Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.
Byur!
Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya.
"Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."
Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?
Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Naira. Kalau kamu malas, gak akan hilang demammu itu. Kamu itu kurang gerak.”
“Lihat Raisa itu, dia bisa melakukan banyak hal. Tidak pernah terlihat malas sepertimu,” timpal Bu Maya.
Nama itu menusuk hati Naira lebih dalam dari tamparan mana pun. Raisa adalah mantan Reyhan, perempuan yang dulu dipuja semua orang, termasuk Bu Maya. Sejak awal, mereka memang selalu membandingkan Naira dengan Raisa. Seolah pernikahan Reyhan dengan Naira adalah kesalahan besar yang tak terampuni.
Tanpa menoleh lagi, Reyhan berjalan keluar, meninggalkan Naira yang masih duduk di sofa dengan tubuh menggigil dan hati yang semakin hancur.
Untungnya, demamnya sudah turun, meskipun tubuhnya masih lemah. Namun, itu tidak berarti ia bisa beristirahat. Bu Maya segera menyuruhnya bangkit dan masuk ke dapur. "Buatkan sarapan dan jus untuk Lila. Dia masih tidur, biarkan saja sampai bangun sendiri."
Tanpa protes, Naira melangkah ke dapur. Tubuhnya sudah lebih baik dibanding semalam, meskipun masih terasa lelah. Ia mulai mengambil bahan-bahan untuk memasak dengan gerakan yang lebih stabil. Aroma masakan mulai memenuhi ruangan, tetapi tidak ada satu pun yang peduli bahwa yang memasak adalah seseorang yang baru saja pulih dari sakit.
Naira baru saja selesai menyiapkan sarapan ketika suara bentakan tajam menggema di seluruh rumah.
"NAIRA!"
Tubuhnya menegang. Dari nada suaranya, ia tahu ini bukan sesuatu yang baik. Dengan langkah ragu, ia keluar dari dapur dan menemukan Bu Maya berdiri di ruang tamu dengan wajah merah padam.
Di sampingnya, Lila adik iparnya baru saja bangun dan langsung emosi, rambutnya masih berantakan, tetapi wajahnya penuh amarah. Dengan ekspresi penuh kecurigaan, ia memeluk kedua tangan di dada, tatapannya menusuk ke arah Naira.
Tangan Bu Maya gemetar saat menunjuk ke arah laci yang terbuka di dekat lemari. "Mana perhiasanku?!" serunya dengan penuh amarah. "Kalung emas dan cincin berlian itu hilang! Jangan pura-pura bodoh, kamu pasti yang mencurinya!"
Jantung Naira berdetak lebih cepat. "Apa? Aku tidak tahu apa-apa, Bu," ucapnya dengan suara lirih.
Lila mendengus. "Jangan bohong, Naira. Hanya kamu yang mengurus barang-barang kami tadi malam! Kalau bukan kamu, siapa lagi?" Ujar Lila menunjuk-nunjuk tanpa menghormati Naira lagi sebagai kakak iparnya.
"Benar!" Bu Maya menyambar dengan cepat. "Aku ingat jelas, semalam aku menyuruhmu merapikan meja rias dan mengembalikan perhiasanku ke laci! Sekarang hilang, dan hanya kamu yang menyentuhnya!"
Naira menggeleng, tubuhnya mulai gemetar. "Aku bersumpah, aku tidak mengambilnya! Aku memang membereskan barang-barang Ibu, tapi aku tidak mengambil apa pun!"
"Dasar pembohong!" Dengan cepat, sebuah tamparan keras menghantam pipinya.
Plak!
Naira terhuyung ke belakang, rasa perih menjalar di wajahnya. Mulutnya sedikit terbuka karena terkejut, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Kamu pikir aku bodoh?!" Bu Maya mendesis tajam. "Kalau sampai perhiasan itu tidak ketemu, aku tidak akan tinggal diam!"
Lila menyilangkan tangan, menatap Naira dengan tatapan merendahkan. "Kalau kamu memang tidak mencurinya, buktikan! Tapi jangan harap ada yang percaya."
Saat senja mulai turun, Reyhan pulang dari kantor. Begitu melihatnya melangkah masuk, Bu Maya langsung menghampiri dengan wajah marah, diikuti Lila yang tampak serius.
"Reyhan, dengar ini baik-baik!" katanya, suaranya dibuat penuh kepedihan. "Perhiasan Ibu hilang! Kalung emas dan cincin berlian yang kamu belikan itu raib! Dan aku yakin ini ulah istrimu!"
Reyhan mengernyit, lalu menatap tajam ke arah Naira yang berdiri sedikit jauh di belakang. "Apa itu benar?" tanyanya dengan suara dingin.
Lila ikut menimpali, "Hanya Naira yang menyentuh barang-barang Ibu tadi malam. Tidak ada orang lain. Kalau bukan dia, siapa lagi?"
Naira menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku tidak melakukannya, Mas. Aku bersumpah, aku tidak mencuri."
Namun, Reyhan tidak terlihat percaya. Ia mendekat dengan tatapan penuh amarah, lalu tanpa peringatan, tangannya terangkat tinggi dan menghantam pipi Naira dengan keras.
PLAK!
Tamparan itu lebih kuat dari yang dilakukan Bu Maya tadi pagi. Kepala Naira terpelanting ke samping, rasa panas membakar kulitnya.
"Dasar perempuan nggak tahu diri!" Reyhan mendesis tajam. "Makan, tidur, dan tinggal di rumah ini tapi malah mencuri?! Kamu pikir aku akan diam saja?! Kalau Raisa yang jadi istriku, dia nggak bakal bikin malu kayak gini!"
Naira tersentak, tangannya refleks memegang pipinya yang terasa perih. Naira terjatuh ke lantai. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, sementara suara tawa kecil Lila terdengar samar di telinganya.
Tak lama kemudian, Bu Maya berdeham keras, berjalan ke arah koper yang terletak di sudut ruangan, lalu pura-pura mengernyit. "Oh, ternyata ada di sini. Di koper." katanya dengan nada ringan, seolah-olah kejadian sebelumnya tidak pernah terjadi.
Namun, meskipun perhiasan itu ditemukan, tidak ada yang meminta maaf padanya. Tidak ada penyesalan, tidak ada pengakuan bahwa mereka telah menjebaknya dengan sengaja bahkan setelah penyiksaan mereka.
Reyhan menghela napas kasar, matanya menatapnya dengan dingin. "Naira, minta maaf pada Ibu."
Mata Naira semakin memanas. Dirinya yang dihabisi, kenapa ia juga yang harus meminta maaf?
Namun, percuma jika ingin melawan. Naira tidak punya kekuatan apapun. Dengan suara gemetar, ia akhirnya berbisik, "Maaf, Bu..."
Bu Maya tersenyum puas. "Jangan berdiri saja di situ. Siapkan makan malam."
Air mata akhirnya mengalir di pipi Naira. Bukan hanya karena sakit di pipinya, tetapi juga karena sakit di hatinya.
Seminggu setelah insiden perhiasan, luka di pipi Naira telah memudar, tetapi luka di hatinya tetap menganga. Sejak saat itu, Bu Maya dan Lila semakin memperlakukannya seperti pembantu, sementara Reyhan tetap dingin dan acuh. Ia sudah berhenti berharap. Tidak ada yang peduli padanya di rumah ini.Malam ini, rumah begitu sepi. Bu Maya, Lila, dan Reyhan menghadiri acara perusahaan di hotel mewah. Seperti biasa, Naira tidak diajak. Ia ditinggalkan sendirian tanpa sedikit pun perhatian.Awalnya, ia mencoba mengabaikan perasaan pedih itu dan mengisi waktunya dengan scroll sosial media. Namun, saat melihat unggahan foto-foto acara itu di media sosial, dunianya runtuh.Matanya membelalak saat melihat foto Reyhan berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik bergaun merah anggun, yaitu Raisa mantan pacar Reyhan yang sempurna dalam segala hal: kaya, berkelas, dan terpandang.Hatinya semakin hancur ketika membaca keterangan dalam salah satu unggahan bahwa Raisa kini adalah pemilik lini bisni
Naira terbangun di sebuah kamar yang asing, namun terasa nyaman. Aroma lembut lavender menyelimuti ruangan, sementara cahaya matahari pagi menembus tirai tipis berwarna krem, menciptakan bayangan lembut di dinding.Ia berkedip beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan.Lalu, sebuah bayangan muncul di benaknya. Hujan. Tubuhnya yang menggigil. Dan Arga. Hanya itu yang bisa diingatnya. Tatapan pria itu di bawah payung, lalu kehangatan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Setelah itu, semuanya gelap.Kini, ia berada di tempat ini, di bawah selimut hangat dengan aroma teh chamomile yang samar-samar tercium dari meja di samping tempat tidur. Suara detak jam terdengar pelan, menambah kesan hening dalam ruangan yang elegan namun tidak berlebihan. Bagaimana ia bisa sampai di sini? Apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Naira tersentak. Sosok pria tinggi berjas
Tiga minggu semenjak Naira tinggal di rumah Arga, hubungan mereka semakin baik. Naira mulai merasa nyaman di lingkungan baru yang jauh lebih hangat dibandingkan rumah mantan suaminya.Arga, meskipun tetap dingin dan pendiam, perlahan menunjukkan perhatian kecil yang membuat Naira merasa dihargai.Setiap pagi, Arga memastikan Naira sarapan sebelum ia berangkat kerja, meski hanya dengan ucapan singkat seperti, "Jangan lupa makan." Jika ia pulang lebih awal, ia akan menemaninya makan malam, meskipun kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam keheningan.Namun, bagi Naira, keheningan itu lebih berarti daripada ejekan dan hinaan yang dulu ia terima.Suatu sore, ketika Naira sedang membantu Mbak Hanum di dapur, Arga tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Kau ada waktu sebentar?" tanyanya singkat, tanpa basa-basi.Naira mengangguk, mengusap tangannya yang sedikit basah sebelum mengikuti Arga ke taman belakang. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang sedang mekar.Arga dud
Naira menatap cincin di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Arga melamarnya bukan sekadar basa-basi atau sekadar janji kosong. Pria itu serius. Tanpa banyak berpikir lagi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil."Baiklah, Arga. Aku menerimanya."Arga mengangguk, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terlihat lebih lembut dari biasanya. "Baik. Aku akan mengatur semuanya."Beberapa hari kemudian, Naira duduk di dalam mobil Arga, memandangi jalanan yang semakin jauh dari kehidupannya yang dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Ini bukan hanya tentang pernikahan ini tentang memulai kembali sesuatu yang baru.Mobil berhenti di depan sebuah rumah megah dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan elegan. Pilar-pilar tinggi dan taman luas menyambut mereka, menandakan kebangsawanan keluarga ini yang tak bisa disangkal. Naira merasa perutnya sedikit bergejolak. Ia tak pernah membayangkan akan be
Setelah resepsi pernikahan yang penuh ketegangan itu berakhir, Arga membawa Naira keluar dari aula, menuju kamar pengantin mereka di hotel tempat acara berlangsung. Begitu pintu tertutup, Naira menghela napas panjang, menatap cermin besar di depannya. Wajahnya masih terlukis dengan senyum kemenangan, tapi di balik itu, ada sorot mata penuh rencana.Arga yang sejak tadi memperhatikan Naira mendekat, membuka dasinya perlahan. "Kau menikmati kejadian tadi, bukan?"Naira berbalik, menatap suaminya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Menikmati apa?"Arga menyeringai kecil, menatapnya dalam. "Melihat Reyhan dan Raisa terbakar amarah. Aku bisa merasakan tatapan mereka menembus punggungmu sepanjang malam."Naira tertawa kecil, lalu melepas antingnya. "Itu bonus. Aku hanya memastikan mereka tahu tempat mereka sekarang."Arga mendekat lebih jauh, satu tangannya menyentuh dagu Naira, mengangkatnya sedikit. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Naira?Mata Naira bersinar penuh tekad.
Beberapa hari kemudian, suasana berbeda terjadi. Bu Maya merayakan ulang tahunnya, dan Reyhan mengajaknya makan malam di restoran mewah, La Violeta, bersama Lila dan Raisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang pelayan menghadang mereka di pintu masuk."Maaf, Tuan, tapi restoran ini telah dipesan sepenuhnya oleh seseorang malam ini."Reyhan mengerutkan kening. "Siapa yang memesannya?"Pelayan itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Muda Keluarga Wijaya."Suasana mendadak tegang. Bu Maya menghela napas tajam, ekspresinya berubah drastis. "Nyonya Muda Keluarga Wijaya? Memang siapa orang itu?"Pelayan itu hendak menjelaskan lebih lanjut, tetapi Reyhan lebih dulu menjawab dengan nada datar, “Dia istri Pak Arga, pemilik perusahaan fashion Wijaya tempatku bekerja bu.”"Bukankah bagus kalau yang di dalam itu istri bosmu, Rey?" kata Bu Maya setelah berpikir sejenak. "Kita bisa menyapa sebentar, siapa tahu dia bisa memberikan kita satu meja. Ibu sangat ingin makan di sini malam ini. Re
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan restoran, suasana tegang. Bu Maya duduk di kursi belakang, wajahnya merah padam. "Aku masih tidak percaya itu Naira! Bagaimana dia bisa menikahi bosmu, Rey?" geramnya.Lila menggigit bibir, shock. "Dia dulu hanya gadis bodoh yang bisa kita mainkan."Reyhan mengemudi dalam diam, rahangnya mengeras. Namun, tidak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan karena ia sendiri juga masih bingung dengan hal itu.Beberapa hari kemudian di kantor, suasana tegang. Reyhan, Raisa, dan karyawan lain bekerja ekstra keras. Kampanye fashion tinggal dua minggu lagi, tetapi konsep yang mereka susun enam bulan terakhir harus diubah total karena keputusan Naira dalam rapat pekan lalu.Naira, yang kini berpengaruh besar di perusahaan, menilai desain mereka terlalu eksklusif. Ia menginginkan perubahan desain yang tetap mewah, tetapi juga terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah.Bagi tim kreatif yang terbiasa melayani selera kelas atas, ini tantangan sulit. Mereka harus
Meski tim Reyhan kesulitan menyesuaikan konsep baru dari Naira, mereka tetap bekerja tanpa lelah. Lembur menjadi rutinitas, kopi sahabat setia, dan setiap perubahan diterapkan dengan teliti meski frustrasi terus menghantui.Raisa yang nyaris menyerah akhirnya menemukan cara menyesuaikan desain tanpa kehilangan identitas merek. Dengan dukungan Reyhan dan tim, mereka menciptakan koleksi elegan yang tetap terjangkau, meski dengan banyak pengorbanan.Hari kampanye fashion tiba. Gedung mewah dengan dekorasi modern dan catwalk memukau dipenuhi tamu dari berbagai kalangan investor, media, pelanggan setia, hingga masyarakat kelas menengah yang jarang hadir di acara eksklusif.Untuk pertama kalinya, audiens lebih luas. Raisa dan Reyhan canggung, terbiasa dengan eksklusivitas. Bagi mereka, ini bukan sekadar perubahan pasar, tetapi juga pukulan bagi kebanggaan mereka menjaga standar merek kalangan atas.Di sudut ruangan, mereka mengamati model-model di catwalk mengenakan koleksi terbaru. Desainn
Malam itu, suasana rumah mulai lengang. Hujan gerimis turun pelan di luar, mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti ingin ikut mendengar percakapan di ruang keluarga.Arga duduk di sofa, kakinya berselonjor, tangan kirinya menggenggam gelas teh hangat yang sudah setengah dingin.Matanya menatap layar TV, tapi pikirannya entah ke mana. Pikiran itu bukan tentang rapat esok pagi… bukan juga soal proyek yang tertunda.Pikirannya tentang perempuan yang kini berdiri di dapur, sedang merapikan piring-piring makan malam mereka.Naira.Malam ini, dia tampak lelah, tapi tetap cantik. Rambutnya diikat sederhana, kulitnya sedikit basah karena terkena uap dari cucian piring, dan bajunya hanya piyama longgar namun tidak ada hal lain yang lebih menenangkan bagi Arga dibanding pemandangan itu.Arga bangkit pelan, berjalan mendekat, lalu berdiri di belakang istrinya.“Aku bantuin, ya.”Naira tidak menoleh. Tangannya tetap bergerak mencuci. Tapi nadanya tenang saat menjawab.“Tumben kamu ke dapur.”Arga te
Sore itu, langit menggantungkan awan kelabu saat mobil hitam berhenti di depan kantor Wijaya Group. Liza yang sudah mengintai dari lantai bawah langsung berjalan genit ke arah mobil tersebut, anggun seolah sudah menjadi rutinitas pulang bareng Arga.Dengan santai, Liza membuka pintu depan sebelah kiri dan duduk di kursi samping pengemudi. Bibirnya tersenyum lebar, jemarinya sibuk merapikan poni sambil bergumam kecil, “Kak Arga pasti seneng banget liat aku duluan.”Tapi senyum itu membeku begitu ia menoleh dan menyadari yang duduk di balik setir adalah Bima.“Eh… kamu?” Liza berusaha menyembunyikan kekagetannya, namun nada suaranya jelas kecewa.Bima hanya menoleh singkat, tersenyum datar. “Sore, Mbak Liza. Saya yang nyetir hari ini.”Sebelum Liza bisa memprotes lebih jauh, pintu belakang terbuka dan Arga masuk dengan tenang, langsung duduk di kursi belakang. Ia mengenakan jas kerja abu-abu gelap, wajahnya serius dan matanya masih terpaku pada layar ponselnya.“Bim, ke butik dulu. Jemp
Hari-hari berlalu, dan suasana kantor makin tidak nyaman sejak kehadiran Liza sebagai anak magang.Di divisi tempatnya ditempatkan yang secara teknis berada di bawah pengawasan Naira banyak karyawan mulai mengeluh diam-diam.Liza jarang menyelesaikan tugas tepat waktu, sering terlihat bermain ponsel, dan selalu mencari alasan untuk menghindar dari pekerjaan.Namun setiap kali Arga lewat atau berada di ruangan terbuka, Liza tiba-tiba berubah.Ia berpura-pura sibuk menatap layar komputer, mengetik cepat, bahkan sesekali berdiri untuk menyusun dokumen agar terlihat profesional.“Liza, ini laporan pelanggan VIP minggu ini. Tolong bantu rekap, ya,” ujar salah satu staf senior, Tina, sambil meletakkan map di meja Liza.Liza hanya menatapnya sebentar lalu menghela napas berat. “Aduh Kak, bisa dibantu aja nggak? Aku masih bingung cara input-nya. Lagian aku belum sempat belajar bagian ini...”“Bukannya kemarin sudah diajarin?” sahut Tina dengan nada sabar tapi tegas.Liza menatapnya tajam lalu
1 minggu setelah kekalahan Arga, dia masih tetap merenung banyak hal.Malam itu, Arga duduk diam di ruang kerja, matanya menatap kosong ke luar jendela. Hujan turun deras, seolah ikut menertawakan kekalahannya.Proyek besar yang ia perjuangkan mati-matian… hilang begitu saja ke tangan orang yang selama ini ia anggap sampah keluarga.Tapi mungkin, jauh di dalam dirinya, Arga merasa ini seperti karma kecil yang datang menepuk pundaknya.Karena bertahun-tahun lalu, Alex adalah anak emas keluarga Wijaya.Genius bisnis, berbicara seperti politisi, punya karisma dan insting yang tajam. Semua orang di keluarga besar mengidolakan Alex, termasuk kakek dan ayah Arga sendiri.Sedangkan Arga… hanya anak lelaki pendiam yang lebih senang menyendiri dan membaca. Ia tidak ahli berbicara, tidak piawai mengambil keputusan cepat.Bahkan di rapat-rapat keluarga besar, ayahnya selalu berkata, “Lihat Alex. Belajarlah dari dia.”Arga dikirim ke luar negeri bukan untuk ‘menimba ilmu’, tapi untuk memberi jala
Malam itu terasa sunyi. Di ruang kerja Arga yang remang, Naira masih menelusuri lembar demi lembar dokumen proyek kerja sama dengan Jepang.Matanya yang lelah membesar ketika menemukan dua dokumen dengan isi yang nyaris sama tapi ada angka kecil yang berbeda.Sangat kecil. Namun cukup untuk membuat kerugian miliaran jika dibiarkan lolos.Ia segera mengambil ponsel dan memfoto dua halaman tersebut. Lalu memeriksanya ke dokumen digital. Perubahan itu... bukan kesalahan input biasa.“Tidak mungkin ini typo... ini sudah disengaja,” bisik Naira, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menyalakan laptop Arga dan masuk ke sistem data perusahaan dengan akses khususnya sebagai Wakil Direktur.Matanya menyapu deretan aktivitas terakhir.Dan di sana ia melihatnya.Seseorang telah masuk ke database dua malam lalu. Tanpa otorisasi resmi.Menggunakan akun pegawai bagian keuangan. Tapi Naira tahu, pegawai itu sedang cuti panjang ke luar negeri.Ada pengkhianat d
