Rumah minimalis dua lantai itu berdiri megah dengan desain modern, namun di dalamnya, hanya kesunyian yang tersisa. Dulu, setiap pagi Reyhan terbangun oleh langkah Naira di dapur, aroma kopi yang menguar, dan suara lembutnya membangunkannya.Kini, ia terbangun hanya oleh dering alarm. Tak ada suara, tak ada kehangatan hanya kamar yang dingin dan kosong. Meja makan pun sunyi, menyisakan kesendirian yang menyesakkan.Reyhan duduk di kursi Naira, mencoba membaca koran, tapi pikirannya melayang. Ia melirik ke dapur, berharap mendengar suara familiar, namun hanya kesunyian yang menyambutnya.Bu Maya dan Lila terlihat di dapur, sibuk menyiapkan sarapan. Namun, ketika Reyhan mencicipi makanan di piringnya, rasanya hambar jauh dari rasa yang dulu ia abaikan ketika masih ada Naira.Ia menghela napas panjang, baru menyadari betapa terbiasanya ia dengan kehadiran Naira. Kopi buatan Naira selalu pas tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis. Sekarang, ia harus membuatnya sendiri atau meminta ibu a
Setelah Raisa pergi, Reyhan masih terduduk di kursinya, menatap kosong pada layar laptop yang terbuka di depannya. Pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan terbengkalai, pikirannya tak bisa lepas dari kata-kata Raisa."Jika kamu ingin bersamaku, aku ingin kamu hanya membelaku."Kalimat itu terus berulang di kepalanya, semakin membebani pikirannya. Dulu, ia yakin hanya Raisa yang ia inginkan, tetapi semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin kuat bayangan Naira menghantuinya.Bayangan Naira yang berdiri di dapur dengan apron, sibuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi favoritnya yang selalu pas di lidahnya. Suara lembut yang membangunkannya setiap pagi dengan panggilan penuh kasih.Sekarang, semua itu hanya menjadi kenangan yang membebaninya.Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja, menariknya kembali ke dunia nyata.Arga menelepon.Alis Reyhan berkerut. Bosnya jarang sekali menelepon langsung biasanya meminta orang lain mencarinya, kecuali ada hal penting. Ia ragu sejenak sebelum akhirny
Menjelang jam pulang kerja, Raisa duduk gelisah di kursinya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme tak beraturan.Sejak pertemuannya dengan Naira tadi siang, pikirannya tak bisa tenang. Kata-kata wanita itu menusuk harga dirinya, membuatnya merasa harus bertindak cepat.Begitu jam menunjukkan waktu pulang, Raisa segera mengambil tasnya dan berjalan keluar dengan langkah penuh tekad. Di parkiran, ia berdiri di samping mobilnya, menunggu Reyhan. Kali ini, ia tidak akan menerima penolakan begitu saja.Malam ini, ia ingin memperkenalkan Reyhan pada keluarganya, sebuah langkah besar yang menurutnya sudah seharusnya dilakukan.Saat akhirnya Reyhan keluar dari gedung, Raisa langsung menghampirinya dengan senyum yang lebar. "Kamu lama sekali," keluhnya sambil menyentuh lengan Reyhan. "Ayo pulang bareng. Malam ini, aku ingin kamu bertemu keluargaku."Reyhan berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. "Malam ini?""Iya," jawab Raisa mantap. "Aku sudah bilang ke Mama dan Papa. Mereka i
Naira melangkah anggun di samping Arga, meninggalkan parkiran dengan senyum puas yang masih menghiasi wajahnya.Ia bisa merasakan tatapan tajam Raisa yang penuh amarah menusuk punggungnya, tapi itu justru membuatnya semakin menikmati situasi.Malam itu, mereka tiba di rumah mereka. Interior hangat dan aroma teh melati yang diseduh Arga memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang jauh berbeda dari masa lalunya yang kelam.Arga menarik Naira ke dalam pelukannya saat mereka duduk di sofa, membiarkan wanita itu bersandar nyaman di dadanya. Jari-jarinya mengusap pelan rambut panjang Naira, seolah ingin memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, bersamanya."Sepertinya kamu benar-benar menikmati momen tadi," gumam Arga sambil mencium puncak kepala Naira.Naira tersenyum tipis, menatap cangkir teh di tangannya. "Aku hanya menikmati tontonan gratis. Siapa sangka Raisa yang selalu terlihat anggun dan sempurna itu bisa kehilangan kendali di depan umum?"Arga menggelengkan kepala, menatapnya den
Raisa masih terpaku di tempatnya. Ucapan Naira terus terngiang di kepalanya, seperti bisikan setan yang mencoba meruntuhkan kepercayaannya pada Reyhan.Apa benar Reyhan masih menyimpan sesuatu? Apa benar ada celah dalam hubungan mereka?Tidak. Raisa menepis pikiran itu. Ia tidak akan membiarkan Naira mengendalikan emosinya.Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Reyhan. Berdering lama, hingga akhirnya panggilan itu diangkat."Halo?" Suara Reyhan terdengar sedikit berat, seolah ia baru saja bangun dari tidur yang tidak nyenyak."Reyhan, kita harus bicara." Nada suara Raisa terdengar tegas, hampir seperti perintah.Reyhan menghela napas. "Raisa, aku tidak masuk kerja hari ini. Bisa kita bicara nanti?""Justru karena kau tidak masuk kerja, aku ingin bertemu sekarang." Raisa tak memberi ruang untuk penolakan. "Kita butuh kepastian, Rey. Aku butuh kepastian."Ada keheningan di seberang, sebelum akhirnya Reyhan menjawab, "Baiklah. Kita bertemu di tempat biasa."Tak lama kemudian,
Saat memasuki kantornya pagi itu, Naira tanpa sengaja mendengar beberapa karyawan bergosip tentang pertunangan Reyhan dan Raisa yang akan segera diumumkan.Wajahnya tetap tenang, tetapi dalam hati ia merasa geli. Ia segera menelepon Arga dan memintanya mengatur pertemuan dengan ayah dan ibu Raisa.Beberapa hari kemudian, di ruang pertemuan eksklusif hotel berbintang, Naira duduk tenang dengan Arga di sisinya. Di depan mereka, Pak Alfian, ayah Raisa, menatap gugup dan Bu Ratna, ibu Raisa yang tidak tenang.Bagaimana pun mereka merasa sangat terhormat karena mendapat undangan langsung dari keluarga Wijaya.Naira dengan suara lembut namun penuh ketegasan, ia mulai membuka pembicaraan. "Saya ingin memberi tahu sesuatu yang sangat penting. Kalian harus tahu betapa kejamnya keluarga Reyhan, kekasih Putri kalian."Pak Alfian menatap Naira dengan ekspresi tenang namun penuh kehati-hatian. "Saya menghargai niat Anda untuk berbicara dengan kami, Bu Naira. Namun, apa yang membuat Anda berpikir b
Setelah menerima undangan pertunangan Raisa dan Reyhan malam harinya, Naira dan Arga bersiap dengan tenang namun penuh perhitungan.Naira mengenakan gaun hitam elegan dengan aksen emas, mencerminkan aura kekuatan dan keanggunan. Arga, di sisi lain, tampil gagah dalam setelan hitam yang rapi.Saat Naira bercermin, ia tersenyum samar. "Kau yakin ini akan berjalan sesuai rencana?"Arga merapikan dasinya dan menatap istrinya melalui pantulan cermin. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini."Mobil mereka melaju menuju venue acara, sebuah ballroom hotel ternama yang sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan elite bisnis dan sosial.Dari luar, suasana tampak begitu megah dan penuh kemewahan, seolah segalanya telah diatur dengan sempurna.Di balik keteguhannya, hati Naira terasa semakin berat. Melihat persiapan megah pertunangan ini, ia tak bisa menahan kesedihannya.Arga, yang menyadari perubahan raut wajah istrinya, menoleh dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kau baik-baik saja?" tanya
Malam ini seharusnya menjadi momen perayaan, namun yang terjadi justru sebaliknya suasana penuh ketegangan, seolah badai besar siap menghancurkan segalanya.Di tengah ballroom, Naira berdiri tegap. Sorot matanya tajam, tapi ekspresinya tetap tenang.Naira menghela napas, tak terkejut dengan tuduhan itu. "Bu Maya, yang menghancurkan pertunangan ini bukan aku. Semua bukti sudah jelas, dan itu adalah perbuatan Reyhan sendiri."Bu Maya membanting tasnya ke meja dengan wajah merah padam. "Omong kosong! Aku tahu betul anakku! Reyhan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!"Arga menatapnya tajam, suaranya dingin. "Ibu sebaiknya berhati-hati. Reyhan bukan korban, dia pelakunya. Dan aku tidak akan mempertahankan pegawai yang tak punya integritas."Mata Bu Maya membelalak. "Apa maksudmu?!"Arga menatap Reyhan dengan penuh kekecewaan. "Mulai besok, Reyhan tidak lagi bekerja di perusahaanku."Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada Reyhan, yang tampak pucat. Ia tertegun sebelum akhirnya mel
Suasana kantor masih terasa sibuk saat Naira melangkah keluar dari ruangannya. Sudah sore, tetapi karena kejar target, banyak karyawan masih lembur, termasuk Arga yang masih fokus di ruangannya.Sebelumnya, Arga sempat menawarkan diri untuk mengantarnya pulang."Aku bisa mengantarmu, sayang. Hari ini kau terlihat lebih lelah dari biasanya," katanya dengan nada penuh perhatian.Namun, Naira tersenyum kecil dan menggeleng. "Tidak perlu, aku bisa sendiri. Lagipula, aku sudah berjanji dengan ibu untuk pergi ke salon bersama."Arga menghela napas sebelum mengangguk. "Baiklah, kalau begitu hati-hati. Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai."Naira tersenyum, lalu melangkah mendekat dan memeluk suaminya erat. "Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir."Arga mengecup puncak kepalanya dengan lembut. "Tetap hati-hati, sayang."Di rumah, Naira mengambil tasnya dan bersiap pergi. Sebelum keluar dari pintu, ia menoleh ke arah Arga yang masih berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan cemas.Ia k
Pagi itu, suasana kantor dipenuhi kesibukan seperti biasa. Namun, bagi Reyhan, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.Kepalanya masih dipenuhi oleh masalah dengan Raisa dan tuntutan pernikahan yang terus menghantuinya.Saat ia melangkah masuk ke ruangannya, matanya langsung menangkap sosok Naira yang baru saja hendak keluar dari ruangan.Namun, begitu melihat Reyhan, Naira dengan cepat menghindar, berpura-pura sibuk dengan berkas di tangannya.Reyhan mengerutkan kening. "Naira."Naira berhenti sejenak, namun tidak menoleh. "Aku sedang sibuk, Reyhan. Kita tidak perlu bicara."Reyhan menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, namun Naira justru semakin menjauh, seolah enggan berada di dekatnya lebih lama."Kau menghindariku?" tanya Reyhan dengan nada datar, namun matanya menelisik tajam.Naira tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Aku hanya tidak punya waktu untuk membicarakan hal yang tidak penting.""Aku baru saja kemarin mendatangi rumahmu," kata Reyhan, suaranya lebih rendah
Reyhan menatap Bu Ratna dan Pak Alfian dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada amarah, frustasi, dan kepasrahan dalam satu waktu.Pernikahan? Dengan Raisa? Semua ini terasa seperti jebakan yang sudah dirancang matang, seolah mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjebaknya sepenuhnya.“Aku butuh waktu,” akhirnya Reyhan berkata, suaranya serak dan berat.“Tapi Reyhan—” Raisa mencoba berbicara, namun ia terdiam ketika melihat tatapan dingin yang diberikan Reyhan padanya.“Jangan paksa aku mengambil keputusan sekarang.” Ia mengalihkan pandangannya ke arah Bu Ratna dan Pak Alfian. “Aku akan bertanggung jawab atas anak ini, tapi pernikahan bukan sesuatu yang bisa diputuskan dalam satu malam.”Bu Ratna hendak membantah, tetapi Pak Alfian menepuk tangannya pelan, memberi isyarat agar diam. “Baiklah, Reyhan. Kami akan memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama. Anak ini membutuhkan kepastian.”Reyhan tidak menjawab. Ia hanya menatap Raisa sejenak sebelum berbalik dan melangkah keluar d
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira yang kini tertutup rapat, seperti tembok yang tak mungkin ia tembus lagi.Jemarinya masih menggenggam erat gelang kecil itu, seakan bisa menghidupkan kembali waktu yang telah hilang. Tapi tidak. Waktu tak akan pernah bisa diputar kembali.Dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena kata-kata tajam Naira, tetapi juga karena kenyataan yang harus ia hadapi.Wanita yang dulu begitu mencintainya, kini bahkan tak lagi ingin melihatnya. Wanita yang pernah ia abaikan, kini membalasnya dengan tatapan dingin yang menusuk.Dan ironisnya, di saat ia baru menyadari betapa berharganya Naira, semuanya telah terlambat.Dari balik jendela, Naira berdiri diam, menyaksikan sosok Reyhan yang mulai melangkah pergi.Ia seharusnya merasa puas, seharusnya merasa menang karena bisa melihat pria itu merasakan kepedihan yang dulu pernah ia rasakan.Tapi mengapa ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa begitu sakit? Jemarinya menggenggam kerah gaunnya, berusaha menahan s
Reyhan berdiri di depan pintu apartemen Naira, dadanya naik turun dengan napas yang tertahan.Tangannya terangkat, ragu-ragu sebelum akhirnya mengetuk. Tiga ketukan pelan namun penuh harap. Hening. Tidak ada jawaban.Ia menelan ludah, lalu mengetuk lagi. Kali ini lebih keras. Jantungnya berdetak lebih cepat saat langkah kaki terdengar dari dalam.Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang selama ini menghantuinya dalam setiap mimpi buruk dan penyesalan.Naira.Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang dingin dan datar, seolah kehadirannya bukanlah sesuatu yang berarti.Rambut panjangnya tergerai rapi, wajahnya cantik seperti yang selalu Reyhan ingat, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Mata itu, mata yang dulu penuh cinta saat menatapnya, kini hanya dipenuhi dengan sesuatu yang jauh lebih tajam. Jauh lebih berbahaya.Reyhan merasa dadanya sesak."Ada apa?" suara Naira terdengar tenang, hampir terlalu tenang, seolah ia tidak terganggu sedikit pun denga
Raisa duduk di depan layar laptopnya, matanya memandang kosong pada layar yang menampilkan satu lagi email penolakan.Tangannya mengepal erat, wajahnya memerah karena frustrasi. Sudah lebih dari dua puluh perusahaan yang ia lamar, namun semuanya menolak tanpa memberikan alasan yang jelas."Ini pasti ulah Arga!" desisnya marah, suaranya penuh kebencian.Ayahnya, Pak Alfian, berdiri di belakangnya dengan wajah keruh. Sebagai seorang pengusaha senior, ia masih memiliki pengaruh.Namun setiap kali ia mencoba menghubungi kenalan bisnisnya untuk membantu Raisa mendapatkan pekerjaan, mereka selalu menolak secara halus atau bahkan langsung memutuskan komunikasi, seolah takut hanya dengan menyebut nama keluarganya."Aku tidak mengerti, Raisa," kata Pak Alfian, suaranya berat dan penuh ketakutan. "Bahkan perusahaan-perusahaan yang berutang budi padaku pun menolak membantumu. Ini... ini bukan kebetulan." Raisa menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram ujung meja hingga buku-buku jarinya memu
Malam itu, di kamar mereka yang remang-remang dengan pencahayaan hangat, Arga menatap Naira yang tengah bersandar di dadanya.Jemarinya dengan lembut memainkan rambut istrinya, sementara pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari itu."Jadi, apa rencanamu selanjutnya setelah Raisa dipecat?" Arga bertanya dengan suara rendah, matanya penuh perhatian menatap wajah Naira.Naira tersenyum tipis, sorot matanya penuh tekad. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, pekerjaan, reputasi, dan setiap peluang di dunia bisnis. Biarkan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rencanakan untukku."Arga mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan tajam di matanya. "Aku bisa mengurus itu. Aku akan menghubungi beberapa koneksi dan memastikan tidak ada satu pun perusahaan besar yang mau menerimanya."Naira mengangkat wajahnya, menatap Arga penuh cinta. "Terima kasih, sayang. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."Arga mengusap pipi istrinya dengan lembut, menatapnya dengan sorot mata t
Naira masih berbaring di sofa, merasakan kehangatan genggaman tangan Arga. Meski tubuhnya lelah, hatinya terasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.Arga duduk di sampingnya, jemarinya mengusap lembut punggung tangannya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.Naira mengangguk pelan. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat. Terima kasih karena selalu ada untukku."Arga tersenyum, lalu menghela napas panjang. "Aku sudah memecat Raisa. Dia tidak akan mengganggumu lagi. Kau tidak perlu khawatir tentangnya."Naira terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Terima kasih, Arga. Aku tidak ingin hal ini berlarut-larut."Arga menatapnya dengan penuh kelembutan. "Kau sudah bekerja terlalu keras. Aku ingin kau pulang lebih awal hari ini dan beristirahat dengan baik. Aku akan mengurus semua urusan di kantor."Naira tersenyum kecil, merasa lega karena Arga begitu memperhatikannya. "Baiklah, aku akan pulang lebih awal."Arga mengusap pipinya perlahan. "Aku akan mengantarmu s
Setelah suasana ruangan kembali tenang, Alidya menoleh ke arah Naira. Sorot matanya yang tajam kini melunak, menyiratkan perasaan bersalah yang mendalam.Dengan langkah mantap, ia mendekati wanita yang selama ini ia hormati, membawa serta rasa sesal yang begitu mendalam."Guru..." suara Alidya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Lalu, dengan penuh penyesalan, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Saya meminta maaf atas semua masalah yang telah terjadi. Saya seharusnya lebih cepat datang dan tidak membiarkan nama Anda dihina seperti ini."Naira terdiam sejenak, menatap muridnya yang kini menunjukkan ketulusan. Ia bisa melihat bahwa Alidya benar-benar merasa bersalah atas kejadian ini. Dengan senyum tipis, Naira menghela napas pelan."Alidya," panggilnya lembut, "kesetiaanmu sudah cukup menunjukkan siapa dirimu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Yang penting, kau sudah bertindak dengan benar pada akhirnya."Mata Alidya berkaca-kaca, lalu mengangguk tegas. "Terima kasih, Gur