Share

5.

Author: Litani
last update Last Updated: 2021-09-25 08:50:20

Hanif terharu karena produk terbarunya diterima, orang-orang berbondong-bondong datang ke outletnya. Hanif dan Kris berpelukan. Perjuangannya tidak sia-sia selama ini. Lelahnya terbayarkan, seluruh team tersenyum lebar nan puas. Setelah ini mereka akan beristirahat, melepaskan penat dengan berlibur.

"Kamu ikut mas ke Jogja ya, Ki." Hanif menepuk bahu adiknya.

Kian mengalihkan pandangan dari laptop. Menyesap kopi sekali lagi dibarengi anggukan sedikit ragu.

"Kita showan ke si mbah, sudah lama tidak ke sana, kan?" tanya Hanif lagi.

"Kalau tidak sibuk ya, Mas," jawab Kian.

"Loh? Eyang kangen sama kamu, Ki. Lagipula kita sudah bekerja keras sampai sukses, sekarang waktunya menikmati hasil. Liburan sekalian ketemu keluarga dari papa juga."

Kian menarik napas panjang. Membenarkan ucapan mas-nya dalam hati.

"Iya juga ya, kita terakhir ke sana lebaran tahun lalu," gumam Kian.

Hanif menyeruput kopinya kembali. Mengangguk mantap mendengar ucapan Kian.

"Tapi tugasku numpuk, Mas. Aku kan kemarin-kemarin sibuk ke kerjaan, tugasku terbengkalai." Kian tampak menyesal.

"Yasudah nggak apa-apa, tapi nanti kamu ke sana pas udah nggak sibuk. Sempatinlah, Ki. Kamu nggak kangen Jogja apa?"

"Pasti, Mas." Kian tersenyum. Jemarinya kembali bergerak di atas laptop.

"Kayaknya stok kita di e-commerce habis, Mas. Nggak ada nambah begitu?" Kian melirik kakaknya lagi.

Hanif menepuk bahu Kian sebelum berlalu, "Nggak ada, Ki. Stok kita terbatas, lagipula segini saja sudah lelah, kan? Suruh nunggu volume selanjutnya aja." Kian terkekeh, mengiyakan perkataan sang kakak.

"Ya, liburan telah tiba!" Kian berseru girang. Hanif mengernyit, apa perkataan adiknya barusan?

"Biarin lah tugas mah, yang penting ketemu si mbah dulu."

****

"Selamat atas launching-nya produk baru kamu, Sayang. Aku dengar sukses, di e-commerce habis dalam waktu kurang dari satu jam. Kamu keren banget, aku bangga sama kamu dan team. Kerja keras kalian akhirnya terbayarkan."

Adia mengirim pesan suara pada Hanif. Setelah itu ia kembali merevisi naskah. Salah satu kawannya mengetuk pintu, kemudian masuk tanpa Adia persilakan.

"Gue kesal banget, Di." Gina menggerutu.

Adia memutar kursi, melirik Gina yang cemberut.

"Gue gak kebagian merchandise suami lo!" gerutu Gina lagi, tangannya melipat. Masih tidak terima, padahal ia sudah menunggu lama launching-nya produk Hanif itu.

"Lagian lo ngapain sih beli kaos begituan, Gina?" Adia memandang Gina dengan seksama.

"Buat cowok gue, Di. Dia pengin banget kaos itu."

Adia mengelus pundak kawannya.

"Pokoknya kalau gue ketemu Hanif, gue bakalan cecar dia. Kenapa nggak di sisain satu aja gitu buat gue?" Gina memonyongkan bibir.

Adia tersenyum melihat ekspresi Gina. Sekali lagi diusapnya pundak Gina dengan sayang.

"Jangan bete gitu dong, Na. Yaudah nanti gue kasih seblak gratis deh," bisik Adia.

"Beneran?" Gina mengangkat alis. Adia menjawab dengan anggukan.

"Yang pedes, ya!" ucap Gina lagi seraya melenggang.

Adia mengemas tas, merapikan meja kerja dan bersiap pulang. Adia berkaca sebentar untuk memastikan make up tetap on. Lantas menambahkan lipstik agar terlihat lebih segar.

"Loh?" Adia menunjuk Farhan, pacar Gina yang mengenakan kaos hitam dengan desain persis seperti yang Hanif tunjukan beberapa bulan lalu.

Farhan mengangkat bahu melihat Adia yang melongo.

"Itu lo pakai merchandise suami gue?" Adia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menatapnya.

"Gerak cepat dong, Di. Gue ikut pre order dua minggu yang lalu, ini baru sampai. Langsung dipake lah. Gue suka banget tahu sama merchandise Hanif. Desainnya keren, bahannya enak. Dan juga, gue beli kaos ini karena tahu kalau Hanif dan team mendonasikan sebagian  keuntungannya ke yayasan-yayasan."

Adia mengangguk mendengar penuturan Farhan. Baru saja ia melangkah menjauhi lelaki itu, sudah  terdengar suara melengking Gina, yang sepertinya baru tahu kalau Farhan sudah mempunyai merchandise keinginannya itu.

"Drama bucin dimulai!" Adia mengerlingkan mata begitu melihat Gina yang langsung memukul pelan bahu Farhan.

"Hai ...."

Hanif menyandarkan tubuhnya di mobil, menatap Adia yang terkekeh mendengar sapaan lembutnya. Hanif terlihat mengenakan kaus berwarna hitam dan celana pendek selutut, tangannya terangkat memperlihatkan kunci mobil, menandakan Adia harus segera mendekat untuk pulang.

"Kita ke Jogja, ya," kata Hanif saat keduanya sudah berada di mobil.

Adia mengerutkan kening. Hanif mengangguk lagi, meyakinkan pertanyaan yang tersirat di dahi istrinya.

"Kita liburan ke sana, sambil ketemu keluarga aku."

"Tapi aku belum persiapan, Nif!" Adia tampak panik.

"Memangnya apa yang mesti disiapkan?" tanya Hanif, bola matanya memutar.

"Seenggaknya kita harus bawa oleh-oleh buat mereka, belum lagi nyiapin baju segala macem. Oh iya, aku belum pergi ke salon, Nif. Bisa-bisa aku dikatain dekil sama tante-tante kamu."

Adia meraih cermin dari tas, mengeluh melihat jerawat yang tumbuh di dagu.

"Kita berangkat lusa!"

"Nggak bisa, Nif." Adia merengek, satu tangannya menekan jerawat kemerahan itu.

Hanif menghentikan mobilnya. Melirik Adia yang terus menekan jerawat, sampai jerawat itu memuncratkan nanah dan darah. Adia tersenyum puas.

"Pasti ada bekasnya tuh nanti!"

"Masa sih?" Adia cemberut. "Gimana dong nanti pas ketemu sepupu-sepupu kamu. Mereka kan pada glowing, Nif. Aku doang yang dekil begini."

Hanif menatap Adia lekat, perempuan itu mengalihkan pandangan. Adia paling tidak suka ditatap intens seperti itu. Pipinya terasa panas nan memerah. Dan Adia yakin, Hanif mengetahui itu.

"Musuh perempuan itu insecure, overthinking. Coba kalau kamu pede aja, Di. Pasti gak ada tuh perasaan-perasaan takut dipandang sebelah mata sama orang."

Setelah mengatakan itu, Hanif kembali menjalankan mobil dengan tenang. Tanpa melirik dan berbicara sepatah katapun. Adia hanya memainkan tangan, sesekali melihat jalanan yang dipadati kendaraan.

Tiba-tiba mobil berhenti di depan sebuah mal. Adia mengerutkan dahi, terdiam di tempat duduknya melihat Hanif yang bersiap keluar.

"Nih, pakai masker. Biar bisa nutupi bekas jerawat kamu," imbuh Hanif.

Adia menurut, tapi masih termangu.

"Di, ayo!" ajak Hanif sembari memasukkan dompet ke saku celananya.

"Nif, gak mau gandeng aku?"

"Adia ...." Hanif mendesah. Adia langsung paham seketika.

"Ya udah nggak."

Hanif tidak suka bermesraan di tempat umum. Dia cenderung cuek, berjalan terlebih dahulu, sementara Adia celingukan dari belakang, mencari punggung lelaki itu.

Kali ini berbeda, Hanif berubah pikiran sepertinya. Entah baik atau buruk bagi Adia, yang pasti, tangan Hanif tiba-tiba menaut dengan jemarinya. Mengajak Adia berjalan bersama-sama.

"Nif, nggak nyaman. Nggak biasa kita kayak gini." Adia mengubah ekspresi di wajahnya.

"Sssssstttt ... udah diam," balasnya seraya menarik Adia untuk melangkah.

"Kamu kenapa, sih?"

"Kalau tangan kamu dibiarkan, kamu bisa berkeliaran, kamu bisa hilang. Tiba-tiba saja kasir ngasih bon ke aku, disuruh bayar. Ternyata kamu ngambil tas seharga 50 jutaan." Hanif bergidik ngeri membayangkan hal itu.

Adia sebisa mungkin menahan tawa, tapi ternyata tidak bisa. Ia tertawa puas mendengar ketakutan Hanif.

Hanif akhirnya melepaskan tangannya. Dan benar, ia sendiri tidak nyaman bergandengan seperti itu. Lalu, kakinya melangkah pelan memasuki toko perhiasan. Hanif melihat-lihat, bertanya-tanya pada penjaga toko.

Adia? Ah, Hanif tidak tahu Adia kemana. Hanif memilah perhiasan, tapi dia tidak tahu mana yang cocok untuk Adia. Hanif takut salah memilih. Sehingga ia meminta penjaga toko yang memilihkan.

"Ini foto istri saya, kira-kira kalung yang cocok untuk dia yang mana, ya?" Hanif memberikan ponsel pada penjaga toko berwajah manis itu.

"Bapak romantis sekali, jadi iri," jawab penjaga toko itu setelah mengeluarkan beberapa sample kalung.

Hanif tersenyum, setelah cukup lama akhirnya menentukan pilihan juga.

"Sayang istri sekali ya, Pak."

"Rezeki yang Tuhan kasih kan tidak luput dari doa-doa istri, Mbak." Dikeluarkannya kartu kredit dari dompet, baru saja Hanif menyerahkan pada pelayan, seseorang menepuk bahunya.

Adia tersenyum lebar, memperlihatkan sesuatu di tangannya. Seperangkat perhiasan. Hanif mengangkat alis, seolah-olah berkata: maksudnya apa nih?

Diserahkan seperangkat perhiasan itu ke pelayan, lalu Adia bergelandotan mesra di tangan Hanif. Tidak peduli suaminya itu memasang ekspresi setengah kesal.

'Hei, bukan begitu maksudnya?' bisik Hanif dalam hati. Adia tetap bermanja-manja di lengan Hanif. Pelayan tadi menatap bingung.

"Iya, Mbak. Bayarnya pake kredit card punya suam saya tadi. Eh, kalung yang tadi, saya nggak terlalu suka modelnya, jadi saya cuma ambil ini aja."

Pelayan itu mengangguk sembari mengemas pesanan.

"Nggak apa-apa 'kan, Sayang?"

"Nggak apa-apa dong, yang penting kamu senang. Apasih yang nggak buat kamuuuuuuu ...." Hanif mencubit hidung Adia, setengah gemas dan kesal bersamaan.

Related chapters

  • TEMAN HIDUP   6

    Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah."Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh."Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah.""Bude, aku mau.""Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya."Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dar

    Last Updated : 2021-09-28
  • TEMAN HIDUP   7.

    7Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia."Hai," bisik Adia mesra.Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangku

    Last Updated : 2021-09-28
  • TEMAN HIDUP   8.

    "Ini Om Andi, suami baru bude."Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi."Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi."Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakann

    Last Updated : 2021-10-02
  • TEMAN HIDUP   9.

    Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N

    Last Updated : 2021-10-02
  • TEMAN HIDUP   10.

    Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer

    Last Updated : 2021-10-03
  • TEMAN HIDUP   11.

    Perempuan berusia 50 tahun-an itu mendesah, menatap rintik hujan di balik jendela. Aroma tanah yang menguar memasuki penciumannya. Dingin terasa menembus tulang, kabut tipis membuat pepohonan tidak terlalu tinggi itu bersembunyi. Disesap teh yang sudah mendingin karena terlalu lama didiamkan. Dilirik jurnal tebal dan beberapa buku lainnya di meja. Perempuan itu meniup debu yang menempel di kacamatanya, lalu dikenakan.Jemari halus mengusap sampul jurnal berwarna hitam itu. 'Aku dan diriku' begitu tulisan yang tertera pada halaman pertama. Foto-foto usang dan potongan koran tertempel pada halaman-halaman selanjutnya.'Kriskian Budiman, putra bungsuku yang lucu, cerdas, peka dan manja. Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu tidak lagi hadir di ulang tahunmu. Semoga panjang umur, semoga Tuhan memberkatimu selalu. Semoga selalu sehat, kuat nan terus bahagia. Semoga dunia membalas doamu dengan segera. Aamiin.'Ungkapan manis disert

    Last Updated : 2021-10-04
  • TEMAN HIDUP   12

    "Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me

    Last Updated : 2021-10-08
  • TEMAN HIDUP   13.

    Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut

    Last Updated : 2021-10-14

Latest chapter

  • TEMAN HIDUP   20

    Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal

  • TEMAN HIDUP   19

    Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce

  • TEMAN HIDUP   18

    Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...

  • TEMAN HIDUP   17.

    Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah

  • TEMAN HIDUP   16

    "Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak

  • TEMAN HIDUP   15

    Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam

  • TEMAN HIDUP   14

    "Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."

  • TEMAN HIDUP   13.

    Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut

  • TEMAN HIDUP   12

    "Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me

DMCA.com Protection Status