Anisa meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar. Siapa yang menelepon tadi? Mengapa Pak Suryo tidak bisa bicara sendiri? Berbagai pertanyaan berputar di pikirannya. Dia merasa bingung dan cemas. Dia harus mengetahui lebih lanjut tentang apa yang sedang terjadi.
Keesokan paginya, Anisa bangun lebih awal. Dia merasa resah dan tidak bisa tidur nyenyak semalam. Adit masih tidur lelap di kamarnya, jadi Anisa memutuskan untuk keluar rumah dan mencari udara segar. Dia berjalan ke taman kecil di dekat rumahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Saat duduk di bangku taman, Anisa memikirkan kembali semua yang telah terjadi dalam beberapa hari terakhir. Informasi tentang warisan keluarganya, pertemuan dengan Lina, dan telepon misterius tadi malam semuanya membuat Anisa merasa seakan-akan hidupnya berada di ambang perubahan besar. Namun, dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini.
Haruskah dia mempercayai Lina? Bagaimana dengan Pak Suryo? Dan siapa sebenarnya yang menelepon tadi malam?
Pikirannya melayang kembali ke percakapan dengan Lina. Dia tahu bahwa Arif bukan suami yang setia, tapi mendengar bahwa dia terlibat dalam bisnis yang tidak jujur dan memiliki hubungan dengan kelompok berkuasa di kota ini adalah sesuatu yang baru. Anisa harus memastikan keamanan dirinya dan Adit.
Namun, sebelum dia bisa mengambil keputusan, dia perlu lebih banyak informasi. Anisa memutuskan untuk kembali menghubungi Pak Suryo dan memastikan semua yang terjadi adalah benar.
Setelah kembali ke rumah, Anisa mengambil ponselnya dan menelepon kantor Pak Suryo. "Halo, saya Anisa. Bisakah saya berbicara dengan Pak Suryo?"
"Maaf, Pak Suryo sedang tidak di kantor. Apakah ada pesan yang ingin Anda sampaikan?" jawab resepsionis dengan sopan.
Anisa merasa semakin cemas. "Bisakah Anda memberitahu kapan beliau akan kembali? Ini sangat penting."
"Beliau sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis dan akan kembali dalam dua hari," jawab resepsionis.
"Baiklah, terima kasih," kata Anisa sebelum menutup telepon.
Anisa merasa buntu. Dia harus menunggu dua hari untuk bertemu Pak Suryo, tapi rasa cemasnya semakin besar. Dia memutuskan untuk menemui Lina lagi dan mencari tahu lebih banyak informasi dari wanita itu.
Anisa menghubungi Lina dan mengatur pertemuan di kafe yang sama. Ketika mereka bertemu, Anisa langsung menanyakan hal-hal yang mengganggu pikirannya.
"Lina, aku butuh tahu lebih banyak tentang Arif dan keluarganya. Apa sebenarnya yang mereka rencanakan? Mengapa kamu tiba-tiba muncul dan memberitahuku semua ini?" tanya Anisa dengan tegas.
Lina menghela napas panjang sebelum menjawab. "Anisa, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku merasa kamu berhak mengetahui kebenarannya. Arif dan keluarganya bukan hanya terlibat dalam bisnis yang tidak jujur, mereka juga memiliki rencana besar yang melibatkan perusahaanmu. Mereka ingin menguasai perusahaan keluargamu dan menggunakan kekayaanmu untuk kepentingan mereka sendiri."
Anisa terkejut mendengar hal ini. "Bagaimana mungkin? Apa bukti yang kamu punya?"
Lina mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya dan menyerahkannya kepada Anisa. "Ini adalah bukti-bukti yang aku kumpulkan selama ini. Aku tahu ini banyak untuk diterima sekaligus, tapi kamu harus berhati-hati."
Anisa membuka dokumen-dokumen itu dan mulai membaca. Bukti-bukti itu menunjukkan bahwa Arif dan keluarganya memang memiliki niat jahat terhadap perusahaan keluarganya. Mereka telah merencanakan untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan dengan cara yang licik.
"Terima kasih, Lina. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Ini semua sangat mengejutkan," kata Anisa dengan suara bergetar.
"Aku hanya ingin kamu tahu, Anisa. Kamu harus melindungi dirimu sendiri dan Adit. Jangan biarkan mereka mengambil keuntungan dari kamu," kata Lina dengan serius.
Anisa mengangguk, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya. Dia merasa bingung dan cemas, tapi juga marah. Bagaimana Arif bisa begitu kejam? Bagaimana dia bisa merencanakan semua ini tanpa sepengetahuannya?
Setelah pertemuan itu, Anisa kembali ke rumah dengan hati yang penuh dilema. Dia tahu bahwa dia harus bertindak, tapi dia tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak bisa menghubungi Pak Suryo, dan dia juga tidak tahu siapa yang bisa dipercayai.
Malam itu, Anisa tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara untuk melindungi dirinya dan Adit. Dia tahu bahwa dia harus mengambil tindakan cepat, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Saat subuh tiba, Anisa membuat keputusan. Dia akan menemui seseorang yang mungkin bisa membantunya. Seseorang yang dia kenal dari masa lalunya, yang bisa memberinya nasihat dan dukungan.
Pagi harinya, Anisa menghubungi Sari dan memberitahunya bahwa dia harus pergi sebentar untuk urusan penting. Sari mengerti dan setuju untuk menjaga Adit sementara Anisa pergi.
Anisa menuju ke sebuah alamat yang dia simpan dalam benaknya sejak lama. Alamat itu adalah milik teman lama keluarganya, Pak Herman. Pak Herman adalah seorang pengacara berpengalaman yang dulu sering membantu keluarganya dalam berbagai urusan hukum.
Saat tiba di rumah Pak Herman, Anisa merasa sedikit lega. Dia berharap Pak Herman bisa memberinya petunjuk tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Pak Herman menyambut Anisa dengan hangat dan mengundangnya masuk. Setelah berbasa-basi sejenak, Anisa mulai menceritakan semua yang terjadi. Dari warisan keluarganya hingga rencana jahat Arif dan keluarganya.
Pak Herman mendengarkan dengan seksama dan sesekali mengangguk. Setelah Anisa selesai bercerita, Pak Herman menghela napas panjang.
"Anisa, kamu melakukan hal yang benar dengan datang ke sini. Kita perlu mengambil tindakan cepat untuk melindungi aset-aset keluargamu dan memastikan bahwa mereka tidak bisa mengambil alih perusahaanmu," kata Pak Herman dengan tegas.
Anisa merasa sedikit lega mendengar kata-kata Pak Herman. "Apa yang harus kita lakukan, Pak?"
"Kita harus mengamankan kepemilikan perusahaanmu terlebih dahulu. Aku akan membantu mengurus semua dokumen yang diperlukan. Selain itu, kita juga perlu menyelidiki lebih lanjut tentang aktivitas Arif dan keluarganya," jelas Pak Herman.
Anisa mengangguk, merasa bahwa dia akhirnya memiliki arah yang jelas. "Terima kasih, Pak Herman. Saya sangat menghargai bantuan Anda."
Pak Herman tersenyum. "Keluarga kita sudah saling mengenal sejak lama, Anisa. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantumu."
Setelah pertemuan itu, Anisa merasa lebih kuat dan siap menghadapi tantangan yang ada di depannya. Dia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjuangannya, tetapi setidaknya dia memiliki sekutu yang bisa diandalkan.
Namun, saat Anisa kembali ke rumah, dia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Di depan pintu rumahnya, ada sebuah paket besar yang tidak ada nama pengirimnya. Anisa merasa curiga dan hati-hati saat membuka paket itu.
Di dalamnya, dia menemukan dokumen-dokumen yang lebih mengejutkan. Dokumen-dokumen itu berisi rincian lebih lanjut tentang rencana jahat Arif dan keluarganya, termasuk nama-nama orang yang terlibat dan bukti transaksi keuangan yang mencurigakan.
Anisa tidak tahu siapa yang mengirimkan paket ini, tetapi satu hal yang pasti: dia harus bertindak cepat.
Setelah membuka paket itu dengan cepat, Anisa menemukan sebuah catatan kecil yang hanya berisi satu kalimat:
"Ini hanya permulaan. Waspadalah, mereka sedang mengawasimu."
Anisa merasa jantungnya berdegup kencang. Siapa yang mengirimkan paket ini? Dan seberapa dalam keterlibatan Arif dan keluarganya? Anisa tahu bahwa waktu semakin mendesak, dan dia harus bergerak cepat sebelum semuanya terlambat.
Anisa bangun dengan perasaan berat di dadanya. Matanya masih tajam menatap langit-langit kamar sambil mengingatp esan dari Pak Herman dan temuan tentang rencana jahat Arif dan keluarganya. Dia terus membayanginya.Hari ini adalah titik balik dalam hidupnya. Setelah mengantar Adit ke sekolah, Anisa langsung menuju kantor Pak Herman. Ia harus memastikan semuanya tertata rapi sebelum melangkah lebih jauh.Setibanya di kantor, Pak Herman sudah menunggunya di ruang pertemuan kecil yang terpencil di ujung gedung. Segelas kopi sudah terhidang di mejanya. Raut wajah yang serius, mencerminkan beratnya situasi yang mereka hadapi. “Anisa, kita perlu mempercepat langkah kita. Arif dan keluarganya semakin dekat dengan tujuan mereka, dan kita harus siap menghadapinya,” kata Pak Herman tanpa basa-basi sambil menyeruput kopinyaAnisa mengangguk tegas. “Saya siap, Pak Herman. Apa langkah pertama kita?”Pak Herman menyerahkan beberapa dokumen kepada Anisa. “Ini adalah surat-surat kepemilikan dan beber
Anisa merasa semakin kuat setiap hari. Dengan bantuan Pak Herman dan dukungan moral dari Lina, ia semakin mantap melanjutkan rencana untuk melindungi dirinya dan Adit. Hari ini, Anisa berencana menemui seorang teman lama ayahnya yang juga seorang ahli keuangan, Bapak Yudi. Dia berharap Bapak Yudi bisa memberikan saran tambahan tentang cara terbaik untuk mengelola dan menyembunyikan aset-asetnya.Setelah mengantar Adit ke sekolah, Anisa pergi ke sebuah kafe mewah di pusat kota, tempat di mana ia dan Bapak Yudi berjanji bertemu. Kafe itu terletak di sebuah gedung perkantoran yang tinggi dengan pemandangan kota yang indah. Anisa tiba lebih awal dan memilih meja di sudut yang agak tersembunyi. Ia memesan secangkir teh dan menunggu dengan sabar.Beberapa menit kemudian, seorang pria tua dengan rambut beruban masuk ke dalam kafe. Matanya segera menemukan Anisa dan ia tersenyum hangat. "Anisa, sudah lama kita tidak bertemu," sapa Bapak Yudi sambil duduk di depan Anisa."Pak Yudi, terima kas
Anisa merasa jantungnya berdebar ketika ia dan Lina melarikan diri dari taman. Mereka menyadari bahwa mereka sedang dalam bahaya dan harus segera mencari tempat yang aman. Dalam perjalanan kembali ke rumah, Anisa berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa mereka perlu memikirkan langkah berikutnya dengan hati-hati.Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, Anisa dan Lina sampai di rumah. Mereka segera masuk ke dalam dan mengunci pintu. Anisa membuka amplop yang diberikan Lina dan mulai memeriksa foto dan dokumen dengan cermat. Foto-foto itu menunjukkan Arif bersama seorang wanita misterius di lokasi-lokasi yang tidak diketahui. Dokumen-dokumen tersebut memperlihatkan transaksi keuangan yang mencurigakan, dengan jumlah besar yang berpindah dari rekening ke rekening dengan cara yang tidak jelas.Lina memecah keheningan. "Anisa, ini bukan hanya tentang pen
Pagi itu, Anisa terbangun lebih awal seperti biasa. Jarum jam di dinding masih berdetak dengan lirih terdengar olehnya. Dengan mata yang masih menyipit dia melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. Ia merapikan tempat tidur dengan hati-hati, memastikan setiap sudut selimut dan bantal berada pada tempatnya. Suaminya, Arif, masih terlelap dengan napas yang terdengar berat. Anisa menatap wajah suaminya sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar kamar, menuju dapur.Rutinitas pagi Anisa selalu dimulai dengan menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Ia tahu betul selera masing-masing anggota keluarganya. Mertuanya, Bu Ratna, menyukai bubur ayam dengan banyak sambal. Arif lebih memilih nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang. Dan Adit, anak semata wayangnya, selalu minta roti panggang dengan selai cokelat. Anisa menikmati setiap langkah proses memasak itu, meski tak pernah ada ucapan terima kasih yang diterimanya.Suara-suara langkah kaki mulai berdatangan dari segala penj
Anisa menghabiskan malam itu dengan gelisah. Pikiran tentang apa yang akan terjadi esok malam terus mengganggu tidurnya. Saat akhirnya pagi menjelang ia harus melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya: mencari tahu kebenaran tentang suaminya.Setelah sarapan dan mengantar Adit ke sekolah, Anisa kembali ke rumah dan mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa tindakan ini berisiko, tetapi ia tidak bisa lagi hidup dalam ketidakpastian. Pikirannya terus berputar, mencari cara terbaik untuk mendapatkan informasi tanpa menimbulkan kecurigaan.Siang itu, Anisa memutuskan untuk menghubungi sahabat lamanya, Sari. Sari adalah satu-satunya orang yang tahu tentang semua masalah rumah tangganya. Meski sudah lama tidak berhubungan, Anisa merasa ini saat yang tepat untuk meminta bantuan."Anisa! Lama tidak ada kabar, ada apa ini tiba-tiba menelepon?" suara ceria Sari terdengar di telepon."Sari, aku butuh bantuanmu. Ini penting," kata Anisa dengan suara serius."Ada apa,
Anisa menutup telepon dengan tangan gemetar. Kata-kata yang baru saja didengarnya masih bergema di kepalanya: "Halo, Anisa. Ini tentang warisan keluargamu. Kita perlu bicara segera." Hati dan pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna informasi yang tiba-tiba ini. Warisan keluarga? Apa maksudnya?Sari yang berada di sebelahnya menatap Anisa dengan cemas. "Siapa yang menelepon, Nis? Apa yang terjadi?"Anisa menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri. "Sepertinya ada yang ingin bicara tentang warisan keluarga. Aku tidak tahu apa ini, tapi aku harus mencari tahu.""Warisan? Maksudmu keluargamu yang dulu?" Sari bertanya dengan kening berkerut."Ya, mungkin. Aku sendiri tidak begitu paham. Tapi aku harus bertemu dengan orang ini dan mendengarkan apa yang dia katakan," jawab Anisa dengan tegas.Setelah meninggalkan hotel, Anisa dan Sari kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Anisa dip
Anisa duduk di meja makan, menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Lina. Di layar, alamat pertemuan besok dan kata-kata misterius "Ada sesuatu yang kamu harus tahu tentang Arif dan keluarganya, sesuatu yang bisa mengubah segalanya" terpampang jelas. Hatinya berdebar-debar, mencoba menangkap arti dari pesan itu. Apa yang sebenarnya Lina ketahui? Apa yang tidak diketahui Anisa tentang Arif?Sekarang, pikiran Anisa berkecamuk dengan pertanyaan tanpa jawaban. Dia tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya besok. Apakah Lina akan membawa bukti? Atau mungkin hanya spekulasi? Apapun itu, Anisa merasa bahwa ini adalah waktu yang krusial untuk mengetahui kebenaran.Esok paginya, Anisa memutuskan untuk mengambil hari libur dari pekerjaannya sebagai asisten administratif di sebuah perusahaan kecil. Ia memberitahu bosnya bahwa ada urusan pribadi mendesak yang perlu diurus. Bosnya m