Adia dan Hanif memutuskan untuk menikah setelah menghabiskan 3 tahun masa pacaran. Satu tahun pertama masih terasa pasangan paling bahagia. Masih romantis. Masih perhatian. Saling mengabari. Masalah-masalah kecil seperti Hanif yang sering kelupaan naruh handuk di atas kasur, atau menarik baju sampai berantakan, bisa teratasi dengan mudah. Masalah kecil. Hingga suatu hari, kedunya dituntut sibuk oleh pekerjaan masing-masing. Yang membuat horor kali ini adalah ... pertanyaan kapan punya anak? Setiap Adia ikut acara keluarga, pertanyaan itu tidak berhenti dari mulut tante dan sepupu-sepupunya. Mereka bahkan menyaranan berbagai ramuan obat kuat. Memberikan wejangan macam-macam dan pertanyaan aneh-aneh seperti, "Adia jangan keseringan di atas, sesekali aja. Kasihan sperma Hanif muntah lagi ke bawah kalau posisinya kayak gitu terus. Emang sih, di atas enak. Tapi itu nantinya Hanif jadi malas gerak. Hanif juga harus aktif, Di." Adia menanggapi dengan memijit pelipis, pusing. Suatu hari kabar baik itu datang. Adia hamil. Hanif hanya tersenyum datar saat Adia menyodorkan tespek bergaris dua. Hanif menjadi lebih pendiam sejak saat itu, padahal semua keluarga begembira menyambut hadirnya si kecil. Pada suatu malam Adia mendengar sebuah tangisan pilu, ia memeriksa ruang demi ruang. Hanif, suaminya, sedang tersedu-sedu di atas sajadah. Bahunya bergetar. Tangisannya terdengar sedih sekali. Entah apa yang lelaki itu ceritakan pada Tuhan. Setelah tangis Hanif reda, Adia berinisiatif membawakan teh, mengelus bahunya dan mempertanyakan kenapa. Kejujuran Hanif membuat tercengang. Ternyata lelaki itu punya trauma mendalam di masa kecil, itu sebabnya ia tidak berkeinginan mempunyai anak. Namun, Tuhan berkehendak lain. Tuhan menitipkan ruh di rahim Adia. Adia shock. Ia menangis sejadi-jadinya. Adia bingung, apa yang harus dilakukan pada bayinya nanti? Adia tidak ingin anak ini lahir seperti tidak diinginkan. Hanif meminta Adia membantunya melupakan trauma itu. Pelan-pelan, perlahan. Hanif tidak merasakan sakit lagi saat mengingat ayah yang menyiksa ibu dan adiknya.
View MoreAdia dan Hanif bertatapan. Mereka mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan kali ini. Rasanya lega, sekaligus was-was. Akhirnya setelah segala drama, keduanya bisa memegang buku nikah di pelaminan. Tidak lagi merasa cemas digrebek satpol PP saat chek in di hotel. Adia dan Hanif juga berhasil menampar perkataan orang-orang dengan menikah, kini mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri.
"Happy wedding, Bro. Selamat menempuh hidup baru dan selamat bertemu masalah-masalah baru." Begitu perkataan Ali, sahabat Hanif yang sudah menikah. Hanif dan Adia berpandangan, seperti mengerti dengan apa yang masing-masing pikirkan.
"Gue sama Ali kenal sejak SMA, tetap aja pas udah nikah beda. Sifat sama sikap aslinya dia keluar pas udah tinggal serumah, Di. Lo jangan kaget kalo misal suatu hari nemuin ada yang aneh dari Hanif, karena emang gitu. Nikah itu gak gampang, Di. Lo perlu ...."
"Nad, ayo kita makan." Ali menarik tangan istrinya dan undur diri di hadapan pengantin yang tersenyum kecut.
Setelah semua acara selesai, Adia dan Hanif beristirahat di kamar hotel. Adia sudah mengganti gaunnya dengan setelan baju tidur tipis. Setelah menyemprotkan parfum, Adia menggemingkan Hanif yang sedang bermain ponsel.
"Nif, yuk ...."
Hanif menyimpan ponsel, "Di, ini bukan yang pertama. Aku capek banget nyalamin orang sebanyak itu. Besok, ya. Kita kan mau ke Labuan Bajo, di sana bisa tenang dan bebas. Kalo udah capek gini, aku takut mainku bentar, nanti kamu kecewa." Lelaki yang sudah berstatus sebagai suami itu mengecup kening Adia sebelum melangkah ke kamar mandi.
Adia mengedikkan bahu dan tertidur terlebih dahulu.
****
Jika ditanya kenapa Adia memilih Hanif, maka jawabannya tidak tahu. Dia mencintai Hanif begitu saja. Mencintai segala sifat manis dan menjengkelkan Hanif.
Hanif dan Adia bukan pasangan sempurna. Pertengkaran demi pertengkaran sudah biasa mereka lewati semasa berpacaran. Bahkan sempat putus selama beberapa bulan. Namun, ternyata cinta membawa mereka kembali ke sini, ke pernikahan yang sudah lama dimimpikan.
Hanif selalu percaya Adia akan kembali padanya, seperti hari ini, Adia tampak kesal kepada suaminya itu karena sembarangan menaruh handuk basah.
"Nif, udah aku bilang ya, handuk basah jangan ditaruh di atas kasur!" Adia mendumel.
Hanif tidak memberikan respon apapun, masih tetap fokus pada layar gadget. Adia melirik sinis, "Aku ngambek loh ini!" Perempuan itu mengambil handuk dan menjemurnya.
"Lagian kamu tuh kalau istri lagi kesel, ngapain kek, minta maaf kek, hibur kek, ajak jalan kek. Ini malah diam aja." Adia mendorong pintu kamar mandi dengan keras, hanya dengan itu Hanif mengalihkan pandangan.
"Yaudah, ayo!"
Adia melongokan kepalanya, "Kemana?"
"Katanya mau jalan."
"Sekarang juga?" Adia mengerutkan kening. Hanif mengangguk. "Tapi aku belum ngapa-ngapain, Nif."
Dengan entengnya lelaki itu menjawab, "Emang harus ngapain?" Adia mengerucutkan bibir, gak peka banget jadi cowok. Tentu saja Adia perlu mandi dan memoleskan sedikit make up.
"Aku mandi dulu. Tunggu sebentar," teriaknya seraya menarik kembali pintu.
"Aku juga mau mandi, Di ...."
Sebelum Adia memberikan persetujuan, Hanif sudah terlebih dahulu masuk. Hanif cengir melihat istrinya yang kembali memanyunkan bibir. Tanpa memedulikan itu, Hanif melepas kaus yang dikenakannya.
"Kamu duluan aja," ucap Adia dengan tatapan malas.
"Bareng aja, kan biasanya juga gitu." Hanif melorotkan boxer, kemudian mulai menyalakan shower.
"Malah gak jadi pergi karena kelamaan mandi kalau sama kamu mah."
"Bagus dong," kata Hanif lagi.
Adia menaikkan alisnya, "Kamu niat nggak sih ajak aku jalan?"
Hanif melilitkan handuk di pinggangnya, dicium sekali pipi manis Adia, lalu melongos pergi.
"Di, masih lama?" tanya Hanif sesaat setelah ia siap berangkat.
Adia muncul dari kamar mandi, mendumel karena Hanif membuatnya tidak tenang. Adia bersolek di depan meja rias, mengukir alis, mencatok rambut, menyemprotkan parfum dan segala tetek bengek lainnya. Adia siap sekarang, ia menoleh dan mendapati Hanif tengah tertidur di sofa.
Astaga!
"Nif, yuk ...."
Hanif mengucek mata dan segera meraih kunci motor. Adia menarik Hanif, dipandangi sekali lagi suaminya itu. Yang benar saja disaat Adia begitu heboh berdandan dan memilih pakaian, Hanif malah mengenakan celana pendek dan kaus berwarna hitam lagi.
"Kenapa sih, Di?"
"Ganti dong baju kamu,"
Hanif mengikuti saran Adia. Istrinya itu memilah pakaian di dalam lemari, dilemparkan kemeja berlengan pendek dan celana panjang pada Hanif yang termangu di kasur.
"Nanti aku dikatain gak bisa ngurus suami kalau kamu pakai bajunya itu-itu aja," desis Adia. Dia menaikkan kepala saat Hanif selesai mengganti baju. Adia berdecak, menyisir rambut Hanif dan menyemprotkan parfum.
"Aku punya kaus hitam 15, Adia."
Adia mengangguk malas, ditarik kembali tangan Hanif. "Kita belum foto."
Hanif sudah biasa menghadapi kerepotan semacam ini. Dan dia hanya mengangguk, setuju dengan apapun yang Adia lakukan untuknya.
"Kita nggak pake mobil aja, Nif. Sayang loh udah mandi, udah cantik gini masa motoran."
"Yaudah."
"Jangan bilang kunci mobilnya di atas? Ah kamu mah, aku gak mau ngambil ya, pegal kaki aku bolak balik tangga."
"Baik, Ndoro." Hanif membungkukan badannya. Adia tertawa dan menyubit pinggang Hanif.
Hanif beberapa kali melirik Adia yang fokus pada ponsel, sesekali tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Ada apa sih, Di?" Hanif memajukan dagunya. Penasaran dengan siapa Adia chattingan.
"Udah kamu fokus nyetir aja, Nif." Adia melirik sebentar dan kembali mengetikkan balasan.
"Di ... kamu chattingan sama siapa?"
"Bukan siapa-siapa," balas Adia cepat.
"Cowok, ya? Balesnya sambil senyum-senyum lagi!"
Adia membulatkan mata, disimpan ponsel dan menatap suaminya lekat. Sebentar, kenapa Adia merasa Hanif semakin ganteng? Apalagi saat bersikap dingin seperti itu. Mulutnya mengulas senyum, Adia menempelkan kepalanya di lengan Hanif, membuat lelaki itu sedikit mengerutkan kening.
"Nif, aku bangga punya kamu," bisik Adia mesra.
Hanif berusaha menahan diri untuk bersikap biasa saja, tapi ia gagal. Hanif akhirnya menyunggingkan bibir mendengar pernyataan tulus Adia, mencium puncak kepala istrinya dengan sayang. Adia mendusel di lengan Hanif, mencium parfum suaminya dengan nyaman.
"Sesekali manggil suami itu yang romantis, Di. Mas kek, Sayang kek, Cintaku kek. Ini mah Nif lagi Nif lagi," ucap Hanif, berpura-pura kesal. Namun, bibirnya tetap mengulas senyum.
"Emang kamu mau dipanggil Cintaku?" Adia menatap Hanif, lelaki itu salah tingkah dan memalingkan wajah.
"Nggak juga, sih." Hanif mengangkat bahu.
Hanif dan Adia melirik bersamaan pada ponsel yang bergetar. Ponsel Adia. Buru-buru perempuan itu raih dan mengetikkan balasan sembari tersenyum.
"Sekarang jujur sama aku, siapa yang chat kamu?"
Adia mengerlingkan matanya, "Apaan sih, Nif ...." Kembali tangannya bergerak lincah di atas layar.
"Aku gak permasalahin ya kamu mau chating sama siapa aja, cuma jangan sok asik di depan aku lah. Hargai aku, Di. Aku kan suami kamu."
Adia mematikan ponsel mendengar Hanif meninggikan suara. Adia menghela napas berat, kemudian menyentuh bahu suaminya. Hanif terlihat sedikit marah, hanya karena Adia sok asik balas-balasan chat. Really? Bahkan lelaki itu tidak pernah berkomentar banyak saat Adia diharuskan mengikuti proses syuting di sebuah kaki gunung bersama banyak pria.
"Ini dari pelangganku, Nif."
Seketika mobil terhenti. Adia mengumpat kaget.
"Pelanggan apaan? Coba sini lihat!" Hanif membuka ponsel Adia, memeriksa riwayat chat. Buru-buru dikembalikan dengan perasaan dongkol.
"Aku mau jualan seblak, Nif. Itu mbak Nita, dia udah beberapa kali mesan seblak sama aku." Adia menggigit bibir melihat ekspresi Hanif yang sulit diartikan. Suaminya itu pasti sudah menyangka yang nggak-nggak.
"Lagian kamu ngapain sih jualan seblak, Adia?"
"Aku jenuh, Nif. Revisi naskah cuma beberapa, aku pulang lebih cepat juga. Daripada nggak ngapa-ngapain?" Adia mengembuskan napas, merasa lega sudah jujur kepada Hanif.
"Nggak, bukan itu maksud aku. Gimana coba stigma orang banyak kalo misal nanti katanya aku gak bisa nafkahin kamu makanya kamu jualan seblak? Kan gak bakal enak didengar. Keluargaku juga pasti ngomongin aku gak becus nyari duit!" Hanif mengacak rambutnya, sedikit kesal dengan pernyataan Adia.
Adia terkekeh. Kembali mengusap bahu tegap Hanif. Jemarinya merapikan kembali rambut Hanif yang acak-acakan. Ditatap suaminya itu sekali lagi, lebih dalam dan lebih intens. Hanif mengernyit, menunduk, memalingkan wajah. Sungguh, ekspresinya lucu sekali. Adia suka melihat Hanif tampak salah tingkah. Itu menjadi jauh lebih menggemaskan. Dan Adia hanya ingin memandangnya dengan puas.
"Siapa yang bilang begitu?" Adia memajukan dagu, Hanif menggeleng. "Orang-orang memang aneh, yang baru menikah terus jualan dikatain suaminya gak bisa nyari duit. Padahal nggak gitu. Pegangan aku dari kamu lebih dari cukup, Nif. Aku yakin sebelum usaha orang besar pun, mereka merintis dari bawah. Jangan jauh-jauh, kamu contohnya. Dari jaman kuliah jualan kaos, tiap ada event-event pasti menjajakan dagangan kamu, sampai sekarang hasilnya. Kamu udah punya beberapa cabang outlet, kita punya rumah, mobil, bisnis kita juga merambah ke proferti. Udah ya jangan terlalu dengerin orang-orang."
"Makasih, Di. Aku cuma gak enak aja kalau nanti ada yang bilang begitu."
Adia mengangguk semangat, tiba-tiba saja Hanif mengecup pipinya singkat. Perempuan itu mengernyit, tapi kemudian terkekeh mendapat perlakukan sweet dari suaminya.
"Di, aku sayang banget sama kamu."
Sungguh, Adia ingin jingkrak-jingkrak saat itu juga mendengar ungkapan Hanif. Sulit dipercaya cowok super cuek itu akhirnya angkat bicara soal perasaannya. Bisa Adia hitung sejak mereka pacaran sampai saat ini, Hanif hanya mengungkapkan perasaan sayangnya 2X. Dan itu sungguh membuat Adia berdebar-debar seperti remaja yang sedang dilanda kasmaran.
"Ya, me too ...."
Perjalanan mereka tampak menyenangkan. Adia menikmati musik yang terputar di radio, sesekali mulutnya mengikuti lirik, sesekali juga matanya beradu pandang dengan Hanif.
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments