Share

18

Author: Litani
last update Last Updated: 2021-12-14 12:16:40

Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya.

Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja.

"Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer.

"Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik.

"Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya.

"Di ... lo harus ngomong, cerita gitu gimana lo bisa jadi tukang seblak," komentar Elisa yang langsung diiyakan oleh yang lain.

"Happy anniversary untuk Mbak Adia dan Mas Hanif. Semoga semakin sukses, bahagia, selalu sehat dan secepatnya diberi momongan." Sekonyong-konyong suara Kian membuat Adia dan Hanif menoleh bersamaan.

Kian membawa buket bunga, sementara kue tart berada di tangan Anisa. Keluarga, sahabat serta customer yang hadir riuh memberikan tepuk tangan. Adia tersipu, matanya berkaca-kaca saat Hanif menggenggam tangannya erat.

Bunga itu langsung Adia terima, dan kue tart ditiupnya bersamaan dengan Hanif. Kembali terdengar tepuk tangan meriah.

"Selamat, ya, Mas ...." Ibu menepuk pundak Hanif. Segera lelaki itu membalas dengan pelukan hangat.

"Nduk ...."

"Ibu!"

Adia tidak bisa menahan diri, dipeluknya mama mertua disertai isakan pelan. Ibu mengusap pelan bahu menantunya, menyeka air mata Adia dengan tissu.

"Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Ibu," ucap Adia. Kali ini bahunya berada dalam pelukan Hanif.

"Cerita dong perjalanan lo, Di. Sampai berada di titik ini!" teriak kawan-kawan Adia.

Hanif mengedikkan bahu, akhirnya Adia membuka suara, setelah sebelumnya memberikan buket bunga pada suaminya.

"Perjalanan saya nggak lepas dari suami dan orang tua yang luar biasa. Hanif selalu mensupport apapun yang saya lakukan. Sampai suatu hari, saya mencoba berjualan seblak di media sosial. Awal-awal dia nggak setuju, karena saya deliveri order setelah pulang kerja, Hanif nggak mau saya kecapekan. Tapi saya terus yakinin dia, sampai akhirnya Hanif menjadi kurir, mengantar seblak saya ke customer-customer. Dia bilang, ini cukup menyenangkan. Apalagi setelah capek kita ngantar, masaknya juga, kita menghitung uang bersama."

Hanif terkekeh, melihat istrinya menjelaskan dengan detail.

"Entah kenapa cowok itu sering banget nggak peka? Maksudnya, saya sama dia anniversary sebulan yang lalu seharusnya, tapi Hanif sama sekali nggak menggubris itu gitu. Dia fokus ke toko, sampai saya marah akhirnya."

"Wow, marah kenapa, tuuuuh?" Anisa mendelik di sela memanjakan mulutnya dengan kuah seblak yang super pedas.

"Saya marah karena ... kok kamu gitu sih? Kok kamu nggak romantis seperti kita masih pacaran dulu. Jaman kita pacaran, setiap anniversary, kita selalu pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang. Setelah senang-senang, duit habis, pusing, hehehe. Kok setelah menikah kamu cuek sih? Kok nggak perhatian lagi?"

Adia menghela napas sebentar, lalu kembali melanjutkan.

"Pada umumnya, perempuan suka diperhatikan dan dimanjakan, dan kenapa kamu nggak ngasih itu ke istrimu gitu?"

Mendengar pernyataan Adia, Hanif mengusap wajah, tergelak sendiri. Ibu menepuk pundaknya dan tersenyum.

"Ternyata selama ini, dia sudah menyiapkan ini semua. Dia sewa ruko sendiri, siapin ini itu sendiri. Pas saya marah, tiba-tiba dia ngasih kado." Adia mengusap lelehan air mata yang tiba-tiba keluar, terkekeh sebentar, memandang suaminya lekat. "Hanif, terima kasih, ya."

Hanif beranjak, mendekap istrinya dengan erat. Mencium puncak kepalanya berkali-kali. Diusap pelan bahu Adia yang bergetar karena isakan, lantas ditatap dalam nan penuh sayang. Sembari tersenyum, Hanif menyeka pipi Adia yang kemerahan.

"Maskara aku luntur gak?" tanyanya polos.

Hanif melorotkan bahu, Adia mengerucutkan bibir. Lantas lelaki itu berbisik lirih, "Nggak, kamu tetap cantik kok!" Sembari tangannya terayun untuk menggandeng istrinya duduk kembali.

****

Kian baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya, ia bergegas pulang. Sejak ibu kembali, Kian menjadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Ogah untuk berkeluyuran seperti hari-hari lalu, sekarang waktunya dicurahkan untuk sang ibu. Kian senang melakukan itu, karena selalu ada cerita dari ibu di saat keduanya menghabiskan waktu bersama.

Hari ini ibu meneleponnya, meminta diantar ke rumah salah satu rekannya untuk makan siang bersama. Kian bersiap, hanya menenggak segelas penuh air putih sebelum pergi kembali mengantar ibu.

"Nggak apa-apa, Ki?"

Kian tersenyum tipis, "Kian nggak ada lagi kelas, Bu. Aman kok." Matanya melirik ibu sebentar, lantas melanjutkan kemudi dengan tenang.

Mobil yang mereka tumpang sudah berada di depan gerbang sebuah rumah megah dengan gaya Eropa klasik. Rumah Hasanudin, sahabat ibu selama mengajar di salah satu universitas.

Kedatangan ibu dan Kian disambut keluarga Hasanudin dengan hangat. Kemudian bercengkrama sebentar sembari menunggu makanan disajikan di atas meja marmer itu.

"Hari ini ulang tahun putri pertama kami, Alya. Dia tidak ingin ada acara rame-rame, kami berinisiatif merayakannya dengan makan siang bersama." Sarah, istri Hasan tersenyum senang pada ibu.

"Ah, kami bahkan tidak membawa kado untuk Alya," balas ibu, merasa bersalah.

"Tidak apa, kadonya nanti ajak Alya makan malam ke rumah tante." Alya baru saja tiba, tampak cantik dan elegan, rambutnya tergelung rapi, sementara dres berwarna dusty membungkus tubuh mungilnya.

"Ya, pokoknya Alya harus ke rumah tante, nanti kita masak-masak." Ibu menanggapi antusias.

"Selamat ulang tahun Kak Alya." Kali ini terdengar suara serak Kian dari sofa single yang di dudukinya. Bangkit, Kian hendak menjabat tangan Alya.

Alya terkekeh, mengangguk mantap, membalas uluran tangan Kian dengan menempelkan pipinya ke pipi Kian. Kian berusaha tenang saat pipi kirinya kembali bersentuhan dengan pipi seorang perawat muda itu.

"Terima kasih, Kian."

Kian menyapukan pandangan pada ibu dan keluarga Alya yang ternyata sedang terfokus padanya.

"Gimana kuliah kamu?"

"Baik, tahun depan wisuda." Sedikit berdehem, Kian terduduk kembali. Merasakan dadanya berdesir saat jemari Adia menepuk lengannya dengan tenang.

"Semangat, ya. Kamu pasti bisa!" Alya tersenyum melihat raut Kian yang susah diartikan.

"Ah, makanan sudah siap. Mari." Hasanudin melangkah terlebih dahulu ke ruang makan, ibu dan Sarah menyusul dari belakang. Kian mengekor langkah Alya. Namun, tiba-tiba saja Alya menarik tangannya untuk berjalan bersamaan.

Suara kertak dari sepatu yang keduanya kenakan terdengar memenuhi lorong yang dilewati. Wangi parfum yang Alya semprotkan menusuk penciuman Kian, membuat ia mengusap hidung. Lengan Alya merapat dengan lengannya, sehingga membuat debar di dada Kian semakin kuat.

Untuk pertama kalinya Kian sedekat ini dengan perempuan. Sebelumnya mentok saling tatap-tatapan. Kian tidak seberani itu kepada perempuan, bahkan sering kali perasaan suka kepada cewek-cewek itu tidak terungkapkan karena malu, dan takut akan jawaban mereka yang tidak sesuai ekspektasinya.

