Anisa, wanita sederhana yang hidupnya dipenuhi penderitaan akibat suami dan mertuanya, menemukan kekuatan tak terduga setelah dikhianati. Sebagai pewaris kerajaan bisnis, Anisa kembali sebagai CEO berkuasa dan merencanakan pembalasan elegan terhadap mereka yang meremehkannya. Sambil memastikan anaknya, Adit, tumbuh di lingkungan penuh kasih, Anisa membuktikan bahwa wanita yang dianggap lemah bisa bangkit dan mengubah nasib dengan kekuatan luar biasa.
View MoreLangit baru mulai berwarna biru keabu-abuan saat Anisa membuka matanya. Dini hari selalu terasa dingin di rumah mertuanya, bukan hanya karena udara, tetapi juga suasananya. Ia menarik selimut tipis dari tubuhnya, menatap sekilas Adit, anaknya yang masih terlelap di atas kasur kecil di sudut kamar. Wajah polos bocah berusia lima tahun itu menjadi satu-satunya alasan Anisa bertahan di rumah ini.
Dengan langkah pelan agar tidak membangunkan Adit, ia menuju dapur. Seperti rutinitas setiap pagi, ia harus memastikan semuanya siap sebelum anggota keluarga lain bangun. Mulai dari sarapan, air panas untuk mandi, hingga seragam kerja suaminya.
Dapur itu kecil dan sempit, dengan dinding bercat pudar yang sudah lama tidak diperbaiki. Anisa meraih apron dan mulai memasak. Tangannya lincah mengiris bawang, meski matanya terasa perih akibat asap dari kompor minyak. Namun, perih itu tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang ia sembunyikan di dalam hatinya.
Saat itu, suara ketukan sepatu terdengar mendekat. Anisa menegakkan tubuhnya, tahu persis siapa yang datang.
“Anisa! Mana kopiku?” suara nyaring Bu Ratna, ibu mertuanya, membuat tubuh Anisa refleks menegang.
“Sebentar, Bu. Ini masih dibuatkan,” jawab Anisa lembut sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir. Tangannya gemetar sedikit karena ia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat Bu Ratna meledak.
Ketika ia menyajikan kopi di meja makan, Bu Ratna sudah duduk dengan ekspresi tidak puas, seperti biasa. Perempuan paruh baya itu menatap Anisa dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah mencari alasan untuk mengkritiknya.
“Kenapa kamu masih pakai baju seperti itu? Kalau ada tamu pagi ini, mereka pasti pikir kita mempekerjakan pembantu yang tidak tahu tata krama.”
Anisa hanya menunduk. Ia ingin menjelaskan bahwa bajunya ini adalah yang paling bersih yang ia miliki, tetapi ia tahu tidak ada gunanya. Bu Ratna tidak pernah peduli pada penjelasan atau alasannya.
“Lain kali pakai baju yang pantas. Jangan bikin malu keluarga ini,” sambung Bu Ratna sambil menyeruput kopinya. Namun, setelah satu tegukan, wajahnya langsung berkerut.
“Manis sekali! Apa kamu pikir saya suka minum gula?” Bu Ratna menatapnya tajam.
“Maaf, Bu. Saya akan buat yang baru,” ujar Anisa, buru-buru mengambil cangkir itu lagi.
Namun, sebelum ia sempat beranjak ke dapur, suara langkah lain terdengar. Kali ini Farhan, suaminya, muncul dari arah tangga. Dengan kemeja kusut dan wajah yang tampak masih mengantuk, ia langsung mendekati meja makan tanpa sepatah kata untuk istrinya.
“Apa lagi ini?” Farhan mencicipi kopi di cangkir Bu Ratna yang belum sempat dibawa Anisa ke dapur. Ia langsung meletakkan cangkir itu dengan kasar di meja.
“Kamu nggak bisa bikin kopi, ya? Manis banget!” bentaknya.
Anisa menunduk, menggenggam cangkir itu erat untuk menyembunyikan getar di tangannya. “Maaf, aku akan bikin yang baru.”
“Sudahlah, nggak usah bikin. Aku beli kopi di jalan saja. Nggak perlu buang waktu dengan kopi buatanmu,” balas Farhan dengan nada sinis. Ia mengambil tas kerjanya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi.
Anisa berdiri di sana, memandangi punggung Farhan yang menghilang di balik pintu. Setiap kata yang ia ucapkan tadi meninggalkan luka, tapi bukan luka yang baru. Luka itu sudah ada sejak lama, hanya semakin menganga setiap harinya.
Setelah sarapan selesai, Anisa mulai membereskan meja. Ia menyaksikan Adit yang sedang bermain dengan balok kayu di ruang tamu. Bocah kecil itu terlihat begitu gembira, senyum ceria menghiasi wajahnya. Melihat itu, Anisa merasa ada sedikit kehangatan di dalam hatinya, meski hanya sesaat.
Namun, tawa Adit terhenti ketika Bu Ratna mendekati bocah itu.
“Adit, jangan main di sini! Kotor sekali, nanti tamu datang malu kita!” hardik Bu Ratna.
