Pagi itu, langit terlihat lebih gelap dari biasanya, bahkan meskipun matahari sudah mulai terbit. Udara di sekitar gedung perusahaan terasa berat, seolah mencerminkan suasana hati Anisa yang sedang terperangkap dalam permainan besar yang belum sepenuhnya ia pahami.Setelah pertemuan dengan Larasati malam sebelumnya, perasaan tidak tenang merayap ke dalam dirinya. Farhan mengancam, dan serangan yang terjadi di gedung Arief semakin mengaburkan batas antara teman dan musuh. Siapa yang bisa dipercaya sekarang? Pertanyaan ini terus menghantui pikirannya.Di ruang kerjanya, Anisa memandang keluar jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang membentang di depan mata. Suara klakson mobil dan langkah-langkah sibuk para karyawan di luar jendela terdengar samar. Semua seolah tak peduli pada badai yang tengah bersiap menggulung hidupnya. Di sisi lain, ia merasa semakin terisolasi, terperangkap dalam labirin konspirasi yang sulit dipahami.Saat Dimas masuk, dengan langkah berat, suasana semakin mene
Ruangan itu terasa lebih panas dari biasanya. Suhu udara malam yang lembap hanya menambah kesan mencekam yang merayap di dalam ruangan. Setiap langkah di lantai kayu terasa seperti dentuman keras di dalam hati Anisa. Ketegangan antara dirinya dan Dimas semakin sulit untuk disembunyikan."Apa yang akan kita lakukan?" suara Dimas terdengar serak. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi keraguan. "Mereka sudah menunggu kita."Anisa berdiri tegak di depan jendela, menatap ke luar ke dunia yang tampaknya tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di dalam dirinya. Lampu-lampu jalan berkelip-kelip di kejauhan, menciptakan pola cahaya yang melintasi malam yang hening. Di balik hiruk-pikuk kota, yang biasanya penuh dengan kehidupan dan energi, kini terasa sepi, seolah setiap detilnya mengabaikan kegelisahan yang menggerogoti hati Anisa. Keheningan itu semakin memperburuk perasaan hampa yang ia rasakan.Perlahan, suara desahan napasnya terdengar, seperti sebuah keluhan yang dip
Ledakan mengguncang malam, memecah kesunyian yang baru saja mengintai. Suara itu menghantam udara seperti lonceng kematian, menggema di antara bangunan-bangunan tua. Pecahan bata dan kaca berhamburan, berkilauan sesaat sebelum terbenam dalam debu tebal yang merayap liar, menyelimuti segalanya. Anisa langsung merunduk, instingnya mengambil alih, sementara tangannya secara refleks mencengkeram lengan Dimas dengan erat. Napas mereka putus-putus, dada naik turun seiring adrenalin yang berdenyut liar di setiap pembuluh darah.“Dimas, kau baik-baik saja?” suara Anisa rendah, namun ada nada gentar yang tak bisa ia sembunyikan. Dimas hanya mengangguk cepat, matanya tetap fokus mengawasi celah-celah yang ditinggalkan debu.Di antara kabut serpihan yang memadati udara, sebuah siluet muncul perlahan, kokoh dan tidak tergoyahkan oleh kekacauan. Anisa mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan sosok Arief yang berdiri tegak. Wajah pria itu tertutup debu, tetapi ekspresinya tetap tak tergoyahk
Anisa memandangi dokumen di tangannya dengan tatapan kosong, seperti menatap jurang tanpa dasar. Jemarinya gemetar, hampir tidak mampu memegang kertas yang terasa lebih berat dari apa pun yang pernah ia angkat sebelumnya. Suasana gudang tua itu berubah drastis—menjadi sesak, menekan, dan mendadak sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar, berbaur dengan desiran angin yang masuk melalui celah-celah dinding reyot, seolah menjadi latar yang mencekam bagi perasaan yang semakin mendesak di dadanya."Anisa, ada apa?" suara Dimas memecah keheningan, lembut tapi penuh kekhawatiran. Langkahnya pelan mendekati Anisa, seperti mencoba memahami kehancuran yang tiba-tiba tergambar jelas di wajah wanita itu. Wajahnya sendiri mengeras, matanya menyiratkan keinginan untuk melindungi.Anisa tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala pelan, tetapi tatapannya tetap terpaku pada dokumen itu—tatapan yang seolah berusaha membaca ulang kebenaran yang terasa seperti tamparan keras. Tulisan-tulisan for
Suara deru mesin mobil yang mendekat semakin menggetarkan tanah, sementara Anisa berdiri di tempat yang seakan membeku. Hatinya berpacu dengan cepat, seolah-olah jantungnya hampir keluar dari dadanya. Pria tua itu, yang sebelumnya tampak rapuh, kini menjadi sosok yang lebih misterius dan mendesak. Semua yang ia pikirkan tentang ayahnya, tentang perusahaannya, tentang dirinya sendiri, kini terombang-ambing."Mereka datang," kata pria tua itu dengan suara rendah dan tegas, seolah sudah mengetahui setiap langkah yang akan diambil selanjutnya.Dimas berdiri lebih dekat, menatap pria itu dengan curiga. "Siapa mereka? Apa yang kamu tahu tentang ini?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan.Pria itu menghela napas panjang, matanya yang tajam menatap jauh ke dalam mata Anisa. "Orang yang datang itu lebih dari sekadar musuh. Mereka adalah bagian dari organisasi yang jauh lebih besar, dan tujuan mereka bukan hanya menghancurkan perusahaanmu, tapi juga menghancurkanmu, Anisa. Mereka sudah memantaum
Semua mata tertuju pada pria bertopi hitam itu. Langkahnya tegas, setiap gerakannya membawa tekanan yang membuat ruangan terasa lebih sempit. Pria itu berdiri di hadapan kelompok berseragam, memberi isyarat dengan satu tangan. Dengan patuh, mereka menurunkan senjata mereka, meskipun tatapan mereka tetap tajam dan waspada.Anisa memandangi pria itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang familiar dalam caranya berdiri—seolah-olah ia pernah melihat siluet itu sebelumnya. Namun, pikirannya tidak mampu menyusun potongan-potongan ingatan yang tercerai-berai."Siapa kau?" Anisa bertanya, mencoba menjaga ketenangan dalam suaranya meskipun hatinya berdebar.Pria itu tidak langsung menjawab. Ia tetap berdiri dengan tenang di tengah ketegangan yang menggantung di udara, kedua tangannya menyentuh tepi topinya. Perlahan, ia membuka topi tersebut, memperlihatkan wajahnya—wajah penuh guratan yang seperti peta perjalanan hidup yang berat. Kerutan-kerutan tajam di dahinya berbicara tentang badai kehidupan
Malam itu, keheningan menyelimuti rumah besar milik Anisa, namun di dalam ruangan kerjanya, suasana terasa jauh dari tenang. Cahaya lampu meja yang redup memancarkan bayangan panjang di dinding. Anisa duduk di belakang meja, wajahnya terbenam dalam dokumen-dokumen yang berserakan. Namun, pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Ia memikirkan percakapan dengan pria bertopi yang masih menggema dalam kepalanya.Setiap kata yang diucapkan pria itu menyentuh sisi lain dalam dirinya. Ayahnya, yang selama ini ia anggap sebagai pahlawan, ternyata juga terjebak dalam permainan gelap yang lebih besar. Bagus Prasetyo telah membuat kesepakatan dengan Umbra untuk menyelamatkan mereka, tetapi itu justru menjadi jalan buntu."Tapi aku tak bisa mundur," gumam Anisa dalam hati. "Aku tak akan membiarkan mereka menang."Di luar ruangan, Dimas berdiri di balik pintu, menunggu dengan sabar, meski setiap detik terasa semakin panjang. Ia bisa merasakan ketegangan yang meliputi ruangan di dalam—keterasin
Pagi itu, udara Jakarta terasa lebih terik dari biasanya, seakan matahari sendiri ikut merasakan tekanan yang sedang melanda Anisa. Ia berdiri di balik jendela ruang kerjanya, tubuhnya kaku, seolah terperangkap dalam perenungan yang tak berujung. Pandangannya kosong, menembus kaca jendela yang memantulkan sinar matahari menyilaukan. Di luar, gedung-gedung tinggi yang menjulang menatapnya dengan dingin, permukaan kaca mereka bersinar sempurna, seolah dunia ini tidak memiliki celah. Namun di dalam hati Anisa, semuanya terasa semakin hancur, seperti sesuatu yang terus berderak di dalam dirinya tanpa bisa ia hentikan.Dengan tangan yang mulai gemetar, ia memutar kunci di meja kerjanya, suaranya nyaris tak terdengar di ruang yang hampa. Peta yang sebelumnya digunakan untuk merencanakan serangan terhadap Umbra, kini tergulung rapat di tangannya, seakan menyembunyikan segala pertanyaan yang tak terjawab. Setiap sudut ruangan terasa semakin sempit. Berita tentang aliansinya dengan pria mist
