Hari-hari berlalu, dan suasana kantor makin tidak nyaman sejak kehadiran Liza sebagai anak magang.Di divisi tempatnya ditempatkan yang secara teknis berada di bawah pengawasan Naira banyak karyawan mulai mengeluh diam-diam.Liza jarang menyelesaikan tugas tepat waktu, sering terlihat bermain ponsel, dan selalu mencari alasan untuk menghindar dari pekerjaan.Namun setiap kali Arga lewat atau berada di ruangan terbuka, Liza tiba-tiba berubah.Ia berpura-pura sibuk menatap layar komputer, mengetik cepat, bahkan sesekali berdiri untuk menyusun dokumen agar terlihat profesional.“Liza, ini laporan pelanggan VIP minggu ini. Tolong bantu rekap, ya,” ujar salah satu staf senior, Tina, sambil meletakkan map di meja Liza.Liza hanya menatapnya sebentar lalu menghela napas berat. “Aduh Kak, bisa dibantu aja nggak? Aku masih bingung cara input-nya. Lagian aku belum sempat belajar bagian ini...”“Bukannya kemarin sudah diajarin?” sahut Tina dengan nada sabar tapi tegas.Liza menatapnya tajam lalu
Sore itu, langit menggantungkan awan kelabu saat mobil hitam berhenti di depan kantor Wijaya Group. Liza yang sudah mengintai dari lantai bawah langsung berjalan genit ke arah mobil tersebut, anggun seolah sudah menjadi rutinitas pulang bareng Arga.Dengan santai, Liza membuka pintu depan sebelah kiri dan duduk di kursi samping pengemudi. Bibirnya tersenyum lebar, jemarinya sibuk merapikan poni sambil bergumam kecil, “Kak Arga pasti seneng banget liat aku duluan.”Tapi senyum itu membeku begitu ia menoleh dan menyadari yang duduk di balik setir adalah Bima.“Eh… kamu?” Liza berusaha menyembunyikan kekagetannya, namun nada suaranya jelas kecewa.Bima hanya menoleh singkat, tersenyum datar. “Sore, Mbak Liza. Saya yang nyetir hari ini.”Sebelum Liza bisa memprotes lebih jauh, pintu belakang terbuka dan Arga masuk dengan tenang, langsung duduk di kursi belakang. Ia mengenakan jas kerja abu-abu gelap, wajahnya serius dan matanya masih terpaku pada layar ponselnya.“Bim, ke butik dulu. Jemp
Malam itu, suasana rumah mulai lengang. Hujan gerimis turun pelan di luar, mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti ingin ikut mendengar percakapan di ruang keluarga.Arga duduk di sofa, kakinya berselonjor, tangan kirinya menggenggam gelas teh hangat yang sudah setengah dingin.Matanya menatap layar TV, tapi pikirannya entah ke mana. Pikiran itu bukan tentang rapat esok pagi… bukan juga soal proyek yang tertunda.Pikirannya tentang perempuan yang kini berdiri di dapur, sedang merapikan piring-piring makan malam mereka.Naira.Malam ini, dia tampak lelah, tapi tetap cantik. Rambutnya diikat sederhana, kulitnya sedikit basah karena terkena uap dari cucian piring, dan bajunya hanya piyama longgar namun tidak ada hal lain yang lebih menenangkan bagi Arga dibanding pemandangan itu.Arga bangkit pelan, berjalan mendekat, lalu berdiri di belakang istrinya.“Aku bantuin, ya.”Naira tidak menoleh. Tangannya tetap bergerak mencuci. Tapi nadanya tenang saat menjawab.“Tumben kamu ke dapur.”Arga te