“Bu, biar Adit main di sini dulu. Setelah selesai, saya akan bersihkan,” ujar Anisa dengan nada hati-hati.
Bu Ratna menatapnya dengan tatapan dingin. “Kamu memang ibu yang malas. Adit ini jadi susah diatur karena kamu tidak mendidiknya dengan baik. Kalau saja Farhan menikah dengan wanita lain, pasti anak ini tidak begini.”
Anisa tidak menjawab. Ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, ia menarik napas dalam-dalam dan membantu Adit membereskan mainannya.
Malam itu, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Anisa kembali ke kamarnya yang kecil di bagian belakang rumah. Adit sudah tertidur, pelan mendengkur di atas kasur kecilnya. Anisa duduk di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke arah laci tua di meja.
Ia membuka laci itu perlahan, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya penghiburan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah amplop tua dengan tulisan tangan yang sudah familiar.
Ia mengenali tulisan itu. Itu adalah tulisan tangan ibunya. Dengan hati-hati, ia membuka surat itu dan mulai membacanya.
"Anisa, anakku, jika kau membaca ini, mungkin hidupmu sedang sulit. Tapi ketahuilah, kau adalah pewaris sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang kau kira. Kekuatan dan kebesaranmu ada di dalam dirimu sendiri. Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu. Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan, dan waktumu akan tiba."
Anisa menutup surat itu dengan tangan gemetar. Air mata mengalir di pipinya tanpa suara. Kata-kata ibunya terasa seperti pelukan hangat yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Anisa merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Meskipun kecil, ada api yang mulai menyala. Sebuah harapan yang perlahan tumbuh, seperti tunas kecil yang muncul dari tanah yang tandus.
Ia menatap Adit yang terlelap, lalu memejamkan matanya. Ia tahu, jika waktunya tiba, ia tidak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi.
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga
Ketika fajar menyingsing, sinar matahari pagi yang seharusnya menenangkan hanya terasa seperti beban tambahan di hati Anisa. Ia belum tidur semalaman, pikirannya dipenuhi oleh ancaman Kallen dan keputusan besar yang harus ia buat.Di kamar hotel kecil itu, Anisa duduk di meja, menatap dokumen yang telah menjadi pusat dari semua kekacauan ini. Dimas masuk, membawa dua cangkir kopi. "Kau butuh ini," katanya sambil meletakkan salah satunya di depan Anisa."Terima kasih," jawab Anisa pelan. Tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar. "Dimas, kita harus bergerak sekarang. Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu Kallen menghancurkan semuanya."Dimas duduk di seberangnya, menatap tajam. "Apa yang kau rencanakan? Kau tahu dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan dokumen itu. Dan bahkan setelah itu, dia mungkin tetap akan menyingkirkanmu."Anisa menghela napas panjang. "Aku tahu. Itulah mengapa kita harus melawan balik. Bukan hanya melindungi dokumen ini, tapi juga menjatuhkan Umbra
Pistol di tangan Kallen terasa seperti penghalang tak kasatmata yang memisahkan Anisa dari kebebasannya. Laras dingin itu mengarah tepat ke dadanya, membuat napasnya terhenti. Suara alarm di luar ruangan seolah meredup, tergantikan oleh detak jantungnya yang memburu.Dimas berdiri mematung, tidak berani bergerak. Tatapannya bergantian antara Anisa dan Kallen, seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia harus bertindak atau menunggu.“Kallen,” Anisa memulai, suaranya penuh kontrol meski emosi di dalamnya berkecamuk. “Aku tidak tahu apa permainanmu, tapi jika kau ingin dokumen ini, kau harus melewatiku.”“Aku tidak punya waktu untuk berdebat, Anisa,” jawab Kallen dingin. “Dokumen itu lebih penting dari yang kau kira. Serahkan, dan aku akan memastikan kau keluar dari sini hidup-hidup.”“Dan jika aku tidak menyerahkannya?” Anisa menantang, matanya menatap lurus ke arah pria itu.Kallen menghela napas berat, seolah-olah ia lelah dengan drama ini. “Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku tid
Langit malam itu gelap pekat, hanya dihiasi bintang-bintang yang bertebaran seolah memperhatikan kehidupan di bawahnya. Di dalam apartemennya, Anisa menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Pesan dari Kallen terus terngiang di pikirannya: “Waktumu hampir habis.”Ia bertanya-tanya apa maksudnya. Apakah Kallen tahu sesuatu yang ia tidak tahu? Atau ini hanya trik untuk menekan langkahnya? Namun, satu hal jelas—waktunya untuk bergerak semakin dekat.Anisa menyandarkan kepalanya ke sofa, menutup matanya untuk sejenak. Tapi ketegangan dalam dadanya terus membesar, membuatnya sulit bernapas. Pikiran tentang Adit, tentang misi ini, dan tentang siapa yang bisa ia percayai terus membayangi. Ketika akhirnya ia berdiri, keputusan telah diambil. Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi.Esok paginya, Anisa bertemu dengan Dimas di sebuah gedung tua di pinggiran kota. Tidak ada papan nama, hanya pintu kayu besar yang hampir terkelupas catnya. Di dalam, ruangan itu penuh dengan alat-alat teknologi ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments