Anisa duduk diam di kamar, memeluk lututnya. Pikirannya kacau setelah kejadian tadi malam. Ia hampir tertangkap oleh Farhan saat mencoba mengakses laptopnya. Ketika bayangan wajah marah Farhan terlintas, ia merasa napasnya tercekat.
Namun, rasa takut itu tidak menghentikannya. Jika ia menyerah sekarang, Farhan akan terus memegang kendali atas hidupnya. Pikirannya kembali pada dokumen-dokumen yang sempat ia lihat. Meski hanya sebentar, ia menangkap cukup banyak petunjuk. Ada angka besar yang dipindahkan ke rekening tak dikenal, dan ada beberapa nama asing yang sering muncul dalam email Farhan.
“Apa ini semua ada hubungannya dengan pekerjaannya? Atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?” gumam Anisa pelan.
Pagi itu, Farhan tampak lebih pendiam dari biasanya. Ia menatap Anisa sesekali saat sarapan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ketegangan di udara terasa begitu nyata sehingga bahkan mertuanya, Bu Asni, ikut memperhatikan.
“Kalian berdua ada masalah?” tanya Bu Asni dengan nada menyelidik.
“Tidak ada apa-apa, Bu,” jawab Farhan cepat, sambil menyeringai tipis. “Mungkin Anisa cuma kelelahan.”
Anisa tersenyum kecil, tetapi senyuman itu tidak sampai ke matanya. Ia merasa seperti sedang diawasi, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.
Setelah Farhan pergi bekerja, Anisa mencoba menyusun rencana. Ia tahu bahwa untuk menghadapi Farhan, ia membutuhkan bukti yang lebih kuat. Dokumen dari laptop tadi malam adalah awal yang bagus, tetapi ia tidak bisa mendapatkannya tanpa risiko besar.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu—sebuah ingatan dari percakapan mereka beberapa bulan lalu. Farhan pernah menyebutkan tentang kantor cabang baru yang dibuka di luar kota. Anisa yakin ada sesuatu yang penting di sana.
“Aku harus pergi ke sana,” pikirnya.
Namun, ia tahu bahwa rencananya ini berbahaya. Jika Farhan mengetahui langkahnya, ia bisa kehilangan segalanya, termasuk hak asuh Adit.
Malam itu, setelah memastikan Adit sudah tertidur, Anisa mencoba menelepon sahabat lamanya, Lia. Meski mereka sudah jarang berkomunikasi sejak Anisa menikah, Lia adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini.
“Lia, aku butuh bantuanmu,” kata Anisa dengan nada rendah.
“Anisa? Sudah lama sekali kamu nggak hubungi aku. Ada apa?” suara Lia terdengar penuh perhatian.
Anisa menjelaskan situasinya dengan singkat. Ia tidak menyebutkan semua detail, tetapi cukup bagi Lia untuk memahami bahwa Anisa sedang berada dalam masalah besar.
“Aku bisa bantu, tapi kamu harus hati-hati. Farhan itu licik,” kata Lia.
“Aku tahu. Itulah kenapa aku butuh seseorang yang bisa aku percaya,” jawab Anisa.
Mereka menyusun rencana. Lia akan membantu Anisa mengakses informasi tentang kantor cabang Farhan. Sementara itu, Anisa akan mencoba mencari bukti lebih lanjut di rumah.
Keesokan harinya, Anisa pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Tetapi, tujuan sebenarnya adalah bertemu dengan Lia di sebuah kafe kecil di dekat sana.
Ketika mereka bertemu, Anisa merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Lia, dengan senyumnya yang hangat, memberinya rasa aman yang sudah lama hilang dari hidupnya.
“Aku sudah cek kantor cabang itu,” kata Lia sambil menyerahkan beberapa lembar dokumen. “Ada sesuatu yang aneh di sana. Mereka sering menerima pengiriman besar, tapi nggak ada catatan transaksi resmi.”
Anisa membaca dokumen itu dengan saksama. Dokumen-dokumen itu menunjukkan pola yang mencurigakan—pengiriman dalam jumlah besar ke alamat tertentu, tetapi tidak pernah ada laporan penerimaan.
“Ini bisa jadi bukti awal,” kata Anisa dengan mata yang berbinar.
Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, Anisa merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Ia menoleh cepat, tetapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan.
“Kamu kenapa?” tanya Lia.
“Nggak apa-apa. Aku cuma merasa ada yang aneh,” jawab Anisa, meski hatinya merasa tidak tenang.
Ketika Anisa kembali ke rumah, ia mendapati Farhan sudah di sana, duduk di ruang tamu dengan wajah serius. Di atas meja, ada sebuah dokumen yang terlihat familiar.
“Dari mana saja kamu?” tanya Farhan dengan nada tajam.
“Ke pasar, seperti biasa,” jawab Anisa sambil mencoba terlihat tenang.
Farhan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mencoba membaca pikirannya.
“Aku dengar kamu bertemu dengan seseorang hari ini,” katanya akhirnya.
Jantung Anisa berdetak kencang. Apakah Farhan sudah tahu tentang pertemuannya dengan Lia? Atau ini hanya tebakan?
“Aku ketemu penjual langganan di pasar. Kenapa?” jawab Anisa, mencoba terdengar santai.
Farhan berdiri dan mendekatinya. “Kalau aku tahu kamu mencoba sesuatu yang aneh, kamu tahu apa akibatnya, kan?”
Anisa hanya diam, tetapi di dalam hatinya, ia merasa marah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan seperti ini.
Malam itu, setelah Farhan tertidur, Anisa kembali ke ruang kerja. Ia harus mengambil risiko untuk mendapatkan dokumen-dokumen itu. Namun, ketika ia membuka laptop Farhan, ia mendapati bahwa laptop itu sekarang dilindungi dengan sistem keamanan yang lebih ketat.
Ia mencoba beberapa kali, tetapi tidak berhasil. Di saat yang sama, ia mendengar suara langkah kaki dari luar ruangan.
Anisa segera mematikan laptop dan bersembunyi di balik lemari.
Farhan masuk ke ruang kerja, matanya menyapu ruangan dengan hati-hati. Ia berjalan ke meja kerja, memeriksa laptopnya, lalu menatap sekeliling.
“Kalau kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku, kamu salah besar,” gumamnya sebelum meninggalkan ruangan.
Ketika Anisa keluar dari persembunyian, ia menemukan sebuah catatan kecil di bawah laptop Farhan yang bertuliskan, “Kamu tidak akan pernah menang.”
Pagi itu, Anisa tidak bisa menghilangkan rasa gelisah dari pikirannya. Catatan kecil yang ia temukan di bawah laptop Farhan semalam terus menghantuinya. Kata-kata itu—“Kamu tidak akan pernah menang”—membawa pesan yang jelas: Farhan tahu sesuatu.Namun, ia memutuskan untuk tidak menunjukkan apa-apa. Jika ia bereaksi, Farhan akan semakin curiga.Ketika Farhan bersiap untuk pergi ke kantor, ia menatap Anisa dengan mata dingin. “Aku akan pulang malam ini. Ada rapat penting,” katanya tanpa banyak penjelasan.Anisa hanya mengangguk, berusaha terlihat seperti istri yang patuh. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu ini adalah peluang. Dengan Farhan pergi sepanjang hari, ia punya waktu untuk memikirkan langkah berikutnya.Setelah memastikan Farhan sudah benar-benar pergi, Anisa menghubungi Lia lagi.“Lia, aku butuh bantuannya lagi,” katanya pelan.“Kamu aman?” tanya Lia, terdengar khawatir.“Untuk sekarang, iya. Tapi aku harus bergerak cepat sebelum semuanya jadi lebih buruk,” jawab Anisa.Mereka se
Hari itu, cuaca mendung, seolah mencerminkan perasaan Anisa yang semakin berat. Pagi tadi, ia mendapati laptopnya dimatikan dengan sendirinya, dan pesan misterius itu membuat jantungnya berdegup cepat. "Aku selalu mengawasi," kata pesan itu. Siapa yang mengirimnya? Farhan? Atau seseorang yang bekerja sama dengannya?Dengan napas terengah-engah, Anisa duduk di meja kerjanya, mencoba mengumpulkan pikirannya. Ia memeriksa laptopnya dengan teliti, namun tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan selain pesan tersebut. Semua file yang hilang—file yang berisi informasi penting—tersembunyi dengan baik, seolah-olah seseorang telah menghapusnya atau memindahkannya dengan sangat rapi.Namun, di dalam hatinya, Anisa tahu bahwa ini adalah peringatan. Ia tidak bisa lengah lagi. Farhan sudah mulai melacak setiap langkahnya.Saat makan siang, Farhan kembali pulang lebih awal. Anisa bisa merasakan kehadirannya sebelum ia melihatnya. Ada sesuatu yang berbeda dengan cara Farhan menatapnya. Seolah-olah ia b
Anisa berdiri diam di dalam kafe, menatap mobil gelap yang berhenti di luar. Siluet seorang pria di dalamnya begitu familiar. Jantungnya berdegup kencang. Farhan. Kenapa dia bisa tahu dia ada di sini?Dimas, yang melihat wajah Anisa berubah menjadi pucat, segera menyarankan agar mereka pergi. “Cepat, kamu harus pergi sekarang juga. Kita nggak punya banyak waktu.”Anisa tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi segera berbalik dan melangkah cepat menuju pintu belakang kafe. Dimas mengikuti, matanya terus menatap ke luar jendela dengan cemas. Mereka berlari keluar menuju mobil Anisa yang terparkir beberapa blok dari kafe. Di belakang mereka, suara deru mesin mobil semakin mendekat. Farhan tidak memberi mereka waktu untuk melarikan diri.“Berhenti!” teriak Dimas panik, melihat sebuah mobil hitam tiba-tiba menghentikan langkah mereka.Anisa hanya bisa tersenyum pahit. "Kami tidak punya pilihan, Dimas. Aku harus menghadapi ini."Dimas tampak khawatir, tetapi Anisa bisa melihat dari matanya b
Melisa berdiri di depan Anisa dengan senyum tipis yang penuh dengan penghinaan. “Kamu kira aku tidak tahu apa yang sedang kamu rencanakan, Anisa?” tanyanya dengan nada mengejek, matanya yang tajam tidak pernah lepas dari wajah Anisa.Anisa menatapnya, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Melisa, meskipun tampak anggun dan cantik, selalu memiliki aura yang mengancam. Sebagai tangan kanan Farhan, Melisa tidak hanya cantik, tetapi juga licik dan pandai memainkan permainan psikologis.“Apa maksudmu, Melisa?” Anisa menjawab dengan suara serak, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa jika ia gagal menghadapi tekanan ini, semua yang telah ia rencanakan akan hancur.Melisa berjalan lebih dekat, langkahnya tenang dan penuh percaya diri. “Aku tahu semua yang kamu lakukan, Anisa. Semua email yang kamu kirim, semua langkah yang kamu ambil untuk mencari tahu tentang Arief Yudha dan Farhan. Jangan pikir kamu bisa menutupi itu dariku.”Anisa menyembunyikan kekhawatirannya di b
Malam itu, suasana di rumah begitu senyap hingga setiap langkah terasa menggema di lorong-lorong. Anisa duduk di ruang kerjanya, cahaya layar laptop menjadi satu-satunya penerangan. Jarinya mengetik cepat, berusaha mengumpulkan semua data yang ia butuhkan. Sejak ia mengetahui hubungan Farhan dengan Arief Yudha, ia tidak bisa berhenti.Tapi di tengah kerja kerasnya, suara pintu yang terbuka keras memecah keheningan. Anisa terkejut, laptopnya hampir tergelincir dari meja. Kepalanya terangkat, dan di sana, berdiri Farhan. Wajahnya dingin seperti ukiran batu, tapi ada kilatan api di matanya yang menandakan amarah terpendam.“Selamat malam, Anisa,” suaranya rendah namun penuh ancaman.Anisa mencoba mengatur napasnya. “Farhan,” balasnya dengan tenang, meskipun jantungnya seperti genderang perang. “Ada apa? Sudah larut malam.”Farhan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan tapi tegas. Dia menatap sekeliling ruangan, seperti seorang pengawas yang sedang mencari bukti tersem
Hening menyelimuti malam ketika Anisa duduk di ruang kerjanya, merenungi pesan ancaman yang baru saja diterimanya. Kata-kata itu terasa seperti jarum yang menusuk jiwanya, terutama karena menyangkut Adit, anaknya yang ia lindungi dengan seluruh jiwa raga.Namun, ketakutan itu tidak menghapus tekadnya. Sebaliknya, ia merasa kemarahan dalam dirinya perlahan tumbuh menjadi energi yang tidak bisa dihentikan. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Adit. Tidak Farhan, tidak siapa pun.Dia menatap layar laptopnya. Data yang telah ia kumpulkan tentang Farhan dan Arief Yudha masih terpampang jelas. Ia menyadari bahwa ancaman ini bukan hanya untuk menghentikannya, tetapi juga untuk membuatnya takut dan kehilangan fokus.“Kalau mereka berpikir aku akan menyerah, mereka salah besar,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.Anisa segera menghubungi Dimas. Saat suara Dimas terdengar di telepon, ia langsung merasa sedikit tenang. “Kita punya masalah,” kata Anisa tanpa basa-basi.“Aku tahu,” balas
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin bertiup melalui jendela kamar Anisa, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia duduk di depan meja kerjanya, memandangi layar laptop yang menampilkan email dari tim legal perusahaan.“Audit telah dimulai. Tim kami menemukan beberapa anomali awal pada laporan keuangan, terutama pada transfer besar ke rekening luar negeri yang tidak jelas pemiliknya. Kami akan melanjutkan penyelidikan.”Anisa menarik napas panjang. Email ini adalah bukti bahwa langkah pertamanya mulai menunjukkan hasil. Namun, ia tahu bahwa semakin dalam timnya menggali, semakin besar risiko yang ia hadapi.Suara pintu yang terbuka dengan keras membuat Anisa tersentak. Dentumannya menggema di ruangan yang sepi, mengoyak keheningan seperti petir di langit malam. Ia menoleh, mendapati Farhan berdiri di ambang pintu. Wajah pria itu memerah, rahangnya mengeras, dan matanya memancarkan kilatan yang mengerikan. Tubuhnya menegang seperti busur yang siap dilepaskan anak
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Rumah besar itu sunyi, tetapi di kamar Anisa, lampu masih menyala. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandangi foto-foto di dalam amplop cokelat yang diterimanya malam itu. Setiap foto terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Ada foto dirinya, Adit di taman bermain, bahkan gambaran sekilas momen ketika mereka di dalam mobil menuju sekolah.Anisa menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Bayangan Adit, anaknya yang polos dan ceria, sekarang diselimuti ancaman yang tidak pernah ia bayangkan. Namun, di tengah rasa takut yang menghantui, ia merasa sesuatu yang lain mulai tumbuh: kemarahan yang menggelegak seperti lava di dalam dirinya.“Mereka telah melewati batas,” pikirnya. Tangannya menggenggam erat foto-foto itu, hingga kertasnya terlipat.Keesokan paginya, Anisa memasuki kamar Adit dengan senyum lemah tapi penuh kasih. Anak kecil itu masih meringkuk di tempat tidurnya, rambut hitamnya berantakan seperti biasanya. Ia terlihat damai,
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga
Ketika fajar menyingsing, sinar matahari pagi yang seharusnya menenangkan hanya terasa seperti beban tambahan di hati Anisa. Ia belum tidur semalaman, pikirannya dipenuhi oleh ancaman Kallen dan keputusan besar yang harus ia buat.Di kamar hotel kecil itu, Anisa duduk di meja, menatap dokumen yang telah menjadi pusat dari semua kekacauan ini. Dimas masuk, membawa dua cangkir kopi. "Kau butuh ini," katanya sambil meletakkan salah satunya di depan Anisa."Terima kasih," jawab Anisa pelan. Tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar. "Dimas, kita harus bergerak sekarang. Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu Kallen menghancurkan semuanya."Dimas duduk di seberangnya, menatap tajam. "Apa yang kau rencanakan? Kau tahu dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan dokumen itu. Dan bahkan setelah itu, dia mungkin tetap akan menyingkirkanmu."Anisa menghela napas panjang. "Aku tahu. Itulah mengapa kita harus melawan balik. Bukan hanya melindungi dokumen ini, tapi juga menjatuhkan Umbra
Pistol di tangan Kallen terasa seperti penghalang tak kasatmata yang memisahkan Anisa dari kebebasannya. Laras dingin itu mengarah tepat ke dadanya, membuat napasnya terhenti. Suara alarm di luar ruangan seolah meredup, tergantikan oleh detak jantungnya yang memburu.Dimas berdiri mematung, tidak berani bergerak. Tatapannya bergantian antara Anisa dan Kallen, seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia harus bertindak atau menunggu.“Kallen,” Anisa memulai, suaranya penuh kontrol meski emosi di dalamnya berkecamuk. “Aku tidak tahu apa permainanmu, tapi jika kau ingin dokumen ini, kau harus melewatiku.”“Aku tidak punya waktu untuk berdebat, Anisa,” jawab Kallen dingin. “Dokumen itu lebih penting dari yang kau kira. Serahkan, dan aku akan memastikan kau keluar dari sini hidup-hidup.”“Dan jika aku tidak menyerahkannya?” Anisa menantang, matanya menatap lurus ke arah pria itu.Kallen menghela napas berat, seolah-olah ia lelah dengan drama ini. “Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku tid
Langit malam itu gelap pekat, hanya dihiasi bintang-bintang yang bertebaran seolah memperhatikan kehidupan di bawahnya. Di dalam apartemennya, Anisa menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Pesan dari Kallen terus terngiang di pikirannya: “Waktumu hampir habis.”Ia bertanya-tanya apa maksudnya. Apakah Kallen tahu sesuatu yang ia tidak tahu? Atau ini hanya trik untuk menekan langkahnya? Namun, satu hal jelas—waktunya untuk bergerak semakin dekat.Anisa menyandarkan kepalanya ke sofa, menutup matanya untuk sejenak. Tapi ketegangan dalam dadanya terus membesar, membuatnya sulit bernapas. Pikiran tentang Adit, tentang misi ini, dan tentang siapa yang bisa ia percayai terus membayangi. Ketika akhirnya ia berdiri, keputusan telah diambil. Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi.Esok paginya, Anisa bertemu dengan Dimas di sebuah gedung tua di pinggiran kota. Tidak ada papan nama, hanya pintu kayu besar yang hampir terkelupas catnya. Di dalam, ruangan itu penuh dengan alat-alat teknologi ya