"Bu Ningrum kalau ingin mengajar kembali, kami selalu welcome kok," ucap Hasanudin di sela makan.

"Akan saya pikirkan," jawab ibu tenang.

"Kak Alya tugas di rumah sakit mana?" Kian menoleh.

"Di rumah sakit Cipta Harapan, Ki."

Kian mengangguk, kemudian mengalihkan pandangan pada makanan yang tersaji di depan. Selepas makan, ibu mengobrol dengan Pak Hasanudin dan sang istri di ruang keluarga. Sementara Alya mengajak Kian berjalan-jalan di sekitar rumahnya.

"Saya punya akuarium, Ki. Biasanya setiap saya lelah pulang kerja, saya langsung ke sini. Natap ikan-ikan yang berlarian, tenang sekali rasanya." Alya membuka percakapan.

Kian dan Alya sudah berada di sebuah ruangan dengan kaca-kaca besar sebagai dinding. Selain akuarium dengan aneka tanaman air dan ikan hias, di ruangan itu juga berisi sofa dan rak buku. Permadani untuk merebahkan badan, serta lukisan-lukisan hasil karya tangan luwes ibunda Alya.

Alya mengembuskan napas, menyandarkan tubuhnya pada sofa. Kakinya dibiarkan di atas permadani tebal. Kian mengikuti, duduk di sampingnya.

"Ruangan ini tempat saya menemukan ketenangan, Ki."

Kian tersenyum datar mendengar penuturan Alya. Angin berembus pelan, membuat rambut Kian berantakan, tanpa canggung, Alya merapikan rambut Kian. Diperlakukan seperti itu, Kian mendesah, meraba tangan Alya untuk tidak berhenti.

Kepalanya dijatuhkan tepat di atas paha Alya. Seketika matanya terpejam, merasakan damai dan menyenangkan. Menghirup wangi perempuan yang khas.

Alya memainkan rambut Kian disertai senandung lembut. Entah mempunyai keberanian darimana, Kian akhirnya mengecup jemari Alya. Meski agak kaget, tapi akhirnya gadis yang pahanya sedang menjadi bantal kepala Kian itu tersenyum, mengedikkan bahu saat Kian meminta maaf lewat tatapannya.

Dari balik kaca besar itu, keduanya menatap dedaunan yang terbawa desau angin. Rintikan sebesar biji jagung berjatuhan. Semakin banyak, semakin deras, langit menumpahkan air matanya di siang yang tidak terlaku terik ini.

Mendesis, Kian tetap menggenggam tangan Alya, lalu kepalanya mengendus perut gadis itu. Alya merasakan geli di sekitar perutnya, ia tergelak mendorong kepala Kian darisana. Kian terdorong dengan napas terengah-engah, seulas senyum terbentuk di bibirnya. Kian kembali pada paha Alya, mengusap-usapnya perlahan.

"Kian ...." Alya melonjak, bangkit dari duduknya.

Kian mengaduh, kepalanya terlempar di atas permadani itu. Disertai tatapan sayu dan keberanian penuh, Kian mendekati Alya yang sedang berdiri sembari menatap tanah basah. Dari belakang, dagunya dibiarkan bersandar di bahu mulus Alya. Kedua tangannya menyelusup di perut ramping gadis itu.

Kian menghirup wangi parfum di atas tengkuk Alya. Bibirnya didaratkan di sana, membuat gadis di depannya mendesah. Kian mengecup leher jenjang Alya, tangannya meraba pelan, naik ke atas dada Alya yang tidak terlalu besar.

Sesaat terhenti ketika tangan Alya langsung menepis Kian. Segera tersadar akan kekhilafannya, Kian menunduk penuh penyesalan.

Gorden berwarna cokelat susu itu ditarik oleh Alya. Sehingga kini rumah kaca itu tampak gelap. Dengan sekali sentakan, Alya melompat ke pangkuan Kian.

"Ya ...?" Kian mengusap lembut rambut Alya.

Alya menggeleng, mengeratkan tangannya di pelukan Kian. Lelaki itu menurunkan resleting dres yang Alya kenakan, alhasil dres cantik itu melorot, sehingga punggung mulus Alya menjadi telanjang.

Menggigil, dieratkannya lagi pelukan. Alya menenggelamkan kepalanya di bahu Kian. Mencium wangi maskulin dari lehernya. Ah, Alya suka sekali bau laki-laki. Selanjutnya membawa Alya pada sofa panjang, gadis itu terbaring, tangannya merentang, meminta Kian kembali ke pelukannya. Namun, Kian hanya terdiam, memandang tubuh indah yang hanya terbalut dres yang sudah tersingkap itu.

"Come on, Baby!" bisik Alya, matanya mengedip menggoda.

Melihat Kian tak bereaksi, Alya mengangkat tubuhnya lagi. Sekarang wajahnya sudah tepat berada di bawah Kian. Bulu mata lentik itu berkedip mesra, seolah meminta Kian melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Akhirnya, disertai seringai nakal dilorotkan resleting celana, mengeluarkan benda pusaka yang membuat Alya tidak berkutik. Terdiam.

Tangan Kian menuntun Alya untuk menggenggam miliknya. Dengan perlahan, kini tangan Alya sudah maju mundur di sesuatu yang tegak itu. Kembali Kian menyeringai, merasakan kenikmatan menjalar di tubuhnya. Diremasnya rambut Alya, lantas menenggelamkan kepala gadis itu untuk mengisap pelan-pelan.

Kian mengerang, sesekali matanya terpejam. Sementara udara semakin terasa dingin, hujan disertai angin kencang semakin membuat dua manusia berbeda jenis kelamin itu menggelora. Napas keduanya menderu, menahan gejolak panas yang ingin disalurkan begitu saja.

Namun, baru saja Kian menurunkan g-string yang Alya kenakan, ibu meneleponnya. Mengajak pulang.

"Shit!" umpatnya.

Alya membenahi dresnya, mengusap bahu Kian. Memintanya segera menemui ibu.

"It's okey, kita bisa ketemu di lain waktu." Alya menggelayut di lengan lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu.

"Maafin aku, Alya."

"Kak Alya, Kian. Kamu mulai nggak sopan!" Alya mengerling.

"Ah, iya maaf." Kian menunduk, penuh penyesalan.

"Kita bisa staycation di Puncak, Ki. Atau nyari hotel yang aman. Kapan kamu free?"

"Nanti aku kabarin, ya."

"Ya!" Alya mengecup pipi Kian singkat, selanjutnya mereka berjalan bersamaan dalam naungan sebuah payung menuju rumah Alya.

Namun, Alya sempat menyelipkan g-string miliknya ke tangan Kian.

"Kita akan ketemu lagi, Ki."

Kian memasukkannya ke saku celana, mengangguk dengan debaran kencang.

"Kian sama Alya habis melihat rumah kaca, Ma. Kian suka sekali dengan ikan-ikan di sana." Alya tersenyum, bahunya dirangkul oleh sang ayah.

"Oh, ya? Apa perlu kita bikin akuarium juga di rumah, Sayang?" tanya ibu pada putranya.

Kian mengedikkan bahu disertai kekehan pelan.

"Kami pulang dulu, terima kasih atas jamuannya. Senang sekali bisa bertemu Pak Hasanudin beserta keluarga." Kian mencium tangan Hasanudin, Sarah. Kemudian mengangguk pada Alya. "Kak Alya, saya tunggu di rumah."

Alya mengangguk cepat, "Belajar yang rajin, Kian. Biar cepat lulus!"

Sarah beserta suami dan putrinya menatap mobil yang meninggalkan halaman rumah. Alya melirik sang papa, sebelum beranjak sempat berbisik.

"Kian baik, ya, Pa. Sopan, pinter lagi. Dia kuliah jurusan IT, kan?"

Mama mengernyitkan bibir mendengar perkataan yang keluar dari mulut putri pertamanya. Tidak biasanya Alya memuji orang, kecuali saat dia sudah merasa nyaman dan dekat dengan orang itu.

"Suka? Pacarin!" Papa berlalu, terdengar tawa renyah dari mulutnya.

"Papa, ah. Kamu fokus kerja, Alya. Jangan mikirin cowok dulu!"

"Alya udah gede!" Menarik napas, melangkah gontai menuju kamar tidurnya.

Sementara itu, Kian dan ibu sudah sampai rumah. Baju keduanya cukup basah, Kian melangkah terlebih dahulu. Melepas pakaiannya, memasuki kamar mandi. Sedangkan ibu mengecek ponsel, mendapat pesan dari salah satu kurir ekspedisi.

'Ada paket atas nama ibu Ningrum, maaf saya menyimpannya di bawah kursi beranda. Mohon dicek, Bu. Takut paketnya basah.'

Ningrum segera keluar rumah sembari mengusap-usap lengannya. Menengok bawah kursi beranda. Sebuah kotak tampak berada di sana, sudah sedikit basah karena terciprati air hujan.

Ningrum membawanya ke dalam. Melihat siapa pengirim paket tersebut.

'Irham Wirawan'

Lutut Ningrum seketika lemas, kepalanya mendadak pening melihat nama si pengirim paket tersebut. Entah apa tujuan Irham mengiriminya paket. Meski begitu, dengan cepat Ningrum buka boxnya itu. Melihat sebuah amplop, buru-buru Ningrum buka.

'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku'

Related chapters

  • TEMAN HIDUP   19

    Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce

    Last Updated : 2021-12-14
  • TEMAN HIDUP   20

    Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal

    Last Updated : 2021-12-14
  • TEMAN HIDUP   1.

    Adia dan Hanif bertatapan. Mereka mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan kali ini. Rasanya lega, sekaligus was-was. Akhirnya setelah segala drama, keduanya bisa memegang buku nikah di pelaminan. Tidak lagi merasa cemas digrebek satpol PP saat chek in di hotel. Adia dan Hanif juga berhasil menampar perkataan orang-orang dengan menikah, kini mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri."Happy wedding, Bro. Selamat menempuh hidup baru dan selamat bertemu masalah-masalah baru." Begitu perkataan Ali, sahabat Hanif yang sudah menikah. Hanif dan Adia berpandangan, seperti mengerti dengan apa yang masing-masing pikirkan."Gue sama Ali kenal sejak SMA, tetap aja pas udah nikah beda. Sifat sama sikap aslinya dia keluar pas udah tinggal serumah, Di. Lo jangan kaget kalo misal suatu hari nemuin ada yang aneh dari Hanif, karena emang gitu. Nikah itu gak gampang, Di. Lo perlu ....""Nad, ayo kita makan." Ali menarik tangan istri

    Last Updated : 2021-09-21
  • TEMAN HIDUP   2.

    Akhir pekan kali ini Adia dan Hanif memutuskan di rumah saja. Mereka berniat membereskan halaman belakang bersama, setelah itu makan dan rebahan seharian. Adia menggunakan daster selutut dengan rambut tergelung asal-asalan, sibuk bolak-balik memberikan apa yang Hanif butuhkan. Pasalnya, lelaki itu sedang menata tanaman dan bunga-bunga ke dalam pot."Aku jadi gak sabar nikmatin teh sore-sore sambil natap tanaman ini," ujar Adia, Hanif menanggapi dengan tersenyum.Selesai dengan tanaman, Hanif memilih mandi. Dan Adia menyiapkan makanan. Perempuan itu bergelut dengan wajan dan segala tetek bengek lainnya. Baru saja Adia meletakan perabotan kotor di wastafel, terdengar suara ketukan. Adia mengerlingkan mata, siapa yang bertamu siang bolong seperti ini?Pemandangan yang sangat kontras saat pintu terbuka. Perempuan dengan dres berwarna lilac itu sedikit mengerutkan kening melihat Adia dengan dasternya, tapi beberapa detik setela

    Last Updated : 2021-09-21
  • TEMAN HIDUP   3.

    Indira menyambut tamunya satu persatu. Menebarkan senyuman pada teman-temannya yang tiba. Tepat saat Adia dan Hanif tiba, Indira berseru girang. Teman-teman yang lain juga mendekat, menyapa Hanif, kemudian mereka berbincang tentang kehidupan dan kerinduan. Indira menarik tangan Adia menjauh dari Hanif, membawa Adia bergabung dengan teman-teman perempuannya."Adia, ya? Kita kemarin ketemu pas kamu nikah hehehe."Adia menganggukan kepala, membalas basa-basi mereka."Hanif gimana, Di? Dia pas jaman SMA nyebelin banget, masa dia nulis 'kutunggu jandamu Bu Endang' di toilet belakang."Semua orang terkekeh mendengar perkataan itu. Lalu saat Adia sedang menyimak obrolan-obrolan yang lain, tiba-tiba saja seorang perempuan dengan tas branded melambaikan tangan. Menyapa dengan percaya diri. Cewek-cewek itu langsung berdiri seraya berdecak melihat siapa yang datang, Ashila."Shila, ya ampun. Kangen b

    Last Updated : 2021-09-24
  • TEMAN HIDUP   4.

    "Assalamualaikum," sapa Hanif. Namun, tidak ada jawaban."Di ... Adia!" Hanif menaruh sepatu pada rak, berjalan ke ruang tengah yang kosong. Lelaki itu mendesah, kemudian memanggil istrinya lagi."Sayang, aku pulang." Matanya menyapu ke seluruh ruangan yang lengang, akhirnya Hanif memutuskan pergi ke dapur. Melihat apa yang tersaji di meja makan.Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya, dengan aroma shampo yang menguar. Hanif mendesis, sedikit jengkel dengan Adia."Kaget gak?" tanya Adia, masih membenamkan kepalanya di punggung Hanif.Hanif mengelus lengan Adia yang melingkar, lantas menggeleng."Panik gak istrinya gak ada? Panik gak?" tanya Adia, kepalanya tiba-tiba muncul di depan Hanif. Kali kedua lelaki itu mengelus dada, kaget."Panik lah, masa nggak!" jawab Hanif sekenanya.Adia melihat Hanif yang makan dengan lahap. Sesekali b

    Last Updated : 2021-09-24
  • TEMAN HIDUP   5.

    Hanif terharu karena produk terbarunya diterima, orang-orang berbondong-bondong datang ke outletnya. Hanif dan Kris berpelukan. Perjuangannya tidak sia-sia selama ini. Lelahnya terbayarkan, seluruh team tersenyum lebar nan puas. Setelah ini mereka akan beristirahat, melepaskan penat dengan berlibur."Kamu ikut mas ke Jogja ya, Ki." Hanif menepuk bahu adiknya.Kian mengalihkan pandangan dari laptop. Menyesap kopi sekali lagi dibarengi anggukan sedikit ragu."Kita showan ke si mbah, sudah lama tidak ke sana, kan?" tanya Hanif lagi."Kalau tidak sibuk ya, Mas," jawab Kian."Loh? Eyang kangen sama kamu, Ki. Lagipula kita sudah bekerja keras sampai sukses, sekarang waktunya menikmati hasil. Liburan sekalian ketemu keluarga dari papa juga."Kian menarik napas panjang. Membenarkan ucapan mas-nya dalam hati."Iya juga ya, kita terakhir ke sana lebaran tahun lalu,"

    Last Updated : 2021-09-25
  • TEMAN HIDUP   6

    Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah."Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh."Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah.""Bude, aku mau.""Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya."Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dar

    Last Updated : 2021-09-28

Latest chapter

  • TEMAN HIDUP   20

    Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal

  • TEMAN HIDUP   19

    Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce

  • TEMAN HIDUP   18

    Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...

  • TEMAN HIDUP   17.

    Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah

  • TEMAN HIDUP   16

    "Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak

  • TEMAN HIDUP   15

    Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam

  • TEMAN HIDUP   14

    "Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."

  • TEMAN HIDUP   13.

    Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut

  • TEMAN HIDUP   12

    "Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me

DMCA.com Protection Status