Meski tim Reyhan kesulitan menyesuaikan konsep baru dari Naira, mereka tetap bekerja tanpa lelah. Lembur menjadi rutinitas, kopi sahabat setia, dan setiap perubahan diterapkan dengan teliti meski frustrasi terus menghantui.
Raisa yang nyaris menyerah akhirnya menemukan cara menyesuaikan desain tanpa kehilangan identitas merek. Dengan dukungan Reyhan dan tim, mereka menciptakan koleksi elegan yang tetap terjangkau, meski dengan banyak pengorbanan.
Hari kampanye fashion tiba. Gedung mewah dengan dekorasi modern dan catwalk memukau dipenuhi tamu dari berbagai kalangan investor, media, pelanggan setia, hingga masyarakat kelas menengah yang jarang hadir di acara eksklusif.
Untuk pertama kalinya, audiens lebih luas. Raisa dan Reyhan canggung, terbiasa dengan eksklusivitas. Bagi mereka, ini bukan sekadar perubahan pasar, tetapi juga pukulan bagi kebanggaan mereka menjaga standar merek kalangan atas.
Di sudut ruangan, mereka mengamati model-model di catwalk mengenakan koleksi terbaru. Desainnya fleksibel, material berkualitas, tetap terjangkau. Warna nude, emerald, dan navy mendominasi dengan sentuhan bordir minimalis. Bangga, tapi tetap kesal pada revisi Naira.
Momen yang seharusnya membanggakan bagi Reyhan dan Raisa justru menjadi pukulan telak. Saat sesi apresiasi, tepuk tangan meriah menggema ketika pembawa acara mengundang Naira sebagai Wakil Direktur Utama yang mengusung ide inovatif kampanye fashion ini.
Di antara tepuk tangan itu, Arga tersenyum puas, ikut bertepuk tangan. Keberhasilannya dalam mendukung strategi Naira kini semakin nyata.
Naira melangkah ke panggung, menerima penghargaan dengan senyum percaya diri. "Terima kasih kepada tim pemasaran dan desain. Perubahan adalah kunci bertahan di bisnis. Dengan inovasi dan keberanian, kita bisa membawa brand ini lebih tinggi."
Raisa mengepalkan tangannya. “Luar biasa,” gumamnya pelan, suaranya dipenuhi sarkasme. “Dia yang mengacaukan segalanya, tapi sekarang dia yang menerima semua pujian.”
Reyhan diam, menatap Naira dengan campuran marah, kecewa, dan penasaran. Sampai kapan mantan istrinya itu akan terus bermain-main?
Ketika Naira turun dari panggung, matanya bertemu dengan Reyhan. Sejenak, ada kilatan kemenangan dalam tatapannya, seolah ia ingin menegaskan bahwa ia kini memegang kendali penuh.
Sementara itu, Raisa mendekat ke Reyhan, suaranya lirih namun tajam. “Kita sudah bekerja mati-matian, tapi siapa yang menerima semua pujian? Aku muak dengan ini.”
“Bukan cuma kau,” jawab Reyhan dengan nada yang sama.
Saat itu, Arga tiba-tiba muncul, berdiri di samping Naira. Pria itu menatap Reyhan dengan senyum tipis yang sulit diartikan. “Reyhan, kurasa kau tidak keberatan dengan hasil ini, bukan?” tanyanya dengan nada santai tapi penuh tekanan.
“Tentu saja, Pak,” jawab Reyhan akhirnya, meskipun dalam hatinya ia ingin membantah.
Naira tersenyum puas. “Bagus. Aku harap ke depannya kita bisa bekerja lebih efisien, tanpa perlu banyak revisi yang membuang waktu.”
Raisa hampir saja membalas, tetapi Reyhan menahannya dengan tatapan peringatan. Ia tahu, ini bukan saat yang tepat untuk protes.
Saat itu, salah satu rekan bisnis yang cukup berpengaruh, Tuan Baskara, mendekat dengan senyum tipis. Reyhan dan Raisa segera menyapanya dengan penuh hormat, berharap mendapatkan pengakuan atas kerja keras mereka.
"Ah, Reyhan, Raisa! Kalian berdua terlihat luar biasa malam ini. Pekerjaan kalian benar-benar mengesankan," ujar Tuan Baskara dengan ramah.
"Terima kasih, Tuan Baskara," jawab Raisa sopan.
Tuan Baskara tersenyum dan menoleh ke Arga. "Pak Arga, konsep ini menarik. Saya berencana mengadakan acara serupa dan ingin berdiskusi dengan tim desain serta pemasaranmu."
Arga menyambut dengan anggukan kecil, lalu melirik ke Naira. "Tuan Baskara, jika ingin memahami strategi ini lebih dalam, sebaiknya tanyakan langsung pada istriku. Dia yang merancang keseluruhan konsep."
Naira tersenyum percaya diri. "Dengan senang hati, Tuan Baskara. Saya siap berdiskusi kapan saja."
Arga tersenyum puas, sementara Reyhan dan Raisa hanya bisa diam, menyembunyikan amarah di balik ekspresi datar. Mereka tak hanya kehilangan pengakuan, tapi juga merasa dikhianati oleh kerja keras mereka sendiri.
Saat pesta semakin larut, Raisa menarik Reyhan ke sudut ruangan yang lebih sepi. Musik lembut mengalun, sementara para tamu sibuk mengagumi koleksi busana terbaru dan bercengkerama dengan segelas wine di tangan mereka.
"Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi," bisik Raisa tajam. "Semua kerja keras kita diambil begitu saja. Aku muak melihat Naira begitu tidak tau diri."
Reyhan menatap Naira dan Arga yang berbincang dengan para investor. "Aku tahu," gumamnya pelan. "Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa."
Mereka menyadari pahitnya kenyataan. Naira hanya memberikan ide, sementara merekalah yang bekerja keras mewujudkannya. Namun, pengakuan tetap pada siapa yang paling berkuasa.
Begitu acara selesai, Naira dan Arga melangkah keluar dengan percaya diri, meninggalkan Reyhan dan Raisa yang masih sibuk mengurus sisa acara.
Sorot lampu mobil mewah menyambut mereka, dan sopir segera membukakan pintu. Naira melepas sepatu hak tingginya begitu masuk, meregangkan kakinya dengan lega.
"Hari yang luar biasa," ujarnya pelan, menatap Arga di sampingnya. "Mereka bekerja keras, tapi akulah yang berdiri di puncak. Begitu mudahnya mengambil hasil kerja orang lain."
Arga tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Begitulah bisnis berjalan Naira. Mereka hanya bidak, dan kita pemainnya. Kini, kita pastikan mereka tetap di bawah kendali kita."
Tiga hari kemudian, dalam acara makan malam karyawan kantor setelah kampanye fashion sukses besar, Naira sengaja menghampiri Raisa saat mereka sedang berdua di balkon, dengan segelas wine di tangannya.“Kau tahu, Raisa… Reyhan mungkin menceraikan aku demi dirimu, tapi kau yakin dia benar-benar melupakanku?” Naira menyesap anggurnya, tersenyum tipis. “Ironis, ya? Kita dipertemukan lagi seperti ini.”Raisa mendesis kesal, rahangnya mengencang. “Apa yang kau inginkan, Naira?” suaranya tajam, sarat dengan kekesalan.Naira tersenyum licik. "Dia tetap pria yang sama Raisa, pria yang penuh kebimbangan dan lari saat keadaan sulit. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan menunggumu kembali dari luar negeri, bukan menikahiku. Tapi dia tidak menunggumu, kan? Dia memilih aku, berbagi hidup denganku. Kau hanya pelarian, seseorang yang kebetulan ada di saat yang tepat."Raisa menatap Naira tajam. Napasnya mulai tidak beraturan, tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya."Aku tidak percaya, Naira,
“Mas, boleh tolong buang sampah di dapur ke depan? Aku kurang enak badan, lemes dari semalam,” kata Naira yang tampak tidak bertenaga. Ia berusaha bangun dari posisi tidurnya.“Aku buru-buru, Naira. Ada banyak kerjaan di kantor. Lagipula, buang sampah ke depan saja masa kamu gak bisa,” jawab Reyhan yang masih sibuk memasukkan beberapa dokumen ke dalam tas kerjanya.“Tapi Mas, aku bangun saja kesusahan,” keluh Naira dengan suara paraunya.Sejak semalam, badan Naira memang demam cukup tinggi. Ia berusaha membangunkan Reyhan, suaminya, untuk mengajaknya pergi ke dokter, tetapi pria itu tidak menggubrisnya dan tertidur semakin pulas.“Itu kamu cuma kurang banyak gerak aja makanya jadi malas.” Reyhan mengambil jas hitam yang ada di dalam lemari pakaiannya dan segera memakainya. Pandangannya sama sekali tidak pernah jatuh pada istrinya, seolah tidak peduli dengan rintihan sang istri.Naira hanya bisa menghela napas berat, menatap Reyhan dengan nanar.Setelah hampir 3 tahun menikah, belakang
Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja lan
Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.Byur!Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya."Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Nair
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Tiga hari kemudian, dalam acara makan malam karyawan kantor setelah kampanye fashion sukses besar, Naira sengaja menghampiri Raisa saat mereka sedang berdua di balkon, dengan segelas wine di tangannya.“Kau tahu, Raisa… Reyhan mungkin menceraikan aku demi dirimu, tapi kau yakin dia benar-benar melupakanku?” Naira menyesap anggurnya, tersenyum tipis. “Ironis, ya? Kita dipertemukan lagi seperti ini.”Raisa mendesis kesal, rahangnya mengencang. “Apa yang kau inginkan, Naira?” suaranya tajam, sarat dengan kekesalan.Naira tersenyum licik. "Dia tetap pria yang sama Raisa, pria yang penuh kebimbangan dan lari saat keadaan sulit. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan menunggumu kembali dari luar negeri, bukan menikahiku. Tapi dia tidak menunggumu, kan? Dia memilih aku, berbagi hidup denganku. Kau hanya pelarian, seseorang yang kebetulan ada di saat yang tepat."Raisa menatap Naira tajam. Napasnya mulai tidak beraturan, tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya."Aku tidak percaya, Naira,
Meski tim Reyhan kesulitan menyesuaikan konsep baru dari Naira, mereka tetap bekerja tanpa lelah. Lembur menjadi rutinitas, kopi sahabat setia, dan setiap perubahan diterapkan dengan teliti meski frustrasi terus menghantui.Raisa yang nyaris menyerah akhirnya menemukan cara menyesuaikan desain tanpa kehilangan identitas merek. Dengan dukungan Reyhan dan tim, mereka menciptakan koleksi elegan yang tetap terjangkau, meski dengan banyak pengorbanan.Hari kampanye fashion tiba. Gedung mewah dengan dekorasi modern dan catwalk memukau dipenuhi tamu dari berbagai kalangan investor, media, pelanggan setia, hingga masyarakat kelas menengah yang jarang hadir di acara eksklusif.Untuk pertama kalinya, audiens lebih luas. Raisa dan Reyhan canggung, terbiasa dengan eksklusivitas. Bagi mereka, ini bukan sekadar perubahan pasar, tetapi juga pukulan bagi kebanggaan mereka menjaga standar merek kalangan atas.Di sudut ruangan, mereka mengamati model-model di catwalk mengenakan koleksi terbaru. Desainn
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni