Melisa berdiri di depan Anisa dengan senyum tipis yang penuh dengan penghinaan. “Kamu kira aku tidak tahu apa yang sedang kamu rencanakan, Anisa?” tanyanya dengan nada mengejek, matanya yang tajam tidak pernah lepas dari wajah Anisa.Anisa menatapnya, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Melisa, meskipun tampak anggun dan cantik, selalu memiliki aura yang mengancam. Sebagai tangan kanan Farhan, Melisa tidak hanya cantik, tetapi juga licik dan pandai memainkan permainan psikologis.“Apa maksudmu, Melisa?” Anisa menjawab dengan suara serak, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa jika ia gagal menghadapi tekanan ini, semua yang telah ia rencanakan akan hancur.Melisa berjalan lebih dekat, langkahnya tenang dan penuh percaya diri. “Aku tahu semua yang kamu lakukan, Anisa. Semua email yang kamu kirim, semua langkah yang kamu ambil untuk mencari tahu tentang Arief Yudha dan Farhan. Jangan pikir kamu bisa menutupi itu dariku.”Anisa menyembunyikan kekhawatirannya di b
Malam itu, suasana di rumah begitu senyap hingga setiap langkah terasa menggema di lorong-lorong. Anisa duduk di ruang kerjanya, cahaya layar laptop menjadi satu-satunya penerangan. Jarinya mengetik cepat, berusaha mengumpulkan semua data yang ia butuhkan. Sejak ia mengetahui hubungan Farhan dengan Arief Yudha, ia tidak bisa berhenti.Tapi di tengah kerja kerasnya, suara pintu yang terbuka keras memecah keheningan. Anisa terkejut, laptopnya hampir tergelincir dari meja. Kepalanya terangkat, dan di sana, berdiri Farhan. Wajahnya dingin seperti ukiran batu, tapi ada kilatan api di matanya yang menandakan amarah terpendam.“Selamat malam, Anisa,” suaranya rendah namun penuh ancaman.Anisa mencoba mengatur napasnya. “Farhan,” balasnya dengan tenang, meskipun jantungnya seperti genderang perang. “Ada apa? Sudah larut malam.”Farhan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan tapi tegas. Dia menatap sekeliling ruangan, seperti seorang pengawas yang sedang mencari bukti tersem
Hening menyelimuti malam ketika Anisa duduk di ruang kerjanya, merenungi pesan ancaman yang baru saja diterimanya. Kata-kata itu terasa seperti jarum yang menusuk jiwanya, terutama karena menyangkut Adit, anaknya yang ia lindungi dengan seluruh jiwa raga.Namun, ketakutan itu tidak menghapus tekadnya. Sebaliknya, ia merasa kemarahan dalam dirinya perlahan tumbuh menjadi energi yang tidak bisa dihentikan. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Adit. Tidak Farhan, tidak siapa pun.Dia menatap layar laptopnya. Data yang telah ia kumpulkan tentang Farhan dan Arief Yudha masih terpampang jelas. Ia menyadari bahwa ancaman ini bukan hanya untuk menghentikannya, tetapi juga untuk membuatnya takut dan kehilangan fokus.“Kalau mereka berpikir aku akan menyerah, mereka salah besar,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.Anisa segera menghubungi Dimas. Saat suara Dimas terdengar di telepon, ia langsung merasa sedikit tenang. “Kita punya masalah,” kata Anisa tanpa basa-basi.“Aku tahu,” balas
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin bertiup melalui jendela kamar Anisa, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia duduk di depan meja kerjanya, memandangi layar laptop yang menampilkan email dari tim legal perusahaan.“Audit telah dimulai. Tim kami menemukan beberapa anomali awal pada laporan keuangan, terutama pada transfer besar ke rekening luar negeri yang tidak jelas pemiliknya. Kami akan melanjutkan penyelidikan.”Anisa menarik napas panjang. Email ini adalah bukti bahwa langkah pertamanya mulai menunjukkan hasil. Namun, ia tahu bahwa semakin dalam timnya menggali, semakin besar risiko yang ia hadapi.Suara pintu yang terbuka dengan keras membuat Anisa tersentak. Dentumannya menggema di ruangan yang sepi, mengoyak keheningan seperti petir di langit malam. Ia menoleh, mendapati Farhan berdiri di ambang pintu. Wajah pria itu memerah, rahangnya mengeras, dan matanya memancarkan kilatan yang mengerikan. Tubuhnya menegang seperti busur yang siap dilepaskan anak
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Rumah besar itu sunyi, tetapi di kamar Anisa, lampu masih menyala. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandangi foto-foto di dalam amplop cokelat yang diterimanya malam itu. Setiap foto terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Ada foto dirinya, Adit di taman bermain, bahkan gambaran sekilas momen ketika mereka di dalam mobil menuju sekolah.Anisa menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah. Bayangan Adit, anaknya yang polos dan ceria, sekarang diselimuti ancaman yang tidak pernah ia bayangkan. Namun, di tengah rasa takut yang menghantui, ia merasa sesuatu yang lain mulai tumbuh: kemarahan yang menggelegak seperti lava di dalam dirinya.“Mereka telah melewati batas,” pikirnya. Tangannya menggenggam erat foto-foto itu, hingga kertasnya terlipat.Keesokan paginya, Anisa memasuki kamar Adit dengan senyum lemah tapi penuh kasih. Anak kecil itu masih meringkuk di tempat tidurnya, rambut hitamnya berantakan seperti biasanya. Ia terlihat damai,
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa duduk di ruang kerjanya, memandangi dokumen audit yang sudah mulai berhamburan di atas meja. Layar laptopnya masih terbuka dengan tab pencarian yang belum selesai—mencari informasi tentang orang-orang yang ada di balik Farhan dan siapa yang mungkin mendukung pergerakannya. Setiap kali ia mencoba membuka langkah baru, ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran kebohongan yang semakin ketat.Namun, meskipun kegelisahan terus menggerogoti dirinya, tekad Anisa tetap kokoh. Ia memandang layar komputer di depannya dengan mata yang tajam, seperti seorang pejuang yang memusatkan pandangannya pada lawan yang akan dihadapi. Hatinya berdebar cepat, namun ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. "Aku harus menemukan siapa yang menekan tombol ini semua," pikirnya dalam hati, menggenggam meja dengan erat, seakan berusaha menenangkan diri dari amarah yang terus membara.Suasana ruangan semakin terasa berat, hampir seakan berasap dengan keteg
Pagi itu, langit terlihat lebih gelap dari biasanya, bahkan meskipun matahari sudah mulai terbit. Udara di sekitar gedung perusahaan terasa berat, seolah mencerminkan suasana hati Anisa yang sedang terperangkap dalam permainan besar yang belum sepenuhnya ia pahami.Setelah pertemuan dengan Larasati malam sebelumnya, perasaan tidak tenang merayap ke dalam dirinya. Farhan mengancam, dan serangan yang terjadi di gedung Arief semakin mengaburkan batas antara teman dan musuh. Siapa yang bisa dipercaya sekarang? Pertanyaan ini terus menghantui pikirannya.Di ruang kerjanya, Anisa memandang keluar jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang membentang di depan mata. Suara klakson mobil dan langkah-langkah sibuk para karyawan di luar jendela terdengar samar. Semua seolah tak peduli pada badai yang tengah bersiap menggulung hidupnya. Di sisi lain, ia merasa semakin terisolasi, terperangkap dalam labirin konspirasi yang sulit dipahami.Saat Dimas masuk, dengan langkah berat, suasana semakin mene
Ruangan itu terasa lebih panas dari biasanya. Suhu udara malam yang lembap hanya menambah kesan mencekam yang merayap di dalam ruangan. Setiap langkah di lantai kayu terasa seperti dentuman keras di dalam hati Anisa. Ketegangan antara dirinya dan Dimas semakin sulit untuk disembunyikan."Apa yang akan kita lakukan?" suara Dimas terdengar serak. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi keraguan. "Mereka sudah menunggu kita."Anisa berdiri tegak di depan jendela, menatap ke luar ke dunia yang tampaknya tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Lampu-lampu jalan berkelip-kelip di kejauhan, menciptakan pola cahaya yang melintasi malam yang hening. Di balik hiruk-pikuk kota, yang biasanya penuh dengan kehidupan dan energi, kini terasa sepi, seolah setiap detilnya mengabaikan kegelisahan yang menggerogoti hati Anisa. Keheningan itu semakin memperburuk perasaan hampa yang ia rasakan.Perlahan, suara desahan napasnya terdengar, seperti sebuah keluhan yang dip
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga
Ketika fajar menyingsing, sinar matahari pagi yang seharusnya menenangkan hanya terasa seperti beban tambahan di hati Anisa. Ia belum tidur semalaman, pikirannya dipenuhi oleh ancaman Kallen dan keputusan besar yang harus ia buat.Di kamar hotel kecil itu, Anisa duduk di meja, menatap dokumen yang telah menjadi pusat dari semua kekacauan ini. Dimas masuk, membawa dua cangkir kopi. "Kau butuh ini," katanya sambil meletakkan salah satunya di depan Anisa."Terima kasih," jawab Anisa pelan. Tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar. "Dimas, kita harus bergerak sekarang. Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu Kallen menghancurkan semuanya."Dimas duduk di seberangnya, menatap tajam. "Apa yang kau rencanakan? Kau tahu dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan dokumen itu. Dan bahkan setelah itu, dia mungkin tetap akan menyingkirkanmu."Anisa menghela napas panjang. "Aku tahu. Itulah mengapa kita harus melawan balik. Bukan hanya melindungi dokumen ini, tapi juga menjatuhkan Umbra
Pistol di tangan Kallen terasa seperti penghalang tak kasatmata yang memisahkan Anisa dari kebebasannya. Laras dingin itu mengarah tepat ke dadanya, membuat napasnya terhenti. Suara alarm di luar ruangan seolah meredup, tergantikan oleh detak jantungnya yang memburu.Dimas berdiri mematung, tidak berani bergerak. Tatapannya bergantian antara Anisa dan Kallen, seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia harus bertindak atau menunggu.“Kallen,” Anisa memulai, suaranya penuh kontrol meski emosi di dalamnya berkecamuk. “Aku tidak tahu apa permainanmu, tapi jika kau ingin dokumen ini, kau harus melewatiku.”“Aku tidak punya waktu untuk berdebat, Anisa,” jawab Kallen dingin. “Dokumen itu lebih penting dari yang kau kira. Serahkan, dan aku akan memastikan kau keluar dari sini hidup-hidup.”“Dan jika aku tidak menyerahkannya?” Anisa menantang, matanya menatap lurus ke arah pria itu.Kallen menghela napas berat, seolah-olah ia lelah dengan drama ini. “Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku tid
Langit malam itu gelap pekat, hanya dihiasi bintang-bintang yang bertebaran seolah memperhatikan kehidupan di bawahnya. Di dalam apartemennya, Anisa menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Pesan dari Kallen terus terngiang di pikirannya: “Waktumu hampir habis.”Ia bertanya-tanya apa maksudnya. Apakah Kallen tahu sesuatu yang ia tidak tahu? Atau ini hanya trik untuk menekan langkahnya? Namun, satu hal jelas—waktunya untuk bergerak semakin dekat.Anisa menyandarkan kepalanya ke sofa, menutup matanya untuk sejenak. Tapi ketegangan dalam dadanya terus membesar, membuatnya sulit bernapas. Pikiran tentang Adit, tentang misi ini, dan tentang siapa yang bisa ia percayai terus membayangi. Ketika akhirnya ia berdiri, keputusan telah diambil. Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi.Esok paginya, Anisa bertemu dengan Dimas di sebuah gedung tua di pinggiran kota. Tidak ada papan nama, hanya pintu kayu besar yang hampir terkelupas catnya. Di dalam, ruangan itu penuh dengan alat-alat teknologi ya