Ranting-ranting tajam menggores kulit Anisa dan Sara saat mereka menyusuri jalan setapak yang semakin gelap. Suara angin yang menerpa daun-daun menciptakan irama yang menyeramkan, seolah alam sedang mengamati pelarian mereka.Anisa berhenti sejenak, menatap kembali ke arah terowongan yang kini tak lagi terlihat. "Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja, Sara," gumamnya dengan nada penuh penyesalan.Sara, yang tampak lelah dan frustasi, mencengkeram bahu Anisa. "Kau pikir Haris ingin kau kembali? Dia mengorbankan dirinya supaya kita bisa pergi. Jangan sia-siakan itu!"Namun, hati Anisa tidak mudah diyakinkan. Tatapannya penuh dengan keraguan, dan langkahnya ragu-ragu. Setiap suara dari arah belakang membuatnya berharap bahwa Haris akan muncul, tapi yang ia dengar hanyalah suara hutan yang sunyi, menambah kesendiriannya."Bagaimana jika dia butuh bantuan? Bagaimana jika aku salah meninggalkan dia?" Anisa bertanya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri."Dan bagaimana jika k
Hening melingkupi mobil yang melaju di jalanan sepi. Malam semakin larut, dengan hanya suara deru mesin dan hembusan angin malam yang mengiringi perjalanan mereka. Anisa duduk gelisah di kursi belakang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Sara di sampingnya, tetap waspada, sementara Haris dengan tenang mengemudi, pandangannya lurus ke depan."Kita mau ke mana?" Anisa akhirnya memecah keheningan.Haris meliriknya lewat kaca spion. "Ke tempat yang aman. Itu yang kau butuhkan sekarang."Sara mendengus. "Aman? Aman menurut siapa? Kita bahkan tidak tahu siapa yang kau hubungi tadi."Haris tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis yang membuat Sara semakin jengkel. "Kau mungkin sudah menyelamatkan kami beberapa kali, Haris, tapi itu tidak berarti kami bisa sepenuhnya percaya padamu.""Cukup, Sara," potong Anisa dengan nada tegas. "Kita tidak punya pilihan lain sekarang. Kalau Haris ingin mengkhianati kita, dia sudah melakukannya sejak tadi."Namun, bahkan saat dia mengucapkan itu, hat
Mereka semua terpaku pada layar ponsel Sara. Kalimat singkat itu terasa seperti sebuah bom waktu yang baru saja dinyalakan."Bagaimana bisa?" suara Dimas pecah di tengah keheningan. Tangannya terkepal erat. "Kita sudah berhati-hati."Sara mencoba tetap tenang, meski sorot matanya memperlihatkan kegelisahan. "Mungkin ada alat pelacak di tempat ini. Atau seseorang membocorkan keberadaan kita."Anisa menggenggam ponsel Sara dengan erat, napasnya tertahan. "Kita tidak punya waktu untuk menebak-nebak. Kita harus pergi sekarang."Mereka bertiga bergerak cepat, mengemas dokumen dan barang-barang penting yang bisa mereka bawa. Anisa memasukkan foto dan peta dari Haris ke dalam tasnya, sementara Dimas menyiapkan senjata seadanya—pisau dapur yang diasah tajam."Sara, kau sudah punya rencana rute keluar?" tanya Anisa sambil memeriksa pintu belakang.Sara mengangguk. "Ada gang kecil di belakang rumah ini. Kita bisa keluar lewat sana, lalu menyusuri jalan sempit menuju stasiun kereta. Tapi kita ha
Suara gemerincing senjata memecah keheningan gang sempit itu. Dua pria berbaju hitam menyerang tanpa ragu, gerakan mereka cepat dan terlatih, mencerminkan ancaman serius. Dimas langsung menyambar sebuah tongkat besi dari dekat dan menggunakannya untuk menangkis serangan pertama. Dentingan logam menghantam udara, menggema di antara dinding-dinding tua.Anisa mundur beberapa langkah, tubuhnya tegang, tapi matanya waspada. Dia tahu ini bukan saatnya untuk panik. Dia harus berpikir cepat. Namun, sebelum dia sempat bergerak, wanita muda yang muncul di akhir bab sebelumnya sudah melangkah maju. Rambutnya diikat rapi ke belakang, wajahnya menunjukkan ketegasan yang tak tergoyahkan."Aku menangani mereka," katanya singkat, nada suaranya dingin.Wanita itu menarik pisau kecil dari pinggangnya. Dalam sekejap, dia sudah meluncur ke depan dengan kelincahan luar biasa. Gerakannya begitu gesit sehingga salah satu pria berbaju hitam tidak sempat menghindar ketika pisaunya bergerak cepat ke arah tang
Suasana pagi terasa tegang di rumah persembunyian yang sempit. Hujan semalam meninggalkan jejak genangan air di luar, membasahi jalan-jalan berbatu yang dipenuhi dengan bau lembap. Dimas duduk di dekat pintu dengan tatapan kosong, sementara Anisa dan wanita yang telah menolong mereka, yang bernama Ibu Maimunah, berada di sisi Satria yang sedang beristirahat.Satria masih terlihat lemah, tetapi matanya sudah mulai terbuka. Tangan kanannya menggenggam erat tempat tidurnya, berusaha untuk bangkit meski tubuhnya terasa teramat sakit."Satria, kau harus beristirahat," kata Anisa dengan lembut, meraih tangan Satria yang gemetar. "Kami akan mencari solusi, tapi kau harus kuat."Satria memandang Anisa, ada kesan kedalaman dalam tatapannya. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. "Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu melakukannya sendirian, Anisa."Anisa terdiam sejenak, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. Sejak pertama kali melangkah ke jalan ini, semua pilihan terasa pen
Udara terasa semakin berat di dalam terowongan sempit itu. Kallen berdiri di ujung lorong, tubuhnya terlihat gagah meskipun bayang-bayang mengaburkan sebagian wajahnya. Pria-pria berbadan besar di belakangnya menggenggam senjata dengan sikap siaga, mata mereka menatap tajam ke arah Anisa, Dimas, dan Satria.Anisa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa rencana yang direncanakan dengan begitu matang akan berantakan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang."Kau benar-benar licik, Kallen," kata Anisa dengan suara tegas, meskipun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bahkan setelah merebut segalanya dariku, kau masih merasa perlu menjebakku."Kallen terkekeh pelan. "Oh, ini bukan sekadar menjebak, Anisa. Aku ingin memastikan kau tahu bahwa tidak ada yang bisa menyentuh Umbra tanpa konsekuensi. Kau pikir kau bisa menyusup ke kantorku tanpa aku tahu? Kau terlalu meremehkanku.""Apa kau meremehkan kami?" potong Dimas denga
Ketika fajar menyingsing, sinar matahari pagi yang seharusnya menenangkan hanya terasa seperti beban tambahan di hati Anisa. Ia belum tidur semalaman, pikirannya dipenuhi oleh ancaman Kallen dan keputusan besar yang harus ia buat.Di kamar hotel kecil itu, Anisa duduk di meja, menatap dokumen yang telah menjadi pusat dari semua kekacauan ini. Dimas masuk, membawa dua cangkir kopi. "Kau butuh ini," katanya sambil meletakkan salah satunya di depan Anisa."Terima kasih," jawab Anisa pelan. Tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar. "Dimas, kita harus bergerak sekarang. Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu Kallen menghancurkan semuanya."Dimas duduk di seberangnya, menatap tajam. "Apa yang kau rencanakan? Kau tahu dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan dokumen itu. Dan bahkan setelah itu, dia mungkin tetap akan menyingkirkanmu."Anisa menghela napas panjang. "Aku tahu. Itulah mengapa kita harus melawan balik. Bukan hanya melindungi dokumen ini, tapi juga menjatuhkan Umbra
Pistol di tangan Kallen terasa seperti penghalang tak kasatmata yang memisahkan Anisa dari kebebasannya. Laras dingin itu mengarah tepat ke dadanya, membuat napasnya terhenti. Suara alarm di luar ruangan seolah meredup, tergantikan oleh detak jantungnya yang memburu.Dimas berdiri mematung, tidak berani bergerak. Tatapannya bergantian antara Anisa dan Kallen, seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia harus bertindak atau menunggu.“Kallen,” Anisa memulai, suaranya penuh kontrol meski emosi di dalamnya berkecamuk. “Aku tidak tahu apa permainanmu, tapi jika kau ingin dokumen ini, kau harus melewatiku.”“Aku tidak punya waktu untuk berdebat, Anisa,” jawab Kallen dingin. “Dokumen itu lebih penting dari yang kau kira. Serahkan, dan aku akan memastikan kau keluar dari sini hidup-hidup.”“Dan jika aku tidak menyerahkannya?” Anisa menantang, matanya menatap lurus ke arah pria itu.Kallen menghela napas berat, seolah-olah ia lelah dengan drama ini. “Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku tid
Langit malam itu gelap pekat, hanya dihiasi bintang-bintang yang bertebaran seolah memperhatikan kehidupan di bawahnya. Di dalam apartemennya, Anisa menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Pesan dari Kallen terus terngiang di pikirannya: “Waktumu hampir habis.”Ia bertanya-tanya apa maksudnya. Apakah Kallen tahu sesuatu yang ia tidak tahu? Atau ini hanya trik untuk menekan langkahnya? Namun, satu hal jelas—waktunya untuk bergerak semakin dekat.Anisa menyandarkan kepalanya ke sofa, menutup matanya untuk sejenak. Tapi ketegangan dalam dadanya terus membesar, membuatnya sulit bernapas. Pikiran tentang Adit, tentang misi ini, dan tentang siapa yang bisa ia percayai terus membayangi. Ketika akhirnya ia berdiri, keputusan telah diambil. Ia tidak akan menunggu lebih lama lagi.Esok paginya, Anisa bertemu dengan Dimas di sebuah gedung tua di pinggiran kota. Tidak ada papan nama, hanya pintu kayu besar yang hampir terkelupas catnya. Di dalam, ruangan itu penuh dengan alat-alat teknologi ya