Pagi yang Sunyi, Rumah yang Tak Sepenuhnya TenangUdara pagi itu dingin, menusuk kulit namun tak cukup membekukan hati yang sedang penuh amarah.Rumah mereka kini memang lebih layak, bersih, berdinding bata halus, tidak lagi lembap seperti kontrakan sebelumnya yang langit-langitnya bocor dan penuh tambalan.Tapi kenyamanan itu tidak sepenuhnya menenangkan pikiran mereka.Lila duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya bersandar lemas. Wajahnya pucat, matanya sembab meski tanpa tangisan.Di meja depannya tergeletak botol obat dari psikiater dan jadwal terapi mingguan yang tak boleh dilewatkan.Setiap malam masih dihantui mimpi buruk, dan setiap pagi ia bangun dengan rasa kosong.“Jangan lupa, nanti jam empat kita ke psikiater,” suara Bu Maya pelan namun tegas, mencoba menjaga rutinitas sang putri.Lila hanya mengangguk, lalu berbisik pelan, “Kalau bukan karena dia... aku gak akan seperti ini.”“Dia”—yang mereka maksud tak lain adalah Naira.Bu Maya memutar sendok di cangkir tehnya, bibirnya me
Kantor Pusat Wira Corp – Jakarta PusatLobi megah dengan desain futuristik dan layar digital raksasa menyambut Reyhan saat ia melangkah masuk dengan setelan jas abu gelap yang masih tampak baru.Tak ada sisa-sisa dari pria yang tinggal di kontrakan bocor bersama ibunya dan Lila.Di tempat ini, ia adalah Reyhan yang baru ambisius, lapar, dan penuh amarah yang disamarkan dengan senyum licik.Alex muncul dari salah satu ruang rapat dengan tangan diselipkan di saku celana. Dengan jas hitam slim-fit dan ekspresi percaya diri, ia tampak seperti tokoh antagonis dalam drama korporat."Reyhan," sapa Alex, lalu menepuk bahunya keras. "Selamat datang kembali di perusahaanku."Reyhan tersenyum simpul. “Terima kasih… Pak. Saya siap bekerja.”Alex mengernyitkan dahi, meski sebelumnya ia minta di panggil Alex saja, tapi mungkin Reyhan merasa itu tidak sopan jadi di biarkan saja,"Bagus. Mulai hari ini, kamu Direktur Operasional Wira Corp," ujar Alex dengan nada seolah sedang mengumumkan promosi pada
Siang mulai bergulir ke sore, cahaya matahari menyusup malu-malu melalui tirai tipis ruang tamu. Suasana rumah itu terasa tenang, namun ketegangan tipis mengendap di udara.Naira kembali dari dapur dengan membawa piring berisi kue dan sepiring buah yang baru dipotong.Meski dalam hatinya ia masih menyimpan luka dari hinaan halus dan tawa merendahkan tadi, wajahnya tetap tenang. Senyumnya rapi, dan matanya tajam.“Saya nggak tahu selera tamu satu ini,” ucapnya sambil meletakkan piring di meja. “Tapi semoga cocok. Di rumah ini, kami memang biasa menyambut tamu dengan baik, meskipun kadang tamunya sendiri lupa sopan santun.”Alex menatapnya sekilas, lalu menyeringai. “Wah, pedas juga ya omongannya. Aku kira kamu orangnya kalem.”Liza terkekeh pelan. “Kak Arga memang suka yang beda, Kak. Nggak heran sih kalau pilihannya agak... unik.” Ia menatap Naira penuh arti sambil menyuapkan sepotong buah ke mulutnya dengan gaya manja.Naira tak bereaksi, hanya menatap keduanya dengan senyum yang tak
Setelah telepon ditutup, Liza masih terduduk di sisi tempat tidurnya. Tapi belum sempat ia menaruh ponselnya, layar kembali menyala pesan masuk dari Alex.Maaf... cara ngomongku tadi kelewatan. Aku cuma... ya, kamu tahu sendiri, kan?Liza menarik napas panjang, lalu mengetik balasan singkat:Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti kok.Panggilan masuk dari Alex kembali muncul. Kali ini, nada suaranya lebih tenang."Thanks, Liza," ujarnya lembut. "Aku cuma... kaget aja. Udah lama nggak dengar kabar, tahu-tahu kamu udah di rumah Arga. Kamu tahu sendiri... dia bukan orang yang netral kalau udah urusan keluarga."Liza tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Aku ngerti. Aku juga salah, harusnya kabarin Kak Alex dulu.""Jadi sekarang kamu lagi ngapain setelah lulus? Jangan-jangan udah direkrut jadi asistennya Kak Arga?" tanyanya dengan nada bercanda, tapi ada nada cemburu samar di baliknya.Liza tertawa kecil, sopan. "Baru kepikiran mau cari pengalaman. Tadi sempat obrolin soal magang