang yang pernah berarti dalam hidupku?"
Naira terdiam, tubuhnya menegang. Tapi sebelum ia bisa membalas, tawa sinis terdengar dari belakang. Bu Maya dan Lila baru saja masuk.
"Astaga, Naira. Kamu marah?" Bu Maya menutup mulutnya, berpura-pura terkejut. "Lucu sekali. Kamu pikir siapa dirimu sampai bisa cemburu pada Raisa?"
Lila tertawa. "Jangan konyol, Naira. Raisa itu berkelas, sukses, dan pantas berdampingan dengan Reyhan. Sementara kamu? Kamu cuma parasit!"
"Ah, benar juga!" Bu Maya menyeringai. "Melihat Raisa tadi, aku sadar betapa Reyhan menurun sejak menikah denganmu. Apa kamu tidak malu? Kamu cuma beban."
Naira mengepalkan tangannya, tetapi Reyhan hanya meneguk airnya dengan santai.
"Sudahlah," kata Reyhan malas. "Naira, berhenti bersikap dramatis. Kamu tahu sendiri, kalau Raisa tidak pergi ke luar negeri dulu, aku tidak akan menikah denganmu. Jadi, terima saja kenyataan."
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pisau. Naira membeku, sementara ketiganya tertawa tanpa sedikit pun rasa iba.
Dua minggu kemudian, Reyhan pulang kerja dengan wajah merah padam. Ia membanting pintu hingga menggema di seluruh rumah.
"NAIRA!" suaranya menggelegar. Bu Maya dan Lila menoleh dengan antusias.
Naira yang tengah duduk di ruang tamu langsung menegang.
"Apa yang sudah kamu lakukan?!" Reyhan menunjukkan sebuah video viral. Di layar, Naira berdiri di depan butik Raisa, matanya penuh amarah. Suaranya bergetar, tetapi tegas. "Aku mohon, jangan ganggu rumah tanggaku. Aku sudah cukup menderita."
Warganet bersimpati padanya dan mengecam Reyhan dan keluarganya.
Reyhan membanting ponselnya ke lantai. "Kamu mempermalukan aku di depan semua orang?! Kamu benar-benar tidak tahu diri! Aku sudah cukup sabar denganmu, tapi ini… ini sudah keterlaluan!"
Naira menatapnya tanpa berkedip. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
Reyhan mengangkat tangannya, nyaris menamparnya. Tapi ia menahan diri di detik terakhir. "Kamu pikir orang-orang peduli padamu? Mereka hanya mencari drama. Dan sekarang, karena kebodohanmu, aku harus menghadapi dampaknya! Aku muak! Aku menceraikanmu! TALAK TIGA!"
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong. Naira membeku, sementara Bu Maya dan Lila bersorak puas.
"Akhirnya!" Lila berseru. "Kamu sudah cukup lama menjadi sampah di rumah ini!"
Bu Maya mendekat, menatapnya dengan jijik. "Keluar dari rumah ini. Sekarang juga!"
Naira masih terpaku, tetapi sebelum ia sempat bereaksi, Lila sudah menarik lengannya kasar dan mencengkeram rambutnya. Dengan satu gerakan kejam, ia membanting kepala Naira ke dinding. Benturan keras membuat dahi Naira sobek, darah segar mengalir membasahi wajahnya.
"Dasar pengemis menyedihkan!" Lila mencibir, lalu mendorong Naira hingga terjatuh ke lantai.
Bu Maya mendekat dan menendang tubuh Naira tanpa belas kasihan. "Jangan pernah kembali! Kamu bukan siapa-siapa lagi di sini!"
Naira terbatuk, tubuhnya gemetar karena sakit, sementara koper kecilnya dilempar keluar rumah oleh Reyhan. "Keluar sekarang juga, atau aku sendiri yang akan menyeretmu!" suaranya penuh kebencian.
Hujan turun dengan deras saat Naira merangkak bangkit. Kakinya terasa lemah, tetapi ia tidak punya pilihan selain pergi. Hujan mengguyur tubuhnya, pakaiannya basah kuyup, dan luka di lututnya semakin perih.
Naira terus berjalan tanpa arah, meskipun dunia terasa begitu gelap dan kejam.
