Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Dirumah Reyhan, lampu kuning temaram menggantung di sudut ruangan, menyinari tubuh Raisa yang terbaring di sofa panjang.Selimut tipis membungkus tubuhnya, tapi bagian lengannya yang terbuka masih menunjukkan bekas luka-luka menghitam dan memar yang belum sepenuhnya hilang.Beberapa masih segar, garis merah keunguan menyapu kulit pucatnya.Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi suara dari dapur membuatnya mendengus pelan.Bu Maya tak pernah lelah berbicara tentang apapun, kepada siapa pun, bahkan jika tak ada yang mendengarkan.“Sudah seminggu tinggal di sini, nggak ada perkembangan. Kerja juga nggak, bantu-bantu juga nggak,” ocehnya sambil memotong sayuran.Suaranya cukup keras untuk sampai ke ruang tengah. “Cuma diam aja kayak patung. Anak zaman sekarang, memang keterlaluan.”Raisa membuka mata perlahan. Kedua bola matanya tajam. Ia menggeser duduk, membetulkan selimutnya.“Sudah Reyhan kasih makan, kasih kamar, sekarang tinggal nyuruh-nyuruh. Dasar nggak tahu diri.”Ia mencoba men
Dua hari kemudian, matahari sore menyinari pelataran rumah sakit, keemasannya membias di kaca jendela, menyelimuti dunia seolah ikut bersyukur atas kembalinya satu jiwa dari ambang maut.Kursi roda didorong perlahan oleh seorang perawat, roda menggesek lantai dengan suara lirih, seolah ikut menghormati momen ini. Naira, dengan selimut tipis menutupi kakinya, tampak lemah tapi matanya tak lagi kosong.Di sampingnya, Arga berjalan setia. Setiap langkahnya bagai janji sunyi, bahwa ia tak akan membiarkan Naira terluka lagi.Rambut Naira masih belum ditata rapi, kulitnya pucat, tapi ada cahaya tak tergoyahkan di sorot matanya.Cahaya dari perempuan yang tak mau jadi korban lagi. Bukan dari siapa pun.Bu Rina, ibu mertua Naira, menahan air mata yang sudah membentuk barisan di pelupuk. Suaranya bergetar, tangan menggenggam dada.“Alhamdulillah, ya Allah… akhirnya kamu bisa pulang, Nak. Maafin Ibu kalau selama ini terlalu keras.”Naira menoleh pelan, bibirnya tersenyum tipis. “Terima kasih, B
Langit kota diselimuti mendung pekat, gerimis turun menyapu aspal yang dingin. Reyhan menyetir pulang dengan kecepatan nyaris melanggar batas, dadanya terasa sesak.Pikirannya masih terguncang oleh satu pesan singkat dari Alex, bos sekaligus lelaki yang selama ini bisa menggenggam lehernya dalam satu perintah:“Aku akan membereskan satu urusan malam ini. Selesaikan proposal perencanaan malam ini.”Urusan.Reyhan langsung tahu: itu tentang Raisa."Jangan sampai…" gumamnya, jari-jarinya mencengkeram setir, napasnya memburu.Begitu sampai di rumah, dia langsung melompat keluar dari mobil, membanting pintu dan menerobos masuk.“RAISA!” suaranya menggema keras. Lila meringkuk di sudut, menutup telinga. Bu Maya muncul dari dapur dengan wajah panik.Braak!Pintu rumah dibuka dengan keras. Reyhan masuk terburu-buru, napasnya memburu. Jaketnya basah oleh hujan gerimis yang baru saja mengguyur kota."Raisa!" teriaknya dari pintu, suaranya menggema, nyaris putus asa.Tak ada jawaban. Rumah teras
Jalan Raya Margasari, 23.29Hujan mengguyur semakin deras. Di tengah malam basah itu, Reyhan masih berlutut di samping tubuh Raisa, yang tergeletak tak berdaya, terbungkus dingin dan sepi.Darah bercampur air hujan, membentuk aliran kecil yang mengalir menjauh, seolah ingin membawa pergi semua dosa malam ini.Alex kini menatapnya dalam diam. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya sesuatu yang jauh lebih mengerikan: kekecewaan dingin.Alex berhenti di depan Reyhan, menghela napas panjang, lalu berjongkok hingga sejajar dengan wajah bawahannya itu."Aku pikir kamu lebih pintar dari ini, Reyhan," katanya datar. "Menyembunyikan Raisa... dariku?"Reyhan ingin membela diri, ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya menggigil bukan hanya karena hujan, tapi karena takut.Alex menatap tubuh Raisa sesaat, lalu kembali menatap Reyhan, mata tajamnya seperti menelanjangi setiap kebohongan."Aku seharusnya membereskanmu sekarang juga," lanjutnya pelan, nadanya nyaris ramah. "Seharusnya aku
