Menjelang jam pulang kerja, Raisa duduk gelisah di kursinya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme tak beraturan.Sejak pertemuannya dengan Naira tadi siang, pikirannya tak bisa tenang. Kata-kata wanita itu menusuk harga dirinya, membuatnya merasa harus bertindak cepat.Begitu jam menunjukkan waktu pulang, Raisa segera mengambil tasnya dan berjalan keluar dengan langkah penuh tekad. Di parkiran, ia berdiri di samping mobilnya, menunggu Reyhan. Kali ini, ia tidak akan menerima penolakan begitu saja.Malam ini, ia ingin memperkenalkan Reyhan pada keluarganya, sebuah langkah besar yang menurutnya sudah seharusnya dilakukan.Saat akhirnya Reyhan keluar dari gedung, Raisa langsung menghampirinya dengan senyum yang lebar. "Kamu lama sekali," keluhnya sambil menyentuh lengan Reyhan. "Ayo pulang bareng. Malam ini, aku ingin kamu bertemu keluargaku."Reyhan berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. "Malam ini?""Iya," jawab Raisa mantap. "Aku sudah bilang ke Mama dan Papa. Mereka i
Naira melangkah anggun di samping Arga, meninggalkan parkiran dengan senyum puas yang masih menghiasi wajahnya.Ia bisa merasakan tatapan tajam Raisa yang penuh amarah menusuk punggungnya, tapi itu justru membuatnya semakin menikmati situasi.Malam itu, mereka tiba di rumah mereka. Interior hangat dan aroma teh melati yang diseduh Arga memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang jauh berbeda dari masa lalunya yang kelam.Arga menarik Naira ke dalam pelukannya saat mereka duduk di sofa, membiarkan wanita itu bersandar nyaman di dadanya. Jari-jarinya mengusap pelan rambut panjang Naira, seolah ingin memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, bersamanya."Sepertinya kamu benar-benar menikmati momen tadi," gumam Arga sambil mencium puncak kepala Naira.Naira tersenyum tipis, menatap cangkir teh di tangannya. "Aku hanya menikmati tontonan gratis. Siapa sangka Raisa yang selalu terlihat anggun dan sempurna itu bisa kehilangan kendali di depan umum?"Arga menggelengkan kepala, menatapnya den
Raisa masih terpaku di tempatnya. Ucapan Naira terus terngiang di kepalanya, seperti bisikan setan yang mencoba meruntuhkan kepercayaannya pada Reyhan.Apa benar Reyhan masih menyimpan sesuatu? Apa benar ada celah dalam hubungan mereka?Tidak. Raisa menepis pikiran itu. Ia tidak akan membiarkan Naira mengendalikan emosinya.Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Reyhan. Berdering lama, hingga akhirnya panggilan itu diangkat."Halo?" Suara Reyhan terdengar sedikit berat, seolah ia baru saja bangun dari tidur yang tidak nyenyak."Reyhan, kita harus bicara." Nada suara Raisa terdengar tegas, hampir seperti perintah.Reyhan menghela napas. "Raisa, aku tidak masuk kerja hari ini. Bisa kita bicara nanti?""Justru karena kau tidak masuk kerja, aku ingin bertemu sekarang." Raisa tak memberi ruang untuk penolakan. "Kita butuh kepastian, Rey. Aku butuh kepastian."Ada keheningan di seberang, sebelum akhirnya Reyhan menjawab, "Baiklah. Kita bertemu di tempat biasa."Tak lama kemudian,
Saat memasuki kantornya pagi itu, Naira tanpa sengaja mendengar beberapa karyawan bergosip tentang pertunangan Reyhan dan Raisa yang akan segera diumumkan.Wajahnya tetap tenang, tetapi dalam hati ia merasa geli. Ia segera menelepon Arga dan memintanya mengatur pertemuan dengan ayah dan ibu Raisa.Beberapa hari kemudian, di ruang pertemuan eksklusif hotel berbintang, Naira duduk tenang dengan Arga di sisinya. Di depan mereka, Pak Alfian, ayah Raisa, menatap gugup dan Bu Ratna, ibu Raisa yang tidak tenang.Bagaimana pun mereka merasa sangat terhormat karena mendapat undangan langsung dari keluarga Wijaya.Naira dengan suara lembut namun penuh ketegasan, ia mulai membuka pembicaraan. "Saya ingin memberi tahu sesuatu yang sangat penting. Kalian harus tahu betapa kejamnya keluarga Reyhan, kekasih Putri kalian."Pak Alfian menatap Naira dengan ekspresi tenang namun penuh kehati-hatian. "Saya menghargai niat Anda untuk berbicara dengan kami, Bu Naira. Namun, apa yang membuat Anda berpikir b
Setelah menerima undangan pertunangan Raisa dan Reyhan malam harinya, Naira dan Arga bersiap dengan tenang namun penuh perhitungan.Naira mengenakan gaun hitam elegan dengan aksen emas, mencerminkan aura kekuatan dan keanggunan. Arga, di sisi lain, tampil gagah dalam setelan hitam yang rapi.Saat Naira bercermin, ia tersenyum samar. "Kau yakin ini akan berjalan sesuai rencana?"Arga merapikan dasinya dan menatap istrinya melalui pantulan cermin. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini."Mobil mereka melaju menuju venue acara, sebuah ballroom hotel ternama yang sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elite bisnis dan sosial.Dari luar, suasana tampak begitu megah dan penuh kemewahan, seolah segalanya telah diatur dengan sempurna.Di balik keteguhannya, hati Naira terasa semakin berat. Melihat persiapan megah pertunangan ini, ia tak bisa menahan kesedihannya.Arga, yang menyadari perubahan raut wajah istrinya, menoleh dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kau baik-baik saja?" tanya
Malam ini seharusnya menjadi momen perayaan, namun yang terjadi justru sebaliknya suasana penuh ketegangan, seolah badai besar siap menghancurkan segalanya.Di tengah ballroom, Naira berdiri tegap. Sorot matanya tajam, tapi ekspresinya tetap tenang.Naira menghela napas, tak terkejut dengan tuduhan itu. "Bu Maya, yang menghancurkan pertunangan ini bukan aku. Semua bukti sudah jelas, dan itu adalah perbuatan Reyhan sendiri."Bu Maya membanting tasnya ke meja dengan wajah merah padam. "Omong kosong! Aku tahu betul anakku! Reyhan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!"Arga menatapnya tajam, suaranya dingin. "Ibu sebaiknya berhati-hati. Reyhan bukan korban, dia pelakunya. Dan aku tidak akan mempertahankan pegawai yang tak punya integritas."Mata Bu Maya membelalak. "Apa maksudmu?!"Arga menatap Reyhan dengan penuh kekecewaan. "Mulai besok, Reyhan tidak lagi bekerja di perusahaanku."Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada Reyhan, yang tampak pucat. Ia tertegun sebelum akhirnya mel
Reyhan melangkah gontai memasuki rumahnya yang gelap dan sunyi. Tidak ada suara, tidak ada sambutan.Dia menghela napas berat, melempar jasnya ke sofa, lalu duduk dengan wajah muram. Hari ini adalah salah satu hari terburuk dalam hidupnya.Dihina di depan seluruh kantor, dipermalukan oleh Naira, dan sekarang, pulang ke rumah yang terasa lebih dingin dari biasanya.Sementara itu, di sisi lain kota, Naira baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kantor.Namun, langkahnya terhenti saat mendapati dua tamu tak diundang berdiri di depan pintu rumahnya.Bu Maya dan Lila berdiri di depan pintu dengan ekspresi keras. Para pelayan sudah mencoba melarang mereka masuk, tetapi mereka bersikeras menunggu, bahkan mengancam akan membuat keributan jika tidak diizinkan bertemu dengan Naira.Naira mengerutkan kening. Dia tidak menyangka mereka akan muncul di sini dengan begitu nekat."Ada keperluan apa datang ke rumahku?" tanya Naira dengan nada dingin, enggan menunjukkan ketidaknyamananny
Malam itu, setelah kejadian penuh ketegangan dengan Bu Maya dan Lila, Naira duduk di sofa panjang dengan tatapan kosong.Tangannya memegang cangkir teh yang sudah mulai dingin, tapi pikirannya jauh melayang.Di luar, hujan mulai turun, rintik-rintiknya mengetuk jendela dengan irama menenangkan.Namun, ketenangan itu tidak mencerminkan apa yang dirasakan Naira saat ini. Ia memejamkan mata sejenak, mengatur napasnya yang terasa berat.Ponselnya bergetar di meja. Nama Reyhan muncul di layar. Ia mengangkatnya perlahan, membiarkan keheningan menyergap sebelum akhirnya berbicara."Akhirnya kau menelepon," ucapnya dengan nada yang sedingin es.Di seberang sana, suara Reyhan terdengar lelah, penuh frustrasi. "Naira, kita harus bicara.""Tidak ada yang perlu dibicarakan," potong Naira. "Aku sudah memberimu cukup waktu untuk menjelaskan dirimu sendiri. Sekarang, aku hanya menikmati melihat keluargamu mendapatkan balasan yang pantas."Reyhan menghela napas berat. "Aku tahu kau marah. Aku mengerti
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le
Rumah Sakit – Malam HariLampu lorong rumah sakit mulai diredupkan. Hanya lampu dinding yang menyala samar, menciptakan suasana sunyi dan mencekam.Para perawat mulai bergantian berjaga. Di ruang rawat VIP, Naira masih terbaring lemah, tak menunjukkan tanda-tanda sadar.Arga sedang pulang sebentar ke rumah atas desakan Pak Pratama untuk mandi dan beristirahat sejenak. Ia enggan, tapi akhirnya menurut. Tak sampai dua jam.Di saat yang sama, seseorang masuk ke area rumah sakit dengan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker.Reyhan.Ia menyelinap lewat lorong belakang, mengenal betul tata letak rumah sakit dari zaman ia masih menjadi suami Naira. Ia berjalan cepat, menunduk setiap kali ada perawat lewat.Sampai akhirnya… ia tiba di depan pintu kamar Naira.Perlahan, ia membuka pintunya.Ceklek.Lampu ruangan redup. Naira masih dalam posisi yang sama, matanya tertutup rapat, wajahnya tenang namun memucat.Reyhan melangkah pelan mendekati ranjang. Nafasnya memburu pelan. Matanya menatap Nai
Ruang Bawah Tanah – Safehouse Wijaya GroupRaisa duduk bersandar di dinding besi dingin, tangan terikat ke belakang. Wajahnya sudah penuh luka mata kanan membiru, bibir pecah.Tapi sorot matanya masih tajam, seperti ular yang belum puas menggigit.Dion di kursi baja, tangan dan kakinya diborgol rapat, wajah pucat pasi. Ia tak berhenti berkeringat, tubuhnya gemetar menahan sakit setelah interogasi ringan dari anak buah Bima.Pintu baja terbuka dengan dentuman keras.Langkah berat terdengar, lalu muncul siluet Arga. Tubuhnya masih mengenakan kemeja berdarah, mata merah menyala seperti binatang buas.Tak ada senyum. Tak ada kata-kata pembuka. Hanya satu hal yang tampak jelas: dendam.Tanpa aba-aba, Arga menarik rambut Dion kasar dan menghantamkan kepalanya ke meja baja.Bunyi retakan terdengar, darah langsung mengalir dari pelipis Dion yang menjerit kesakitan.“Aaarrgh—!”Arga mencengkram dagunya, memaksanya menatap mata merahnya.“Kenapa kalian ganggu istriku?” katanya pelan. Tapi nada
Senin pagi, pukul 08.05Langit Jakarta masih mendung, seolah mencerminkan kabut tebal yang perlahan menutup kehidupan Naira.Di ruang rapat lantai 17, suasana mencekam.Laporan keamanan di meja membuat kepala bagian IT dan tim keamanan gelisah. Ada indikasi kuat bahwa sistem internal mereka sempat disusupi dari luar jejak IP anonim yang berhasil menembus firewall selama tiga menit dua hari lalu.Arga berdiri di depan layar, wajahnya gelap. Di sampingnya, Naira duduk dengan tatapan tajam."Kalau benar sistem kita bisa ditembus segampang ini, maka semua data klien dan proyek rahasia kita dalam bahaya," ucap Arga, nada suaranya tegas."Dan kalau penyusupan ini ada hubungannya dengan kaburnya Raisa... maka kita sedang diawasi," tambah Naira, suaranya lebih pelan, tapi sama menusuk.Seorang staf IT yang baru direkrut beberapa minggu lalu tampak gugup. Ia menunduk, mengetik cepat untuk memeriksa ulang log.Tapi tidak ada yang tahu bahwa anak muda itu Vino, lulusan teknik komputer jenius ada
Malam hari, dua minggu setelah kaburnya Raisa.Rumah Naira dan Arga kini dijaga ketat oleh satuan keamanan pribadi yang disewa langsung oleh Arga dari unit elite. CCTV terpasang di setiap sudut, gerbang dilengkapi sistem sidik jari, dan para penjaga bergantian patroli sepanjang malam.Namun, bahaya tidak selalu datang dari luar.Di ruang kerja Naira, layar laptopnya menyala dengan presentasi rapat yang belum selesai ia siapkan. Tapi perhatiannya terganggu oleh bunyi notifikasi email yang muncul di sudut kanan bawah layar.[Pengirim Tidak Dikenal: Aku lihat kamu masih suka warna biru, Na.]Naira mengerutkan kening. Ia menekan tombol enter dan membuka pesan itu. Hanya ada satu foto di dalamnya dari kejauhan, tampak dirinya pagi tadi saat turun dari mobil, mengenakan blazer biru muda, berdiri di depan kantor sambil memegang map.Itu bukan foto dari media sosial. Sudut pengambilannya terlalu privat. Terlalu dekat. Terlalu nyata.Naira langsung menutup laptop dan memanggil Arga, yang baru
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam