Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.
Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.
Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.
Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?
Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”
Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"
Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja langsung bisa masak dan mengurus rumah! Kamu ini malas, lemah, dan nggak berguna!
“Kalau saja Reyhan dulu menikah dengan Raisa, pasti hidupnya jauh lebih baik! Raisa itu perempuan sempurna! Cantik, anggun, pintar, dan bisa membawa diri! Pasti Reyhan nggak bakal sekesal ini kalau dia yang jadi istrinya," kata Bu Maya lagi.
Lila menambahkan dengan nada mengejek, "Iya, Ma! Kalau Mas Reyhan nikah sama Raisa, pasti setiap hari pulang ke rumah disambut istri yang cantik dan wangi, bukan yang lusuh dan nggak bisa ngurus diri kayak ini."
Naira menelan ludah, tubuhnya masih lemah. Namun, Bu Maya menunjuk koper dan kardus di belakangnya. “Bawakan barang-barang kami.”
Dengan gemetar, Naira mencoba mengangkat koper besar. Baru satu, lututnya sudah terasa goyah. Tapi Bu Maya dan Lila tidak peduli.
“Kenapa rumah ini berantakan sekali? Kamu tidak memberishkannya, Naira?” kata Bu Maya begitu masuk dan melihat kondisi rumah yang masih belum dibereskan.
“Maaf, Bu. Kata Mas Reyhan, Ibu dan Lila baru akan datang besok. Jadi, aku berencana akan merapikan rumah nanti sore sambil menunggu badan aku lebih bertenaga,” jawab Naira dengan lemah.
“Alasan. Bilang saja kalau malas,” cibir Bu Maya.
Seharian, Naira dipaksa bekerja tanpa henti. Membersihkan rumah, mencuci pakaian mereka, memasak makanan sesuai selera Maya yang selalu mengomentari segala hal.
Saat makan siang, Naira menyajikan udang asam manis dengan hati-hati. Namun, begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, Bu Maya langsung mendorong piring menjauh.
“Astaga, ini masak udang atau karet? Udang tuh harusnya garing di luar, lembut di dalam! Ini malah keras dan hambar! Pantas Reyhan nggak betah di rumah!”
Lila mencibir, “Duh, Kak, pantas Mas Reyhan makin malas pulang! Masakan begini nggak layak dimakan.”
Lagi-lagi, Naira hanya bisa menahan rasa sakit hati itu. Tubuhnya masih begitu lemas, tetapi sudah dipaksa melakukan banyak hal. Bahkan, semua itu sama sekali tidak dihargai.
Hal seperti ini memang selalu terjadi. Bu Maya dan Lila memang tidak menyukai Naira, entah apa alasannya. Setiap hal yang dilakukan Naira untuk mereka, tidak pernah mendapat apresiasi.
Awalnya, Reyhan selalu membela Naira, berusaha menenangkan istrinya. Namun, belakangan ini Reyhan justru terlihat ikut masuk dalam kelompok keluarganya.
Menjelang malam, pintu terbuka. Reyhan pulang. Naira berharap setidaknya ia bertanya tentang keadaannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Reyhan membawa kantong makanan mahal. Bu Maya langsung tersenyum puas. “Nah, begini, Reyhan! Masakan Naira itu nggak ada enak-enaknya! Bu Dita cerita menantunya bisa masak kayak koki bintang lima! Kenapa kamu malah dapat yang begini?”
Lila terkikik. “Mas Reyhan kan direktur, istrinya juga harus berkelas dong, bukan kayak…” ia melirik Naira dengan tatapan menghina.
Reyhan menaruh makanan di meja. “Ayo makan, Ma, Lil. Nggak usah makan masakan Naira, nanti malah sakit perut.”
Maya dan Lila tertawa puas, sementara Naira berdiri di sudut ruangan, menahan tangis.
Setelah makan, Reyhan melirik meja yang masih berantakan. “Naira, bersihkan ini. Habis itu, bantu Ibu dan Lila bereskan barang mereka di kamar.”
Naira berusaha menjelaskan, “Mas, aku—”
Tatapan tajam Reyhan menghentikannya. “Jangan banyak alasan. Aku capek dengar keluhanmu.”
Di kamar tamu, Bu Maya melipat tangan di dada dengan ekspresi penuh penghinaan. “Lama sekali, Naira! Lihat menantu Bu Rina, baru nikah setahun aja udah bisa urus rumah, suami, dan tetap cantik! Kamu? Cuma bisa ngeluh dan bikin repot!”
Lila tertawa mengejek. “Mau dibandingin juga percuma, Ma! Kak Naira mah nggak ada levelnya sama siapapun.”
Naira menggigit bibir, menahan sakit yang menjalar di tubuhnya. Dengan sisa tenaga, ia mulai menyusun tas mewah Bu Maya, sepatu mahal Lila, parfum, perhiasan semua harus tertata sempurna. Tubuhnya hampir tak sanggup lagi, tetapi ia tak berani berhenti.
Saat mencoba mengangkat kardus terakhir, dunia di sekelilingnya tiba-tiba berputar. Lututnya melemas.
BRUK!
Tubuh Naira jatuh keras ke lantai. Napasnya tersengal, keringat dingin mengucur deras. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tetapi yang ia dengar hanya suara cibiran.
Bu Maya mendengus kesal. “Astaga, jangan pura-pura, Naira!”
Lila mendekat dan menendang lengannya dengan ujung kaki. “Baru kerja sebentar aja tumbang? Pantas Mas Reyhan makin muak! Mana ada lelaki mau istri lemah kayak gini?”
Reyhan berdiri di ambang pintu, matanya sekilas melihat tubuh Naira yang tersungkur, tapi tak ada kepedulian di sana. Dengan santai, ia berbalik dan keluar kamar.
Maya menguap bosan. “Sudah malam. Biarin aja, kalau dia sadar, dia tahu diri buat bangun sendiri.”
Mereka naik ke tempat tidur masing-masing dan mematikan lampu.
Sementara itu, di lantai yang dingin dan gelap, Naira tetap tergeletak, gemetar, sendirian. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Bibirnya bergetar, mengucap doa lirih yang bahkan ia tak yakin akan didengar siapa pun.
Dini hari, ia terbangun dengan tubuh menggigil. Perlahan, ia berusaha bangkit, meraba-raba dinding untuk menopang tubuhnya yang lemah. Dengan langkah tertatih, ia menuju dapur.
Begitu sampai, ia menuang air dan meneguknya perlahan. Air itu menjadi satu-satunya hal yang mengingatkannya bahwa ia masih hidup.
Ia duduk di sudut ruangan, membiarkan tubuhnya yang lelah terkulai. Kepalanya bersandar, matanya perlahan menutup.
Kali ini, ia tertidur bukan hanya karena lelah.
Tapi karena tak ada lagi yang peduli.
Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.Byur!Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya."Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Nair
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.Byur!Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya."Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Nair
Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja lan