Rumah Keluarga Reyhan, 04.23Pintu rumah Reyhan berderit pelan saat dibuka.Tubuh Reyhan basah kuyup, bajunya kotor dengan bercak tanah dan lumpur. Matanya merah, wajahnya keras, penuh amarah yang ditahan.Bu Maya yang sejak tadi gelisah di ruang tamu langsung bangkit, menghampiri dengan langkah tergesa."Reyhan! Gimana, Nak? Kamu ketemu Raisa, kan? Dia nggak apa-apa, kan?!" seru Bu Maya dengan nada cemas, matanya membelalak penuh harap.Reyhan hanya diam, tatapannya kosong.Tanpa menjawab, ia melepas jaket kotor itu dan melemparkan ke sofa dengan kasar, berjalan menuju kamarnya."Reyhan, jawab, Nak! Raisa gimana?! Jangan diam aja!" teriak Bu Maya, suaranya pecah.Langkah Reyhan mendadak terhenti.Ia membalikkan badan perlahan, wajahnya merah karena menahan emosi."BU!" Reyhan menghardik, suaranya meledak. "Kenapa Ibu nggak pernah berhenti BICARA?!"Bu Maya terkejut, tubuhnya gemetar."Semua ini... semua kekacauan ini... itu KARENA IBU!" teriak Reyhan, dadanya naik turun menahan amara
Beberapa hari setelah kunjungan ke butik Bu Rina.Langit sore menghitam perlahan saat Naira melangkah keluar dari kafe kecil dekat kantornya.Hatinya resah, seolah ada sesuatu yang salah. Udara terasa lebih dingin dari biasanya."Naira."Suara itu serak, berat, dan penuh beban menghentikan langkahnya.Ia menoleh.Di sana, berdiri Reyhan.Tubuhnya lebih kurus, matanya cekung dan berkilat aneh, seakan dihantui sesuatu yang tak bisa ia lepaskan.Naira membeku. Jantungnya berdegup keras di dadanya."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya tegang, melindungi dirinya sendiri.Reyhan melangkah mendekat perlahan. Ada luka dalam tatapannya dan kegilaan samar yang membuat Naira bergidik."Aku cuma mau lihat kamu," bisik Reyhan. "Aku cuma mau pastikan... kamu masih Naira yang aku kenal."Naira menggenggam erat tali tasnya, menahan diri untuk tidak lari."Kita sudah selesai, Reyhan," katanya dingin. "Kamu harus terima itu."Namun Reyhan tertawa kecil, getir, seolah mendengar sesuatu yang absurd.
Tiga Bulan KemudianPagi itu, Naira melangkah masuk ke kantor, mencoba menyesuaikan diri kembali setelah berbulan-bulan absen.Meskipun senyumnya terlihat sempurna, ada perasaan yang sulit disembunyikan.Dulu, kantor ini adalah tempat penuh kebahagiaan, tetapi sekarang terasa penuh ketegangan dan kebingungan.Begitu melangkah ke ruangannya, suara manis Liza langsung menyapa, terdengar begitu ceria, bahkan sedikit berlebihan."Naira, Kak!" Liza menyapanya dengan senyum yang tampak lebih lebar dari biasanya.Naira menoleh, dan senyumnya kembali muncul meskipun sedikit terpaksa. "Hai, Liza," jawab Naira dengan nada datar, menahan perasaan yang semakin berat di dadanya.Liza melangkah lebih dekat, mata berbinar dengan tujuan yang tak jelas. "Aku dengar kamu sudah kembali. Kak Naira, kamu baik-baik saja?" tanyanya, tampaknya sangat peduli.Naira merasakan sesuatu yang ganjil. Liza terlalu berusaha baik. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik pertanyaan itu.Liza jelas berusaha menunjukkan b
Rumah Keluarga Reyhan, 04.23Pintu rumah Reyhan berderit pelan saat dibuka.Tubuh Reyhan basah kuyup, bajunya kotor dengan bercak tanah dan lumpur. Matanya merah, wajahnya keras, penuh amarah yang ditahan.Bu Maya yang sejak tadi gelisah di ruang tamu langsung bangkit, menghampiri dengan langkah tergesa."Reyhan! Gimana, Nak? Kamu ketemu Raisa, kan? Dia nggak apa-apa, kan?!" seru Bu Maya dengan nada cemas, matanya membelalak penuh harap.Reyhan hanya diam, tatapannya kosong.Tanpa menjawab, ia melepas jaket kotor itu dan melemparkan ke sofa dengan kasar, berjalan menuju kamarnya."Reyhan, jawab, Nak! Raisa gimana?! Jangan diam aja!" teriak Bu Maya, suaranya pecah.Langkah Reyhan mendadak terhenti.Ia membalikkan badan perlahan, wajahnya merah karena menahan emosi."BU!" Reyhan menghardik, suaranya meledak. "Kenapa Ibu nggak pernah berhenti BICARA?!"Bu Maya terkejut, tubuhnya gemetar."Semua ini... semua kekacauan ini... itu KARENA IBU!" teriak Reyhan, dadanya naik turun menahan amara
Jalan Raya Margasari, 23.29Hujan mengguyur semakin deras. Di tengah malam basah itu, Reyhan masih berlutut di samping tubuh Raisa, yang tergeletak tak berdaya, terbungkus dingin dan sepi.Darah bercampur air hujan, membentuk aliran kecil yang mengalir menjauh, seolah ingin membawa pergi semua dosa malam ini.Alex kini menatapnya dalam diam. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya sesuatu yang jauh lebih mengerikan: kekecewaan dingin.Alex berhenti di depan Reyhan, menghela napas panjang, lalu berjongkok hingga sejajar dengan wajah bawahannya itu."Aku pikir kamu lebih pintar dari ini, Reyhan," katanya datar. "Menyembunyikan Raisa... dariku?"Reyhan ingin membela diri, ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya menggigil bukan hanya karena hujan, tapi karena takut.Alex menatap tubuh Raisa sesaat, lalu kembali menatap Reyhan, mata tajamnya seperti menelanjangi setiap kebohongan."Aku seharusnya membereskanmu sekarang juga," lanjutnya pelan, nadanya nyaris ramah. "Seharusnya aku
Langit kota diselimuti mendung pekat, gerimis turun menyapu aspal yang dingin. Reyhan menyetir pulang dengan kecepatan nyaris melanggar batas, dadanya terasa sesak.Pikirannya masih terguncang oleh satu pesan singkat dari Alex, bos sekaligus lelaki yang selama ini bisa menggenggam lehernya dalam satu perintah:“Aku akan membereskan satu urusan malam ini. Selesaikan proposal perencanaan malam ini.”Urusan.Reyhan langsung tahu: itu tentang Raisa."Jangan sampai…" gumamnya, jari-jarinya mencengkeram setir, napasnya memburu.Begitu sampai di rumah, dia langsung melompat keluar dari mobil, membanting pintu dan menerobos masuk.“RAISA!” suaranya menggema keras. Lila meringkuk di sudut, menutup telinga. Bu Maya muncul dari dapur dengan wajah panik.Braak!Pintu rumah dibuka dengan keras. Reyhan masuk terburu-buru, napasnya memburu. Jaketnya basah oleh hujan gerimis yang baru saja mengguyur kota."Raisa!" teriaknya dari pintu, suaranya menggema, nyaris putus asa.Tak ada jawaban. Rumah teras
Dua hari kemudian, matahari sore menyinari pelataran rumah sakit, keemasannya membias di kaca jendela, menyelimuti dunia seolah ikut bersyukur atas kembalinya satu jiwa dari ambang maut.Kursi roda didorong perlahan oleh seorang perawat, roda menggesek lantai dengan suara lirih, seolah ikut menghormati momen ini. Naira, dengan selimut tipis menutupi kakinya, tampak lemah tapi matanya tak lagi kosong.Di sampingnya, Arga berjalan setia. Setiap langkahnya bagai janji sunyi, bahwa ia tak akan membiarkan Naira terluka lagi.Rambut Naira masih belum ditata rapi, kulitnya pucat, tapi ada cahaya tak tergoyahkan di sorot matanya.Cahaya dari perempuan yang tak mau jadi korban lagi. Bukan dari siapa pun.Bu Rina, ibu mertua Naira, menahan air mata yang sudah membentuk barisan di pelupuk. Suaranya bergetar, tangan menggenggam dada.“Alhamdulillah, ya Allah… akhirnya kamu bisa pulang, Nak. Maafin Ibu kalau selama ini terlalu keras.”Naira menoleh pelan, bibirnya tersenyum tipis. “Terima kasih, B
Dirumah Reyhan, lampu kuning temaram menggantung di sudut ruangan, menyinari tubuh Raisa yang terbaring di sofa panjang.Selimut tipis membungkus tubuhnya, tapi bagian lengannya yang terbuka masih menunjukkan bekas luka-luka menghitam dan memar yang belum sepenuhnya hilang.Beberapa masih segar, garis merah keunguan menyapu kulit pucatnya.Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi suara dari dapur membuatnya mendengus pelan.Bu Maya tak pernah lelah berbicara tentang apapun, kepada siapa pun, bahkan jika tak ada yang mendengarkan.“Sudah seminggu tinggal di sini, nggak ada perkembangan. Kerja juga nggak, bantu-bantu juga nggak,” ocehnya sambil memotong sayuran.Suaranya cukup keras untuk sampai ke ruang tengah. “Cuma diam aja kayak patung. Anak zaman sekarang, memang keterlaluan.”Raisa membuka mata perlahan. Kedua bola matanya tajam. Ia menggeser duduk, membetulkan selimutnya.“Sudah Reyhan kasih makan, kasih kamar, sekarang tinggal nyuruh-nyuruh. Dasar nggak tahu diri.”Ia mencoba men
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap