Bab 10

Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.

Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."

Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.

Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.

Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.

Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus menyesuaikan konsep tanpa mengorbankan estetika khas perusahaan.

Di ruang desain, Raisa melempar pensilnya dengan kesal. "Ini gila! Bagaimana mungkin kita mengubah seluruh konsep dalam waktu sependek ini?"

Reyhan menghela napas panjang, menekan emosinya. Matanya tetap tertuju pada sketsa di hadapannya. "Mau tidak mau, kita harus lakukan. Ini instruksi langsung dari Wakil Direktur Utama. Kita tidak punya pilihan."

"Sejak kapan kau begitu formal padanya?" gumam Raisa dengan nada sinis tapi lirih setengah berbisik. "Kau tidak merasa ini semua hanya bagian dari rencana liciknya untuk menyulitkan kita? Aku yakin dia sengaja membuat kita kewalahan."

Beberapa karyawan lain memperhatikan, bertukar pandang tanpa berani ikut campur. Namun, ketegangan jelas terasa.

Di hari-hari berikutnya, suasana kantor semakin menyesakkan bagi Reyhan dan Raisa. Naira tak henti-hentinya mengajukan revisi pada konsep mereka. Setiap kali desain hampir selesai, ia akan datang dengan kritik tajam dan tuntutan baru yang semakin menyulitkan tim kreatif.

Raisa merasa sesak setiap kali masuk ruang desain. Kritikan Naira membuatnya frustrasi.

"Ini desain paling membosankan yang pernah kulihat, Raisa. Kau mau menjual pakaian atau mengusir pelanggan?" komentar Naira dengan nada tajam penuh penghinaan, jemarinya menelusuri sketsa dengan ekspresi datar.

Raisa mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menekan amarahnya. "Aku sudah menyesuaikannya sesuai permintaanmu, Bu. Tapi kalau kita mengubah terlalu banyak, kita kehilangan identitas merek."

Naira mencibir. "Identitas merek? Ini bisnis, bukan idealisme. Kalau kau tak bisa menyesuaikan diri, mungkin kau yang harus dipertimbangkan ulang."

"Ini sudah revisi ketiga dalam seminggu, Bu Naira," balas Raisa, suaranya sedikit bergetar menahan emosi. "Kita tidak punya waktu lagi."

Naira mendekat, menatapnya dingin. "Kalau tim kreatif desain di sini terlalu lambat beradaptasi, mungkin kita butuh orang baru yang lebih paham industri ini."

Ucapan itu menusuk harga diri Raisa. Namun, sebelum ia bisa membalas, Reyhan akhirnya angkat suara. "Bu Naira, tim sudah bekerja keras mengikuti perubahan yang Ibu minta. Kami butuh kejelasan, bukan revisi tanpa arah."

Naira menoleh perlahan, bibirnya menyungging senyum tipis. "Oh? Jadi kau merasa aku tidak memberi arahan yang jelas, Reyhan? Atau kau hanya kesal karena tak lagi bisa mengatur segalanya?"

Reyhan mengeratkan rahangnya. "Bukan begitu, saya hanya ingin memastikan proyek berjalan sesuai dengan—"

"Sesuaikan dengan cara siapa?" potong Naira dingin. "Kau? Atau aku, yang sekarang punya keputusan final?"

Ruangan semakin mencekam. Karyawan saling bertukar pandang, berbisik pelan. Ini pertama kalinya Pak Reyhan dan Bu Raisa dipermalukan di depan mereka.

Reyhan ingin membalas, tapi tatapan tajam Naira menahannya.

Reyhan hanya bisa mengepalkan tangan di bawah meja. Ia tahu Naira sengaja mempermainkan mereka. Bagi Reyhan, Naira hanya sekadar lulusan D3 yang menumpang status istri bos malah berani meremehkannya sebagai direktur.

Tapi melawan hanya akan sia-sia. Naira bukan lagi wanita yang mudah dia kendalikan karena posisinya yang jauh lebih tinggi. Keputusan tetap milik Naira, tak peduli sekeras apa Reyhan berusaha.

"Aku ingin revisi baru di mejaku besok pagi," ucap Naira sebelum melangkah keluar, meninggalkan Reyhan dan Raisa dalam frustrasi yang tak tertahankan.

Siang itu, Reyhan yang ingin menenangkan diri menemukan Naira berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan sorot mata lelah. Sesaat, ia seperti melihat sosok Naira yang dulu. Namun, niatnya untuk mendekat sirna ketika Arga datang, membuat Naira langsung memasang ekspresi dingin kembali.

"Ada sesuatu yang perlu dibicarakan, Rey?" tanya Arga dengan suara tenang, tapi ada ancaman tersirat di dalamnya.

Reyhan menegang sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku hanya ingin memastikan beberapa detail proyek pada Bu Naira, Pak. Ini penting untuk kelancaran timeline kita."

Arga menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis, namun sorot matanya tajam. "Kalau memang penting, kau harusnya bisa menyelesaikannya tanpa menunggu jawaban Naira. Tapi sayangnya, kami akan pulang lebih awal hari ini."

“Baik, Pak,” jawab Reyhan setengah menunduk.

“Ayo, Sayang,” pinta Arga.

Naira menatap Reyhan sekilas, sorot matanya penuh dendam. Tanpa ragu, ia meraih tangan Arga, jemarinya melingkar erat seolah ingin memastikan Reyhan melihat setiap gerakan itu.

Tanpa kata, ia membalikkan badan, melangkah anggun di sisi suaminya, meninggalkan Reyhan yang hanya bisa menghela napas panjang. Perasaan frustrasi bercampur amarah membakar dadanya Naira bukan hanya ingin membuktikan kehebatannya, tapi juga menginjak harga dirinya tanpa belas kasihan.