“Mas, boleh tolong buang sampah di dapur ke depan? Aku kurang enak badan, lemes dari semalam,” kata Naira yang tampak tidak bertenaga. Ia berusaha bangun dari posisi tidurnya.“Aku buru-buru, Naira. Ada banyak kerjaan di kantor. Lagipula, buang sampah ke depan saja masa kamu gak bisa,” jawab Reyhan yang masih sibuk memasukkan beberapa dokumen ke dalam tas kerjanya.“Tapi Mas, aku bangun saja kesusahan,” keluh Naira dengan suara paraunya.Sejak semalam, badan Naira memang demam cukup tinggi. Ia berusaha membangunkan Reyhan, suaminya, untuk mengajaknya pergi ke dokter, tetapi pria itu tidak menggubrisnya dan tertidur semakin pulas.“Itu kamu cuma kurang banyak gerak aja makanya jadi malas.” Reyhan mengambil jas hitam yang ada di dalam lemari pakaiannya dan segera memakainya. Pandangannya sama sekali tidak pernah jatuh pada istrinya, seolah tidak peduli dengan rintihan sang istri.Naira hanya bisa menghela napas berat, menatap Reyhan dengan nanar.Setelah hampir 3 tahun menikah, belakang
Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja lan
Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.Byur!Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya."Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Nair
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Malam itu, suasana rumah mulai lengang. Hujan gerimis turun pelan di luar, mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti ingin ikut mendengar percakapan di ruang keluarga.Arga duduk di sofa, kakinya berselonjor, tangan kirinya menggenggam gelas teh hangat yang sudah setengah dingin.Matanya menatap layar TV, tapi pikirannya entah ke mana. Pikiran itu bukan tentang rapat esok pagi… bukan juga soal proyek yang tertunda.Pikirannya tentang perempuan yang kini berdiri di dapur, sedang merapikan piring-piring makan malam mereka.Naira.Malam ini, dia tampak lelah, tapi tetap cantik. Rambutnya diikat sederhana, kulitnya sedikit basah karena terkena uap dari cucian piring, dan bajunya hanya piyama longgar namun tidak ada hal lain yang lebih menenangkan bagi Arga dibanding pemandangan itu.Arga bangkit pelan, berjalan mendekat, lalu berdiri di belakang istrinya.“Aku bantuin, ya.”Naira tidak menoleh. Tangannya tetap bergerak mencuci. Tapi nadanya tenang saat menjawab.“Tumben kamu ke dapur.”Arga te
Sore itu, langit menggantungkan awan kelabu saat mobil hitam berhenti di depan kantor Wijaya Group. Liza yang sudah mengintai dari lantai bawah langsung berjalan genit ke arah mobil tersebut, anggun seolah sudah menjadi rutinitas pulang bareng Arga.Dengan santai, Liza membuka pintu depan sebelah kiri dan duduk di kursi samping pengemudi. Bibirnya tersenyum lebar, jemarinya sibuk merapikan poni sambil bergumam kecil, “Kak Arga pasti seneng banget liat aku duluan.”Tapi senyum itu membeku begitu ia menoleh dan menyadari yang duduk di balik setir adalah Bima.“Eh… kamu?” Liza berusaha menyembunyikan kekagetannya, namun nada suaranya jelas kecewa.Bima hanya menoleh singkat, tersenyum datar. “Sore, Mbak Liza. Saya yang nyetir hari ini.”Sebelum Liza bisa memprotes lebih jauh, pintu belakang terbuka dan Arga masuk dengan tenang, langsung duduk di kursi belakang. Ia mengenakan jas kerja abu-abu gelap, wajahnya serius dan matanya masih terpaku pada layar ponselnya.“Bim, ke butik dulu. Jemp
Hari-hari berlalu, dan suasana kantor makin tidak nyaman sejak kehadiran Liza sebagai anak magang.Di divisi tempatnya ditempatkan yang secara teknis berada di bawah pengawasan Naira banyak karyawan mulai mengeluh diam-diam.Liza jarang menyelesaikan tugas tepat waktu, sering terlihat bermain ponsel, dan selalu mencari alasan untuk menghindar dari pekerjaan.Namun setiap kali Arga lewat atau berada di ruangan terbuka, Liza tiba-tiba berubah.Ia berpura-pura sibuk menatap layar komputer, mengetik cepat, bahkan sesekali berdiri untuk menyusun dokumen agar terlihat profesional.“Liza, ini laporan pelanggan VIP minggu ini. Tolong bantu rekap, ya,” ujar salah satu staf senior, Tina, sambil meletakkan map di meja Liza.Liza hanya menatapnya sebentar lalu menghela napas berat. “Aduh Kak, bisa dibantu aja nggak? Aku masih bingung cara input-nya. Lagian aku belum sempat belajar bagian ini...”“Bukannya kemarin sudah diajarin?” sahut Tina dengan nada sabar tapi tegas.Liza menatapnya tajam lalu
1 minggu setelah kekalahan Arga, dia masih tetap merenung banyak hal.Malam itu, Arga duduk diam di ruang kerja, matanya menatap kosong ke luar jendela. Hujan turun deras, seolah ikut menertawakan kekalahannya.Proyek besar yang ia perjuangkan mati-matian… hilang begitu saja ke tangan orang yang selama ini ia anggap sampah keluarga.Tapi mungkin, jauh di dalam dirinya, Arga merasa ini seperti karma kecil yang datang menepuk pundaknya.Karena bertahun-tahun lalu, Alex adalah anak emas keluarga Wijaya.Genius bisnis, berbicara seperti politisi, punya karisma dan insting yang tajam. Semua orang di keluarga besar mengidolakan Alex, termasuk kakek dan ayah Arga sendiri.Sedangkan Arga… hanya anak lelaki pendiam yang lebih senang menyendiri dan membaca. Ia tidak ahli berbicara, tidak piawai mengambil keputusan cepat.Bahkan di rapat-rapat keluarga besar, ayahnya selalu berkata, “Lihat Alex. Belajarlah dari dia.”Arga dikirim ke luar negeri bukan untuk ‘menimba ilmu’, tapi untuk memberi jala
Malam itu terasa sunyi. Di ruang kerja Arga yang remang, Naira masih menelusuri lembar demi lembar dokumen proyek kerja sama dengan Jepang.Matanya yang lelah membesar ketika menemukan dua dokumen dengan isi yang nyaris sama tapi ada angka kecil yang berbeda.Sangat kecil. Namun cukup untuk membuat kerugian miliaran jika dibiarkan lolos.Ia segera mengambil ponsel dan memfoto dua halaman tersebut. Lalu memeriksanya ke dokumen digital. Perubahan itu... bukan kesalahan input biasa.“Tidak mungkin ini typo... ini sudah disengaja,” bisik Naira, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menyalakan laptop Arga dan masuk ke sistem data perusahaan dengan akses khususnya sebagai Wakil Direktur.Matanya menyapu deretan aktivitas terakhir.Dan di sana ia melihatnya.Seseorang telah masuk ke database dua malam lalu. Tanpa otorisasi resmi.Menggunakan akun pegawai bagian keuangan. Tapi Naira tahu, pegawai itu sedang cuti panjang ke luar negeri.Ada pengkhianat d
Pagi yang Sunyi, Rumah yang Tak Sepenuhnya TenangUdara pagi itu dingin, menusuk kulit namun tak cukup membekukan hati yang sedang penuh amarah.Rumah mereka kini memang lebih layak, bersih, berdinding bata halus, tidak lagi lembap seperti kontrakan sebelumnya yang langit-langitnya bocor dan penuh tambalan.Tapi kenyamanan itu tidak sepenuhnya menenangkan pikiran mereka.Lila duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya bersandar lemas. Wajahnya pucat, matanya sembab meski tanpa tangisan.Di meja depannya tergeletak botol obat dari psikiater dan jadwal terapi mingguan yang tak boleh dilewatkan.Setiap malam masih dihantui mimpi buruk, dan setiap pagi ia bangun dengan rasa kosong.“Jangan lupa, nanti jam empat kita ke psikiater,” suara Bu Maya pelan namun tegas, mencoba menjaga rutinitas sang putri.Lila hanya mengangguk, lalu berbisik pelan, “Kalau bukan karena dia... aku gak akan seperti ini.”“Dia”—yang mereka maksud tak lain adalah Naira.Bu Maya memutar sendok di cangkir tehnya, bibirnya me
Kantor Pusat Wira Corp – Jakarta PusatLobi megah dengan desain futuristik dan layar digital raksasa menyambut Reyhan saat ia melangkah masuk dengan setelan jas abu gelap yang masih tampak baru.Tak ada sisa-sisa dari pria yang tinggal di kontrakan bocor bersama ibunya dan Lila.Di tempat ini, ia adalah Reyhan yang baru ambisius, lapar, dan penuh amarah yang disamarkan dengan senyum licik.Alex muncul dari salah satu ruang rapat dengan tangan diselipkan di saku celana. Dengan jas hitam slim-fit dan ekspresi percaya diri, ia tampak seperti tokoh antagonis dalam drama korporat."Reyhan," sapa Alex, lalu menepuk bahunya keras. "Selamat datang kembali di perusahaanku."Reyhan tersenyum simpul. “Terima kasih… Pak. Saya siap bekerja.”Alex mengernyitkan dahi, meski sebelumnya ia minta di panggil Alex saja, tapi mungkin Reyhan merasa itu tidak sopan jadi di biarkan saja,"Bagus. Mulai hari ini, kamu Direktur Operasional Wira Corp," ujar Alex dengan nada seolah sedang mengumumkan promosi pada
Siang mulai bergulir ke sore, cahaya matahari menyusup malu-malu melalui tirai tipis ruang tamu. Suasana rumah itu terasa tenang, namun ketegangan tipis mengendap di udara.Naira kembali dari dapur dengan membawa piring berisi kue dan sepiring buah yang baru dipotong.Meski dalam hatinya ia masih menyimpan luka dari hinaan halus dan tawa merendahkan tadi, wajahnya tetap tenang. Senyumnya rapi, dan matanya tajam.“Saya nggak tahu selera tamu satu ini,” ucapnya sambil meletakkan piring di meja. “Tapi semoga cocok. Di rumah ini, kami memang biasa menyambut tamu dengan baik, meskipun kadang tamunya sendiri lupa sopan santun.”Alex menatapnya sekilas, lalu menyeringai. “Wah, pedas juga ya omongannya. Aku kira kamu orangnya kalem.”Liza terkekeh pelan. “Kak Arga memang suka yang beda, Kak. Nggak heran sih kalau pilihannya agak... unik.” Ia menatap Naira penuh arti sambil menyuapkan sepotong buah ke mulutnya dengan gaya manja.Naira tak bereaksi, hanya menatap keduanya dengan senyum yang tak
Setelah telepon ditutup, Liza masih terduduk di sisi tempat tidurnya. Tapi belum sempat ia menaruh ponselnya, layar kembali menyala pesan masuk dari Alex.Maaf... cara ngomongku tadi kelewatan. Aku cuma... ya, kamu tahu sendiri, kan?Liza menarik napas panjang, lalu mengetik balasan singkat:Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti kok.Panggilan masuk dari Alex kembali muncul. Kali ini, nada suaranya lebih tenang."Thanks, Liza," ujarnya lembut. "Aku cuma... kaget aja. Udah lama nggak dengar kabar, tahu-tahu kamu udah di rumah Arga. Kamu tahu sendiri... dia bukan orang yang netral kalau udah urusan keluarga."Liza tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Aku ngerti. Aku juga salah, harusnya kabarin Kak Alex dulu.""Jadi sekarang kamu lagi ngapain setelah lulus? Jangan-jangan udah direkrut jadi asistennya Kak Arga?" tanyanya dengan nada bercanda, tapi ada nada cemburu samar di baliknya.Liza tertawa kecil, sopan. "Baru kepikiran mau cari pengalaman. Tadi sempat obrolin soal magang