Tiba-tiba, seseorang berdiri di hadapannya, memayunginya dengan sebuah payung kuning.
"Naira? Apa itu benar kamu?"
Suara itu… suara yang dulu begitu akrab. Namun, sosok di depannya berbeda dari yang ia ingat. Dulu, ia adalah anak SMA bertubuh gempal yang sering bercanda dengannya. Kini, pria itu tinggi, berwajah tegas, dan sorot matanya tajam.
Naira nyaris tidak mengenalinya. "Kamu… Arga?"
Arga mengangguk, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu sendirian kehujanan seperti ini?"
Melihat wajah penuh perhatian itu, pertahanan Naira runtuh. Untuk pertama kalinya sejak semua penderitaan ini, ada seseorang yang benar-benar peduli. Tanpa bisa menahan diri lagi, air matanya bercampur dengan hujan.
Arga tidak berkata apa-apa. Ia hanya merentangkan tangannya, menawarkan perlindungan yang sudah lama tidak Naira rasakan. Dengan ragu, Naira menerima pelukannya, membiarkan dirinya menangis dalam dekapan seseorang yang memberinya secercah harapan di malam yang gelap.
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Meski tim Reyhan kesulitan menyesuaikan konsep baru dari Naira, mereka tetap bekerja tanpa lelah. Lembur menjadi rutinitas, kopi sahabat setia, dan setiap perubahan diterapkan dengan teliti meski frustrasi terus menghantui.Raisa yang nyaris menyerah akhirnya menemukan cara menyesuaikan desain tanpa kehilangan identitas merek. Dengan dukungan Reyhan dan tim, mereka menciptakan koleksi elegan yang tetap terjangkau, meski dengan banyak pengorbanan.Hari kampanye fashion tiba. Gedung mewah dengan dekorasi modern dan catwalk memukau dipenuhi tamu dari berbagai kalangan investor, media, pelanggan setia, hingga masyarakat kelas menengah yang jarang hadir di acara eksklusif.Untuk pertama kalinya, audiens lebih luas. Raisa dan Reyhan canggung, terbiasa dengan eksklusivitas. Bagi mereka, ini bukan sekadar perubahan pasar, tetapi juga pukulan bagi kebanggaan mereka menjaga standar merek kalangan atas.Di sudut ruangan, mereka mengamati model-model di catwalk mengenakan koleksi terbaru. Desainn
Tiga hari kemudian, dalam acara makan malam karyawan kantor setelah kampanye fashion sukses besar, Naira sengaja menghampiri Raisa saat mereka sedang berdua di balkon, dengan segelas wine di tangannya.“Kau tahu, Raisa… Reyhan mungkin menceraikan aku demi dirimu, tapi kau yakin dia benar-benar melupakanku?” Naira menyesap anggurnya, tersenyum tipis. “Ironis, ya? Kita dipertemukan lagi seperti ini.”Raisa mendesis kesal, rahangnya mengencang. “Apa yang kau inginkan, Naira?” suaranya tajam, sarat dengan kekesalan.Naira tersenyum licik. "Dia tetap pria yang sama Raisa, pria yang penuh kebimbangan dan lari saat keadaan sulit. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan menunggumu kembali dari luar negeri, bukan menikahiku. Tapi dia tidak menunggumu, kan? Dia memilih aku, berbagi hidup denganku. Kau hanya pelarian, seseorang yang kebetulan ada di saat yang tepat."Raisa menatap Naira tajam. Napasnya mulai tidak beraturan, tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya."Aku tidak percaya, Naira,
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira, dadanya naik turun dengan napas yang tertahan.Tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetuk. Tiga ketukan pelan namun penuh harap. Hening. Tidak ada jawaban.Ia menelan ludah, lalu mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah kaki terdengar dari dalam.Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang selama ini menghantuinya dalam setiap mimpi buruk dan penyesalan.Naira.Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin dan datar, seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang berarti.Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya cantik seperti yang selalu Reyhan ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mata itu, mata yang dulu penuh cinta saat menatapnya, kini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang jauh lebih tajam. Jauh lebih berbahaya.Reyhan merasa dadanya sesak."Ada apa?" suara Naira terdengar tenang, hampir terlalu tenang, seolah ia tidak terganggu sedikit pun denga
Raisa duduk di depan layar laptopnya, matanya memandang kosong pada layar yang menampilkan satu lagi email penolakan.Tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena frustrasi. Sudah lebih dari dua puluh perusahaan yang ia lamar, namun semuanya menolak tanpa memberikan alasan yang jelas."Ini pasti ulah Arga!" desisnya marah, suaranya penuh kebencian.Ayahnya, Pak Alfian, berdiri di belakangnya dengan wajah keruh. Sebagai seorang pengusaha senior, ia masih memiliki pengaruh.Namun setiap kali ia mencoba menghubungi kenalan bisnisnya untuk membantu Raisa mendapatkan pekerjaan, mereka selalu menolak secara halus atau bahkan langsung memutuskan komunikasi, seolah takut hanya dengan menyebut nama keluarganya."Aku tidak mengerti, Raisa," kata Pak Alfian, suaranya berat dan penuh ketakutan. "Bahkan perusahaan-perusahaan yang berutang budi padaku pun menolak membantumu. Ini... ini bukan kebetulan."Raisa menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memut
Malam itu, di kamar mereka yang remang-remang dengan pencahayaan hangat, Arga menatap Naira yang tengah bersandar di dadanya.Jemarinya dengan lembut memainkan rambut istrinya, sementara pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari itu."Jadi, apa rencanamu selanjutnya setelah Raisa dipecat?" Arga bertanya dengan suara rendah, matanya penuh perhatian menatap wajah Naira.Naira tersenyum tipis, sorot matanya penuh tekad. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, pekerjaan, reputasi, dan setiap peluang di dunia bisnis. Biarkan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rencanakan untukku."Arga mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan tajam di matanya. "Aku bisa mengurus itu. Aku akan menghubungi beberapa koneksi dan memastikan tidak ada satu pun perusahaan besar yang mau menerimanya."Naira mengangkat wajahnya, menatap Arga penuh cinta. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."Arga mengusap pipi istrinya dengan lembut, menatapnya dengan sorot mata t
Naira masih berbaring di sofa, merasakan kehangatan genggaman tangan Arga. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.Arga duduk di sampingnya, jemarinya mengusap lembut punggung tangannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.Naira mengangguk pelan. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat. Terima kasih karena selalu ada untukku."Arga tersenyum, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah memecat Raisa. Dia tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu khawatir tentangnya."Naira terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih, Arga. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut."Arga menatapnya dengan penuh kelembutan. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Aku ingin kau pulang lebih awal hari ini dan beristirahat dengan baik. Aku akan mengurus semua urusan di kantor."Naira tersenyum kecil, merasa lega karena Arga begitu memperhatikannya. "Baiklah, aku akan pulang lebih awal."Arga mengusap pipinya perlahan. "Aku akan mengantarmu s
Setelah suasana ruangan kembali tenang, Alidya menoleh ke arah Naira. Sorot matanya yang tajam kini melunak, menyiratkan perasaan bersalah yang mendalam.Dengan langkah mantap, ia mendekati wanita yang selama ini ia hormati, membawa serta rasa sesal yang begitu mendalam."Guru..." suara Alidya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Lalu, dengan penuh penyesalan, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Saya meminta maaf atas semua masalah yang telah terjadi. Saya seharusnya lebih cepat datang dan tidak membiarkan nama Anda dihina seperti ini."Naira terdiam sejenak, menatap muridnya yang kini menunjukkan ketulusan. Ia bisa melihat bahwa Alidya benar-benar merasa bersalah atas kejadian ini. Dengan senyum tipis, Naira menghela napas pelan."Alidya," panggilnya lembut, "kesetiaanmu sudah cukup menunjukkan siapa dirimu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Yang penting, kau sudah bertindak dengan benar pada akhirnya."Mata Alidya berkaca-kaca, lalu mengangguk tegas. "Terima kasih, Gur
Suasana mendadak hening. Semua kepala serentak menoleh ke arah pintu yang kini terbuka lebar, memperlihatkan seorang wanita dengan aura kuat dan berwibawa.Langkahnya mantap, sorot matanya tajam menusuk. Semua yang hadir langsung mengenalinya."Nona Alidya!" seru beberapa orang dengan nada kaget.Danila yang awalnya bersemangat melihat kedatangan kakaknya, langsung tersenyum dan mendekat. "Kakak! Syukurlah kakak datang! Sekarang kita bisa menyingkirkan penipu ini!"Dengan penuh semangat, Danila menunjuk ke arah Naira, seolah yakin bahwa kakaknya akan segera mendukungnya.Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.PLAK!Tamparan keras mendarat di pipi Danila, membuat semua orang terpaku dalam keheningan. Danila sendiri terhuyung mundur, menatap kakaknya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."K-Kakak...?" suaranya gemetar.Raisa yang melihat celah langsung melangkah maju, berusaha mengontrol situasi. "Nona Alidya, mungkin Anda keliru. Penipu yang sebenarn
Suasana dalam ruangan masih tegang ketika pintu konferensi terbuka, dan seorang wanita muda dengan postur anggun melangkah masuk.Dia mengenakan gaun sederhana namun berkelas, menandakan bahwa dirinya bukan orang sembarangan. Seorang tamu yang mengenalinya langsung berbisik dengan nada terkejut."Itu... Alidya Harumi!" seru seseorang dengan penuh antusias.Namun, ketika wanita itu semakin mendekat, beberapa orang mulai menyadari sesuatu yang janggal. "Tunggu, bukan! Itu bukan Alidya, itu... adiknya, Danila Harumi!"Bisik-bisik di ruangan semakin ramai, dan semua mata kini tertuju pada Danila. Wajahnya tampak tenang, namun matanya tajam, seolah menilai situasi yang tengah terjadi.Dengan langkah percaya diri, ia melangkah ke tengah ruangan dan melihat ke arah wanita yang mengaku sebagai Maison Laverne.Wanita itu yang memperkenalkan dirinya Bernama asli Kiara sempat menunjukkan tanda-tanda gugup saat melihat Danila masuk.Namun, dengan cepat ia kembali ke ekspresi percaya dirinya, terut
Hari yang dinanti tiba. Tender proyek fashion bernilai triliunan rupiah memasuki tahap akhir, dihadiri perusahaan ternama lokal maupun asing di ruang konferensi utama.Naira datang bersama Arga, tampil memukau dengan gaun hitam elegan berpotongan klasik yang menonjolkan siluet anggunnya.Rambutnya ditata rapi dengan sentuhan gelombang lembut, dan riasannya menambah kesan berwibawa.Sementara itu, Arga berdampingan dengannya dalam setelan abu-abu gelap yang menegaskan kharismanya sebagai pria berpengaruh.Saat memasuki ruangan, Naira hampir tertawa melihat Raisa begitu antusias menyapa orang-orang penting, berusaha mencuri perhatian mereka dengan gaya anggunnya.Naira duduk dengan tenang di antara para eksekutif dan investor, sementara layar besar di depannya menampilkan desain gaun yang telah ia buat dengan penuh kerja keras.Saat tiba gilirannya untuk mempresentasikan desainnya, ia melangkah ke panggung dengan percaya diri, matanya memancarkan ketenangan meski seluruh ruangan menaruh
Setelah berminggu-minggu berada di rumah sakit, Lila akhirnya keluar dengan kondisi yang jauh lebih baik.Tubuhnya yang semula lemah kini kembali segar, dan senyumnya mulai muncul lagi.Selama masa pemulihannya, semua video hinaan terhadapnya telah diturunkan dari internet, dan mereka yang berani mencemarkan namanya telah dituntut secara hukum.Kini, nama baiknya kembali bersih, dan tidak ada lagi yang berani merendahkannya.Di sebuah ruangan luas dengan pencahayaan lembut, Bu Maya duduk dengan anggun di atas sofa mewah.Ia menyeruput teh hangatnya dengan penuh ketenangan, matanya memperhatikan Lila yang duduk di hadapannya.Wajah Lila kembali bersinar, penuh semangat seperti dulu, seolah tragedi yang baru terjadi hanyalah sebuah masa pendewasaan dalam kehidupannya."Akhirnya, gadis sialan itu mati juga," ujar Lila dengan nada puas, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh kemenangan."Dia pantas mendapatkannya. Wanita busuk seperti itu memang tidak seharusnya ada di dunia ini."Bu M