Bab 12

Tiga hari kemudian, dalam acara makan malam karyawan kantor setelah kampanye fashion sukses besar, Naira sengaja menghampiri Raisa saat mereka sedang berdua di balkon, dengan segelas wine di tangannya.

“Kau tahu, Raisa… Reyhan mungkin menceraikan aku demi dirimu, tapi kau yakin dia benar-benar melupakanku?” Naira menyesap anggurnya, tersenyum tipis. “Ironis, ya? Kita dipertemukan lagi seperti ini.”

Raisa mendesis kesal, rahangnya mengencang. “Apa yang kau inginkan, Naira?” suaranya tajam, sarat dengan kekesalan.

Naira tersenyum licik. "Dia tetap pria yang sama Raisa, pria yang penuh kebimbangan dan lari saat keadaan sulit. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan menunggumu kembali dari luar negeri, bukan menikahiku. Tapi dia tidak menunggumu, kan? Dia memilih aku, berbagi hidup denganku. Kau hanya pelarian, seseorang yang kebetulan ada di saat yang tepat."

Raisa menatap Naira tajam. Napasnya mulai tidak beraturan, tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya.

"Aku tidak percaya, Naira," kata Raisa dingin. "Kau sudah menikah dengan Pak Arga, tapi masih saja belum puas dan ingin mengusik hidup Reyhan lagi."

Naira terkekeh sinis, matanya berkilat tajam. "Raisa, kau pikir kau menang? Jika Reyhan benar-benar mencintaimu, buktikan." Ia menyesap winenya perlahan, lalu berbalik dengan senyum dingin, meninggalkan Raisa yang mendidih dalam diam.

Mereka turun ke tengah pesta, di mana musik mengalun lembut di antara tawa dan obrolan para tamu. Raisa berusaha mengabaikan Naira, namun ia tahu perempuan itu tak akan berhenti begitu saja.

Benar saja, saat mereka berjalan berdekatan, Naira sengaja menyenggol tangan Raisa hingga wine merah dalam gelasnya tumpah. Cairan pekat itu membasahi gaun putih elegan yang dikenakan Naira, menciptakan noda mencolok yang segera menarik perhatian banyak orang.

Sejenak suasana hening, lalu terdengar beberapa karyawan yang mulai berbisik-bisik. Naira menatap noda di gaunnya dengan ekspresi keterkejutan yang dibuat-buat. "Raisa! Apa-apaan ini?" suaranya lantang, memastikan semua mata tertuju pada mereka.

Raisa terkejut, refleks mundur selangkah. "Aku tidak sengaja Bu," ucapnya, berusaha tetap tenang meskipun ia bisa merasakan tatapan menghakimi dari orang-orang di sekitarnya.

Naira menghela napas dramatis. "Aku tahu kau membenciku karena menyulitkanmu, tapi ini? Kau benar-benar keterlaluan," lirihnya, seolah berusaha menahan air mata.

Reyhan yang sejak tadi tak jauh dari sana langsung menghampiri mereka. Tatapannya dingin dan penuh kekecewaan saat menatap Raisa. "Raisa, kau seharusnya lebih berhati-hati!" ucapnya tajam.

Raisa membeku. Luka kecil dari cengkeraman gelas di tangannya mulai mengeluarkan darah, tetapi tidak ada yang percaya. Bahkan Reyhan. Ia hanya melihat Naira, bukan dirinya.

Tanpa pikir panjang, Reyhan melepas jasnya dan menyampirkannya di bahu Naira. "Kau baik-baik saja Bu Naira?" suaranya lembut.

Naira menunduk, seolah tersentuh oleh sikap Reyhan. Namun sebelum sandiwara ini semakin dalam, langkah tenang Pak Arga terdengar mendekat. Dengan tatapan tajam, ia meraih jas Reyhan dari bahu Naira dan menariknya lepas.

"Tak perlu repot-repot, Reyhan," suaranya dalam dan berwibawa. Ia kemudian membuka jasnya sendiri dan menyampirkannya di bahu Naira. "Istriku lebih baik mengenakan jas milikku."

Arga menepuk ringan bahu Naira, menatapnya dengan khawatir. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas. Naira mengangguk kecil, menampilkan senyum tipis yang hampir tidak meyakinkan.

Setelah menjawab suaminya, Naira menatap para karyawan dengan senyum hangat. "Acara ini masih panjang, jangan biarkan hal kecil merusak suasana. Nikmati pesta kalian."

Para karyawan saling berpandangan, lalu tersenyum dan mengangguk. Seorang dari mereka mengangkat gelasnya, disusul yang lain, hingga tawa dan obrolan kembali mengalir. Musik kembali terdengar, mengisi ruangan dengan suasana yang lebih ringan.

Sementara itu, Arga melingkarkan satu tangan di pinggang Naira, membimbingnya menjauh. Langkah mereka mantap menuju pintu keluar, menandakan akhir kehadiran mereka dalam pesta. 

Namun, sebelum benar-benar pergi, tatapan Arga jatuh pada Raisa dingin dan penuh ancaman, seolah menyampaikan peringatan tanpa kata-kata.

Begitu Bos mereka pergi,  suasana mulai kembali normal, namun Raisa belum sempat menarik napas lega ketika suara dingin Reyhan menyapanya. “Aku sudah memperingatkanmu, Raisa,” ucapnya, nada suaranya penuh kekecewaan. “Aku bilang jangan macam-macam dengan Naira.”

Raisa menoleh, matanya berkilat marah. "Aku tidak sengaja! Justru Naira yang sengaja menabrakku, Rey."

Namun pria itu menggeleng, ekspresi sinis menghiasi wajahnya. “Jangan berbohong, Raisa. Naira tidak mungkin memakai trik murahan seperti itu. Dia bukan tipe orang yang mencari perhatian dengan menjebak orang lain.”

Raisa menahan napasnya, tidak percaya dengan kata-kata Reyhan. “Kau benar-benar mempercayai setiap kata-katanya?” desisnya, menatapnya dengan rasa sakit yang mulai menggerogoti dadanya. “Sekalipun itu berarti kau meragukan aku?”

Namun, alih-alih menjawab, Reyhan hanya menghela napas panjang dan menggeleng pelan. “Nikmati saja pesta ini, Raisa, dan renungkan kesalahanmu,” ucapnya dingin. “Aku akan mengantarmu pulang nanti.”

Sementara itu, di dalam mobil, Arga menghela napas panjang, menatap lurus ke depan dengan kesal. Sesekali ia melirik gaun Naira yang ternoda wine, hadiah darinya yang kini rusak akibat sandiwara istrinya sendiri.

“Kau sengaja, bukan?” tanyanya dingin tanpa menoleh.

Naira tersenyum tipis, lalu mendekat dan mencium pipi suaminya dengan lembut. “Jangan marah, Sayang. Ini hanya bagian kecil dari rencana yang lebih besar,” bisiknya manja. “Lagipula, lihatlah bagaimana Reyhan dan Raisa sekarang… mereka semakin berjarak.”

Arga tertegun sejenak. Ini pertama kalinya Naira memanggilnya "Sayang" dan mencium pipinya ketika hanya berdua. Pipinya sedikit memanas, namun ia cepat menguasai diri.

Sentuhan Naira sedikit melunturkan kemarahannya. Ia tetap diam, sementara Naira menyandarkan kepala di bahunya dengan senyum puas di wajahnya.