Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil.
"Baiklah, Arga. Aku menerimanya."
Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."
Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan berdiri di tempat seperti ini.
Arga, yang duduk di sebelahnya, menoleh dan menyentuh tangannya sekilas. "Siap?"
Ia menelan ludah, lalu mengangguk. "Siap."
Begitu mereka masuk, nuansa rumah yang mewah tapi hangat menyelimuti suasana. Di ruang tamu yang luas, tiga sosok sudah menunggu ayah dan ibu Arga, serta sang kakek yang duduk dengan penuh wibawa.
"Jadi, ini wanita pilihanmu?" suara berat sang kakek terdengar, matanya tajam meneliti Naira, namun perlahan, senyuman tipis terukir di wajahnya. "Akhirnya kau membawa seseorang ke sini, Arga. Aku sudah hampir kehilangan harapan."
Ayah dan ibu Arga saling bertukar pandang sebelum tersenyum ramah. Sang ibu bangkit, mendekati Naira, lalu meraih tangannya dengan lembut. "Selamat datang, Naira. Kami sudah mendengar banyak tentangmu."
Naira mengangguk hormat. "Terima kasih, Tante. Om."
"Panggil saja Ibu dan Ayah," sang ayah berkata tegas, namun penuh kehangatan. "Kau sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga ini."
Naira menatap mereka dengan mata sedikit membesar. Ia mengira akan menghadapi tatapan meremehkan, pertanyaan tajam, atau sikap skeptis. Namun, tidak ada itu semua. Hanya penerimaan.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar diterima. Benar-benar dihargai.
Satu bulan setelah Arga melamar Naira, kabar pernikahan pewaris tunggal Grup Wijaya kini mengejutkan karyawan perusahaan. Arga Pratama Wijaya yang dikenal dingin dan tak tertarik asmara, kini akan menikah.
Reyhan, yang sudah dua tahun bekerja di bawah Arga, tahu betul betapa dingin dan selektif bosnya itu. Maka, saat kabar pernikahan menyebar, rasa penasarannya tak terbendung.
"Siapa wanita yang berhasil menaklukkan Pak Arga?" gumamnya sambil menyeruput kopi di pantry kantor.
Beberapa rekan kerja hanya mengangkat bahu. Tidak ada yang tahu pasti. Nama calon pengantin masih dirahasiakan dari media, meskipun berita pernikahan ini sudah jadi perbincangan hangat di industri bisnis.
"Acaranya besok. Pasti media akan menyebarkannya," ujar salah satu rekan. "Direktur seperti Pak Reyhan pasti hadir, kan? Jadi, kasih bocoran dong soal paras Nyonya Bos nanti Pak."
Reyhan hanya tersenyum kecil. "Pasti dia wanita yang luar biasa. Tidak mudah menghadapi Pak Arga yang kaku dan dingin itu. Aku harus mengenalnya."
Hari pernikahan yang dinanti akhirnya tiba. Hotel mewah yang menjadi lokasi pernikahan Arga dan Naira telah dihiasi dengan elegan, bunga-bunga putih dan emas mempercantik setiap sudut ruangan. Para tamu dari kalangan bisnis dan sosialita telah hadir, menjadikan acara ini salah satu pernikahan paling bergengsi tahun ini.
Reyhan melangkah bersama Raisa. Raisa tampak memesona dalam gaun malam berwarna navy, rambutnya disanggul elegan, dan tangannya bergelayut manja di lengan Reyhan.
Begitu mereka tiba, mereka hanya melihat Arga berdiri tegap di atas pelaminan. Tidak ada tanda-tanda mempelai wanita.
Waktu berlalu, dan tiga puluh menit kemudian, suasana mulai berubah. Alunan musik harpa lembut mengiringi pintu besar yang perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Naira yang berjalan dengan anggun.
Langkahnya ringan, penuh percaya diri. Gaun putih gading melayang anggun, menciptakan kesan seorang ratu menuju tahtanya. Cahaya lampu kristal memantulkan kilauan berlian di mahkotanya.
Genggamannya erat pada buket mawar putih, sementara matanya lurus menatap Arga. Tatapannya tenang, seolah masa lalunya telah tertinggal. Setiap pasang mata terpaku padanya, terpesona oleh kehadiran yang begitu memikat.
Reyhan yang semula berdiri santai mendadak membatu. Napasnya tercekat saat sosok pengantin wanita itu semakin jelas di matanya. Mata Raisa juga membulat tak percaya.
"Tidak mungkin…" bisik Raisa lirih.
Sementara itu, Reyhan hanya diam dan menatap lurus. Matanya tak berkedip, menyoroti setiap langkah Naira di atas altar. Wanita yang dulu ia rendahkan, yang ia tinggalkan tanpa ragu, kini menjadi istri seorang Arga Pratama Wijaya.
Raisa, yang merasakan perubahan ekspresi Reyhan, meremas lengannya dan tersenyum kecil. "Rey, ayo duduk. Jangan terlalu lama melihatnya," bisiknya mesra, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu, menunjukkan kepemilikannya.
Reyhan menghela napas panjang, tetapi tatapannya tetap terpaku pada altar. Tidak ada kata yang bisa diucapkannya.
Sementara itu, di depan altar, Arga mengulurkan tangan, menyambut Naira dengan tatapan penuh arti. Sorot matanya tajam namun tenang, seakan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh wanitanya.
Alunan musik semakin syahdu, suasana ruangan dipenuhi bisikan takjub dari para tamu yang menyaksikan pasangan itu berdiri berdampingan. Semua mata tertuju pada mereka, menanti janji suci
Sesaat kemudian suasana di dalam aula mulai berlangsung khidmat. Janji suci akhirnya terucap.
Naira menarik napas sebelum menatap Arga dengan keyakinan. "Aku menerima Arga Pratama Wijaya sebagai suamiku."
Namun, dalam hati Naira, ini bukan sekadar pernikahan. Ini adalah awal dari permainannya. Ia telah melalui banyak hal untuk sampai ke sini, dan ia tidak akan melewatkan kesempatan membalas mereka yang telah menyakitinya.
Riuh tepuk tangan menggema. Beberapa tamu tersenyum hangat, sementara yang lain terpaku. Bagi Reyhan, suara tepuk tangan itu seperti dentuman keras seperti penghinaan.
Naira yang melihat kehadiran Reyhan bersama Raisa langsung mengulas senyum sinis di wajahnya. Ketika tatapan Reyhan ternyata juga tertuju padanya, Naira semakin merasa menang.
‘Setelah ini, balasan yang setimpal akan menerpamu, Reyhan,” batin Naira dengan penuh arti.
Setelah prosesi pernikahan selesai, resepsi dimulai. Para tamu berkumpul, memberi selamat, dan menikmati hidangan mewah yang telah disiapkan.
Tak lama kemudian, Reyhan dan Raisa turut mendekat. Reyhan, dengan ekspresi profesionalnya, menjabat tangan Arga dengan sopan. "Selamat, Pak Arga. Semoga pernikahan ini membawa kebahagiaan dan kesuksesan bagi Anda."
Arga mengangguk singkat. "Terima kasih, Reyhan."
Saat Arga berpaling untuk menyapa beberapa tamu lainnya, Reyhan melipat tangannya, menatap Naira dengan ekspresi penuh tanda tanya dan rasa kesal. Sejujurnya, Reyhan masih belum mengerti kenapa Naira bisa menikah dengan bosnya.
Naira mengangkat dagunya sedikit, senyumnya bertambah lebar. "Dulu kau membuangku, Reyhan. Sekarang, aku yang akan memastikan kau membayar semuanya."
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Meski tim Reyhan kesulitan menyesuaikan konsep baru dari Naira, mereka tetap bekerja tanpa lelah. Lembur menjadi rutinitas, kopi sahabat setia, dan setiap perubahan diterapkan dengan teliti meski frustrasi terus menghantui.Raisa yang nyaris menyerah akhirnya menemukan cara menyesuaikan desain tanpa kehilangan identitas merek. Dengan dukungan Reyhan dan tim, mereka menciptakan koleksi elegan yang tetap terjangkau, meski dengan banyak pengorbanan.Hari kampanye fashion tiba. Gedung mewah dengan dekorasi modern dan catwalk memukau dipenuhi tamu dari berbagai kalangan investor, media, pelanggan setia, hingga masyarakat kelas menengah yang jarang hadir di acara eksklusif.Untuk pertama kalinya, audiens lebih luas. Raisa dan Reyhan canggung, terbiasa dengan eksklusivitas. Bagi mereka, ini bukan sekadar perubahan pasar, tetapi juga pukulan bagi kebanggaan mereka menjaga standar merek kalangan atas.Di sudut ruangan, mereka mengamati model-model di catwalk mengenakan koleksi terbaru. Desainn
Tiga hari kemudian, dalam acara makan malam karyawan kantor setelah kampanye fashion sukses besar, Naira sengaja menghampiri Raisa saat mereka sedang berdua di balkon, dengan segelas wine di tangannya.“Kau tahu, Raisa… Reyhan mungkin menceraikan aku demi dirimu, tapi kau yakin dia benar-benar melupakanku?” Naira menyesap anggurnya, tersenyum tipis. “Ironis, ya? Kita dipertemukan lagi seperti ini.”Raisa mendesis kesal, rahangnya mengencang. “Apa yang kau inginkan, Naira?” suaranya tajam, sarat dengan kekesalan.Naira tersenyum licik. "Dia tetap pria yang sama Raisa, pria yang penuh kebimbangan dan lari saat keadaan sulit. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan menunggumu kembali dari luar negeri, bukan menikahiku. Tapi dia tidak menunggumu, kan? Dia memilih aku, berbagi hidup denganku. Kau hanya pelarian, seseorang yang kebetulan ada di saat yang tepat."Raisa menatap Naira tajam. Napasnya mulai tidak beraturan, tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya."Aku tidak percaya, Naira,
Keesokan harinya, di kantor…Reyhan duduk di ruangannya, bolak-balik membuka agenda kerja di layar laptopnya. Ada yang terasa janggal sejak pagi. Biasanya, ia akan mendengar suara langkah tegas Naira di koridor atau sekadar melihat siluetnya melintas dengan percaya diri. Namun, hari ini, tidak ada tanda-tanda kehadiran wanita itu."Pak Reyhan," suara salah satu stafnya memecah lamunannya. "Mau saya antar dokumen ini ke Bu Naira?"Reyhan mengangkat alisnya. "Bu Naira?" ulangnya pelan, seolah memastikan apa yang baru saja ia dengar."Iya, Pak. Tapi katanya tadi beliau tidak masuk hari ini. Ada urusan keluarga," jawab staf tersebut sebelum akhirnya pamit keluar.Reyhan mengernyit. Ia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. Untuk apa memikirkan Naira? Dia hanyalah mantan istrinya yang selalu bergantung pada orang lain, bukan? Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin pikirannya dipenuhi bayangan wanita itu.Namun, hal yang lebih mengusiknya saat Arga datang ke kantor pagi ini
Saat mobil mereka melaju meninggalkan pusat perbelanjaan, Naira masih merasakan debaran halus di dadanya. Pertemuan dengan Bu Maya dan Lila menguras emosinya, tetapi sikap Bu Rina yang melindunginya membuatnya merasa lebih diterima."Jangan terlalu dipikirkan," kata Bu Rina. "Orang-orang seperti mereka selalu mencari celah untuk menjatuhkanmu. Yang penting adalah bagaimana kau menghadapinya."Naira mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya tidak menyangka Ibu akan membela saya."Bu Rina tersenyum. "Kau bagian dari keluarga Wijaya sekarang. Aku tidak membiarkan siapa pun meremehkan menantu pilihanku."Kata-kata itu menghangatkan hati Naira. Ia mulai menyadari keluarga Arga benar-benar baik dari awal sampai sekarang tidak berubah.Sesampainya di rumah, Naira ingin beristirahat sebelum Arga pulang. Namun, suara ketukan menginterupsi niatnya."Masuklah," ucap Naira.Pintu terbuka, menampilkan Bima, asisten Arga. "Bu Naira, Pak Arga meminta Anda menemuinya di ruang kerja nanti."Naira mengernyit
Rumah minimalis dua lantai itu berdiri megah dengan desain modern, namun di dalamnya, hanya kesunyian yang tersisa. Dulu, setiap pagi Reyhan terbangun oleh langkah Naira di dapur, aroma kopi yang menguar, dan suara lembutnya membangunkannya.Kini, ia terbangun hanya oleh dering alarm. Tak ada suara, tak ada kehangatan hanya kamar yang dingin dan kosong. Meja makan pun sunyi, menyisakan kesendirian yang menyesakkan.Reyhan duduk di kursi Naira, mencoba membaca koran, tapi pikirannya melayang. Ia melirik ke dapur, berharap mendengar suara familiar, namun hanya kesunyian yang menyambutnya.Bu Maya dan Lila terlihat di dapur, sibuk menyiapkan sarapan. Namun, ketika Reyhan mencicipi makanan di piringnya, rasanya hambar jauh dari rasa yang dulu ia abaikan ketika masih ada Naira.Ia menghela napas panjang, baru menyadari betapa terbiasanya ia dengan kehadiran Naira. Kopi buatan Naira selalu pas tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis. Sekarang, ia harus membuatnya sendiri atau meminta ibu a
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira, dadanya naik turun dengan napas yang tertahan.Tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetuk. Tiga ketukan pelan namun penuh harap. Hening. Tidak ada jawaban.Ia menelan ludah, lalu mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah kaki terdengar dari dalam.Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang selama ini menghantuinya dalam setiap mimpi buruk dan penyesalan.Naira.Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin dan datar, seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang berarti.Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya cantik seperti yang selalu Reyhan ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mata itu, mata yang dulu penuh cinta saat menatapnya, kini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang jauh lebih tajam. Jauh lebih berbahaya.Reyhan merasa dadanya sesak."Ada apa?" suara Naira terdengar tenang, hampir terlalu tenang, seolah ia tidak terganggu sedikit pun denga
Raisa duduk di depan layar laptopnya, matanya memandang kosong pada layar yang menampilkan satu lagi email penolakan.Tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena frustrasi. Sudah lebih dari dua puluh perusahaan yang ia lamar, namun semuanya menolak tanpa memberikan alasan yang jelas."Ini pasti ulah Arga!" desisnya marah, suaranya penuh kebencian.Ayahnya, Pak Alfian, berdiri di belakangnya dengan wajah keruh. Sebagai seorang pengusaha senior, ia masih memiliki pengaruh.Namun setiap kali ia mencoba menghubungi kenalan bisnisnya untuk membantu Raisa mendapatkan pekerjaan, mereka selalu menolak secara halus atau bahkan langsung memutuskan komunikasi, seolah takut hanya dengan menyebut nama keluarganya."Aku tidak mengerti, Raisa," kata Pak Alfian, suaranya berat dan penuh ketakutan. "Bahkan perusahaan-perusahaan yang berutang budi padaku pun menolak membantumu. Ini... ini bukan kebetulan."Raisa menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memut
Malam itu, di kamar mereka yang remang-remang dengan pencahayaan hangat, Arga menatap Naira yang tengah bersandar di dadanya.Jemarinya dengan lembut memainkan rambut istrinya, sementara pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari itu."Jadi, apa rencanamu selanjutnya setelah Raisa dipecat?" Arga bertanya dengan suara rendah, matanya penuh perhatian menatap wajah Naira.Naira tersenyum tipis, sorot matanya penuh tekad. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, pekerjaan, reputasi, dan setiap peluang di dunia bisnis. Biarkan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rencanakan untukku."Arga mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan tajam di matanya. "Aku bisa mengurus itu. Aku akan menghubungi beberapa koneksi dan memastikan tidak ada satu pun perusahaan besar yang mau menerimanya."Naira mengangkat wajahnya, menatap Arga penuh cinta. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."Arga mengusap pipi istrinya dengan lembut, menatapnya dengan sorot mata t
Naira masih berbaring di sofa, merasakan kehangatan genggaman tangan Arga. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.Arga duduk di sampingnya, jemarinya mengusap lembut punggung tangannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.Naira mengangguk pelan. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat. Terima kasih karena selalu ada untukku."Arga tersenyum, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah memecat Raisa. Dia tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu khawatir tentangnya."Naira terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih, Arga. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut."Arga menatapnya dengan penuh kelembutan. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Aku ingin kau pulang lebih awal hari ini dan beristirahat dengan baik. Aku akan mengurus semua urusan di kantor."Naira tersenyum kecil, merasa lega karena Arga begitu memperhatikannya. "Baiklah, aku akan pulang lebih awal."Arga mengusap pipinya perlahan. "Aku akan mengantarmu s
Setelah suasana ruangan kembali tenang, Alidya menoleh ke arah Naira. Sorot matanya yang tajam kini melunak, menyiratkan perasaan bersalah yang mendalam.Dengan langkah mantap, ia mendekati wanita yang selama ini ia hormati, membawa serta rasa sesal yang begitu mendalam."Guru..." suara Alidya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Lalu, dengan penuh penyesalan, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Saya meminta maaf atas semua masalah yang telah terjadi. Saya seharusnya lebih cepat datang dan tidak membiarkan nama Anda dihina seperti ini."Naira terdiam sejenak, menatap muridnya yang kini menunjukkan ketulusan. Ia bisa melihat bahwa Alidya benar-benar merasa bersalah atas kejadian ini. Dengan senyum tipis, Naira menghela napas pelan."Alidya," panggilnya lembut, "kesetiaanmu sudah cukup menunjukkan siapa dirimu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Yang penting, kau sudah bertindak dengan benar pada akhirnya."Mata Alidya berkaca-kaca, lalu mengangguk tegas. "Terima kasih, Gur
Suasana mendadak hening. Semua kepala serentak menoleh ke arah pintu yang kini terbuka lebar, memperlihatkan seorang wanita dengan aura kuat dan berwibawa.Langkahnya mantap, sorot matanya tajam menusuk. Semua yang hadir langsung mengenalinya."Nona Alidya!" seru beberapa orang dengan nada kaget.Danila yang awalnya bersemangat melihat kedatangan kakaknya, langsung tersenyum dan mendekat. "Kakak! Syukurlah kakak datang! Sekarang kita bisa menyingkirkan penipu ini!"Dengan penuh semangat, Danila menunjuk ke arah Naira, seolah yakin bahwa kakaknya akan segera mendukungnya.Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.PLAK!Tamparan keras mendarat di pipi Danila, membuat semua orang terpaku dalam keheningan. Danila sendiri terhuyung mundur, menatap kakaknya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."K-Kakak...?" suaranya gemetar.Raisa yang melihat celah langsung melangkah maju, berusaha mengontrol situasi. "Nona Alidya, mungkin Anda keliru. Penipu yang sebenarn
Suasana dalam ruangan masih tegang ketika pintu konferensi terbuka, dan seorang wanita muda dengan postur anggun melangkah masuk.Dia mengenakan gaun sederhana namun berkelas, menandakan bahwa dirinya bukan orang sembarangan. Seorang tamu yang mengenalinya langsung berbisik dengan nada terkejut."Itu... Alidya Harumi!" seru seseorang dengan penuh antusias.Namun, ketika wanita itu semakin mendekat, beberapa orang mulai menyadari sesuatu yang janggal. "Tunggu, bukan! Itu bukan Alidya, itu... adiknya, Danila Harumi!"Bisik-bisik di ruangan semakin ramai, dan semua mata kini tertuju pada Danila. Wajahnya tampak tenang, namun matanya tajam, seolah menilai situasi yang tengah terjadi.Dengan langkah percaya diri, ia melangkah ke tengah ruangan dan melihat ke arah wanita yang mengaku sebagai Maison Laverne.Wanita itu yang memperkenalkan dirinya Bernama asli Kiara sempat menunjukkan tanda-tanda gugup saat melihat Danila masuk.Namun, dengan cepat ia kembali ke ekspresi percaya dirinya, terut
Hari yang dinanti tiba. Tender proyek fashion bernilai triliunan rupiah memasuki tahap akhir, dihadiri perusahaan ternama lokal maupun asing di ruang konferensi utama.Naira datang bersama Arga, tampil memukau dengan gaun hitam elegan berpotongan klasik yang menonjolkan siluet anggunnya.Rambutnya ditata rapi dengan sentuhan gelombang lembut, dan riasannya menambah kesan berwibawa.Sementara itu, Arga berdampingan dengannya dalam setelan abu-abu gelap yang menegaskan kharismanya sebagai pria berpengaruh.Saat memasuki ruangan, Naira hampir tertawa melihat Raisa begitu antusias menyapa orang-orang penting, berusaha mencuri perhatian mereka dengan gaya anggunnya.Naira duduk dengan tenang di antara para eksekutif dan investor, sementara layar besar di depannya menampilkan desain gaun yang telah ia buat dengan penuh kerja keras.Saat tiba gilirannya untuk mempresentasikan desainnya, ia melangkah ke panggung dengan percaya diri, matanya memancarkan ketenangan meski seluruh ruangan menaruh
Setelah berminggu-minggu berada di rumah sakit, Lila akhirnya keluar dengan kondisi yang jauh lebih baik.Tubuhnya yang semula lemah kini kembali segar, dan senyumnya mulai muncul lagi.Selama masa pemulihannya, semua video hinaan terhadapnya telah diturunkan dari internet, dan mereka yang berani mencemarkan namanya telah dituntut secara hukum.Kini, nama baiknya kembali bersih, dan tidak ada lagi yang berani merendahkannya.Di sebuah ruangan luas dengan pencahayaan lembut, Bu Maya duduk dengan anggun di atas sofa mewah.Ia menyeruput teh hangatnya dengan penuh ketenangan, matanya memperhatikan Lila yang duduk di hadapannya.Wajah Lila kembali bersinar, penuh semangat seperti dulu, seolah tragedi yang baru terjadi hanyalah sebuah masa pendewasaan dalam kehidupannya."Akhirnya, gadis sialan itu mati juga," ujar Lila dengan nada puas, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh kemenangan."Dia pantas mendapatkannya. Wanita busuk seperti itu memang tidak seharusnya ada di dunia ini."Bu M