“Mas, boleh tolong buang sampah di dapur ke depan? Aku kurang enak badan, lemes dari semalam,” kata Naira yang tampak tidak bertenaga. Ia berusaha bangun dari posisi tidurnya.
“Aku buru-buru, Naira. Ada banyak kerjaan di kantor. Lagipula, buang sampah ke depan saja masa kamu gak bisa,” jawab Reyhan yang masih sibuk memasukkan beberapa dokumen ke dalam tas kerjanya.
“Tapi Mas, aku bangun saja kesusahan,” keluh Naira dengan suara paraunya.
Sejak semalam, badan Naira memang demam cukup tinggi. Ia berusaha membangunkan Reyhan, suaminya, untuk mengajaknya pergi ke dokter, tetapi pria itu tidak menggubrisnya dan tertidur semakin pulas.
“Itu kamu cuma kurang banyak gerak aja makanya jadi malas.” Reyhan mengambil jas hitam yang ada di dalam lemari pakaiannya dan segera memakainya. Pandangannya sama sekali tidak pernah jatuh pada istrinya, seolah tidak peduli dengan rintihan sang istri.
Naira hanya bisa menghela napas berat, menatap Reyhan dengan nanar.
Setelah hampir 3 tahun menikah, belakangan ini sikap Reyhan memang benar-benar berubah. Terlebih, dua bulan terakhir, sejak Reyhan mendapatkan posisi baru sebagai direktur di tempatnya bekerja, ia menjadi semakin dingin dan hampir tidak lagi peduli dengan Naira.
Dulu, Reyhan selalu memperhatikan Naira, merespon semua candaan Naira, dan saling menguatkan ketika mereka merasa lelah dengan masalah yang ada. Namun, sekarang semua benar-benar berbeda. Seolah-olah mereka berdua sudah berada di dunia yang berbeda.
Apapun yang dikatakan Naira, di mata Reyhan itu seperti pemantik untuk mengajaknya beradu mulut. Tidak ada lagi obrolan harmonis yang dulu, sekarang hanya ada perdebatan panas yang pada akhirnya harus membuat Naira mengalah lagi.
“Tapi Mas, aku bener-bener sakit. Nanti siang boleh antar aku ke dokter, Mas? Aku gak kuat,” pinta Naira dengan penuh harapan.
“Gak usah manja, Naira. Minum saja teh hangat nanti juga sembuh. Kerjaanku banyak, mana bisa aku keluar biarpun di jam makan siang.” Setelah menatap Naira sejenak, Reyhan kembali fokus pada ponselnya.
“Mas, kenapa sekarang kamu berbeda?” Naira menatap Reyhan dengan mata berkaca.
“Berbeda apanya sih, Naira? Justru kamu yang akhir-akhir ini terlalu ribet,” tukas Reyhan membuat hati Naira semakin terenyuh.
“Mas, dulu kamu selalu bersikap baik dan penuh kasih sayang, tapi sekarang sangat berbeda. Kamu nggak pernah lagi peduli sama aku, Mas. Setiap aku ngomong pun gak pernah kamu dengar, aku sakit kayak gini pun kamu gak percaya,” keluh Naira sambil menyeka air matanya.
Reyhan yang sedari tadi fokus dengan ponsel, kini kembali mengalihkan pandangannya kepada Naira. “Urusanku bukan cuma tentang kamu aja, Naira.”
Kemudian, Reyhan memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya, mengambil tas kerjanya, dan bersiap untuk pergi. “Kamu jangan lupa bersihkan rumah. Aku liat, kamar mandi mulai kotor lagi, ruang tamu juga masih berantakan.”
Lagi-lagi Naira hanya bisa menghela napas berat, berusaha membuang air matanya yang terasa percuma. Dulu, Reyhan bahkan selalu membantu Naira mengurus rumah, mereka selalu berbagi tugas rumah. Kata Reyhan, pekerjaan rumah adalah kewajiban berdua, bukan hanya satu orang. Namun, sekarang Reyhan malah sama sekali tidak pernah membantu Naira, seolah semua urusan rumah itu adalah tugas Naira saja.
“Kalau badanku sudah mendingan, nanti aku bersihkan, Mas,” jawab Naira akhirnya.
“Gak ada nanti-nanti. Besok ibuku dan Lila akan datang dan menginap di sini beberapa hari. Jadi, kamu harus memastikan rumah bersih, dan kamar tamu juga harus sudah rapi,” kata Reyhan dengan nada yang seolah tidak menerima penolakan.
“Mas, kenapa tiba-tiba? Mas gak minta persetujuan aku juga,” jawab Naira dengan heran.
“Ini rumahku, aku gak perlu minta persetujuanmu untuk semua hal. Lagipula mereka keluargaku, kamu gak berhak larang mereka tinggal di sini.” Reyhan menatap Naira dengan tajam.
“Tapi, aku istri kamu, Mas. Seharusnya kita selalu diskusi untuk semua hal, bukan mengambil keputusan sendiri,” protes Naira lagi. Ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk duduk dengan sempurna di pinggir tempat tidurnya.
“Ini cuma urusan ibu dan adikku yang akan menginap di sini, gak perlu ada diskusi segala macam, Naira. Kamu jangan berlebihan, semua masalah kamu besar-besarkan. Aku capek tahu ngurusin kamu yang banyak maunya.” Suara Reyhan terdengar mulai meninggi, sorot matanya juga semakin dalam menatap Naira.
“Tapi Mas, ibumu dan Lila itu—”
Belum selesai Naira bicara, Reyhan kembali memotong dengan tajam. “Apa lagi, Naira? Kenapa sekarang kamu jadi banyak protes kayak gini? Tugas kamu itu nurut sama suami, ikuti semua yang aku katakan, jangan banyak membantah.”
Ucapan itu seperti sebuah bom yang mendadak jatuh di atas kepada Naira. Baru kali ini Reyhan mengatakan hal seperti itu.
Sebelumnya, semua hal selalu mereka diskusikan. Bahkan, memilih menu makanan saja mereka selalu berdiskusi. Reyhan sendiri yang selalu mengatakan bahwa dalam rumah tangga ini, kesepakatan suami dan istri adalah yang paling penting, jadi Reyhan selalu mengajak diskusi Naira untuk semua hal. Namun, sekarang hal seperti itu nyatanya hanya menjadi angin lalu.
“Mas …” Mata Naira kembali berkaca-kaca. “Kamu bener-bener berubah.”
Reyhan berdecak kecil. “Kamu yang lebay. Ah sudahlah, aku gak punya banyak waktu buat urusin kamu.”
Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja lan
Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.Byur!Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya."Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Nair
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.Byur!Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya."Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Nair
Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja lan