Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali.
"Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.
Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.
Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang.
"Nif, kalau misal nanti kita punya anak, kita harus punya waktu untuk berjalan-jalan seperti ini lagi, ya." Adia menaikkan kacamatanya, menatap semburat oren di langit.
"Pasti, kita bakalan seperti ini terus, Di," jawab Hanif, tenang.
"Kamu janji, ya, kalau aku kerepotan ngurus baby, kamu bantuin aku. Kamu jangan keseringan marah-marah. Kalau marah cukup ke aku, jangan ke anak kita," sahut Adia lagi.
"Kamu yakin mau punya anak?" tanya Hanif pelan.
Adia menaikkan alis, lalu mencoba duduk untuk mencerna pertanyaan Hanif.
"Maksudku, kita belum matang secara finansial, Di. Ekonomi kita masih naik-turun. Aku takut kalau nanti tidak bisa memfasilitasi anak kita," ucap Hanif seraya mengangguk-anggukan kepala.
"Iya 'kan nggak harus buru-buru, Nif. Nanti aja, kalau untuk sekarang aku juga belum siap." Adia tersenyum menyadari kekhawatiran Hanif tidak bisa membahagiakan anak mereka.
Hanif meneguk air mineral, matanya kembali menatap senja yang cantik di atas sana.
"Maaf aku suka marah-marah, ya, Nif."
"Iya, Adia. Nggak apa-apa. Justru kalau kamu nggak marah-marah sehari saja, aku ngerasa gak enak banget. Kayak ada yang kurang, pasti kangen omelan kamu."
Kelakaran Hanif sukses membuat Adia memukul lengannya pelan, perempuan itu menutup mulut dan tertawa. Hanif sedang menyindirnya.
"Kamu juga minta maaf dong!"
Hanif menunjuk dirinya, langsung diiyakan oleh Adia.
"Kamu suka lupa naruh kunci mobil, kunci motor. Suka naruh handuk basah di kasur, kalau ngambil baju, lemari jadi berantakan. Suka gadang terus, like-like foto cewek di i*******m, nginep di toko tanpa ngasih tahu aku apapun!" Adia menghitung dengan jemarinya, dia masih ingat kesalahan-kesalahan Hanif selama mereka menikah hampir satu tahun ini.
"Kalau nginep itu karena aku ketiduran, Di. Kian ngajak main PS, terus aku gak inget apa-apa lagi." Berusaha berdalih, Adia memonyongkan bibir mendengar alibi suaminya.
"Like-like foto cewek, mana seksi-seksi lagi. Ih geleuh!" Adia mengeluarkan jurus bahasa Sunda-nya yang berarti jijik.
"Itu kebetulan mereka lewat di timeline aku, Di. Bukan berarti ada niat aneh-aneh," alibi Hanif lagi.
"Terserah!" gumam Adia pelan, tubuhnya direbahkan lagi di atas rumput-rumput hijau itu.
Hanif mengisap rokoknya kembali, tidak memedulikan Adia yang mengerucutkan bibir, tapi tidak berkata apapun. Sepertinya perempuan itu menahan kekesalannya untuk beradu mulut karena beberapa orang juga berdatangan ke taman itu.
Semilir angin membuat rambut Hanif yang dibiarkan sedikit menggondrong berantakan, lelaki itu membisik pada istrinya, "Kamu juga suka ngelike foto artis Korea!" Adia memasang ekspresi susah diartikan.
"Kalau aku nggak apa-apa." Adia berpura-pura memainkan ponsel, menghindari tatapan Hanif. Suaminya itu pasti sedang menatap dengan tatapan meledek. Menyebalkan.
"Meresahkan," bisik Hanif lagi dengan bergidik.
"Ya, mereka 'kan ganteng, jadi kalau memandang mereka itu membuat aku senang, menaikkan imun biar sehat!" Adia tetap membela diri, membuat alasan bermacam-macam.
Ke sekian kalinya Hanif tertawa, lalu mengacak rambut Adia.
"Kamu ini ada-ada aja. Secara tidak langsung mengatakan aku gak ganteng dan bikin kamu gak bahagia, makanya lebih suka nonton cowok-cowok itu," gumam Hanif, berpura-pura sebal.
Adia langsung menegakkan tubuhnya menghadap Hanif. Kepalanya menggeleng kuat-kuat, menyadari ia salah berbicara.
"Maafin aku ya, Ganteng." Adia menunduk.
Hanif merentangkan tangan, Adia segera menghambur ke dalam dekapannya. Hanif mengelus-elus puncak kepala istrinya, memeluknya erat. Netra mereka menatap matahari yang hampir tenggelam bersama-sama.
"Maksudku, aktor Korea itu ganteng-ganteng, jadi kalau aku sedang lelah ngadepin kamu, lelah sama pekerjaan di kantor, cukup mandang mereka aja, hehehe."
"Apa? Gimana?" Hanif mendongakkan dagu istrinya. Adia menutup mulut lagi, menyadari kesalahannya.
"Kamu kalau nggak ngambekan juga bakalan mirip orang Korea deh."
Hanif menyembunyikan Adia lagi dalam pelukannya.
"Aku nggak ngambekan, Adia!" Hanif meyakinkan.
"Masa?"
"Iya, bagian mana coba aku ngambekannya?" Hanif merasa tidak terima disebut 'ngambekan'.
"Pas tengah malem aku minta anter ke kamar mandi, kamu marah-marah."
"Tapi tetap dianter, kan?"
Adia mengangguk dengan dongkol, tangannya menggaruk kepala pelan mengingat malam-malam lalu.
"Tapi kamu kayak kesal gitu, Nif? Kenapa, sih?!" Bertanya penasaran.
"Kesal karena kamu masih belum berani juga ke kamar mandi sendirian," jawab Hanif.
Setelah percakapan-percakapan ringan itu, Adia dan Hanif menikmati roti bakar dengan kopi panas yang mengepul. Suara penyanyi muda dengan petikan gitar akustik turut meramaikan, Adia dan Hanif sesekali mengikuti lirik lagu yang mereka tahu.
"Yuk, pulang."
Adia mengeratkan tangannya, menyandarkan kepala di punggung Hanif. Menikmati angin malam yang berembus pelan. Sesekali tangan Hanif mengusap tangan Adia, memberikan kehangatan. Adia tertidur dengan nyaman. Sampai suatu tepukan membuat ia terjaga. Ternyata mereka sudah sampai di rumah.
Hanif berlari menaiki anak tangga terlebih dahulu, Adia menyusul sambil terkantuk-kantuk. Hanif melorotkan celananya tanpa malu, buru-buru melilitkan handuk dan melenggang ke kamar mandi.
"Hanif, jangan lama-lama!" Adia melemparkan tas dan baju ke sembarang tempat. Menggantinya dengan kimono. Karena terlalu ngantuk, Adia tertidur di sofa sembari menunggu Hanif menyelesaikan mandi.
Tak lama Hanif kembali, mengibaskan rambutnya yang basah. Menatap cermin yang memantulkan dirinya. Hanif tersipu, membalikkan badannya yang kekar.
"Buset, ganteng banget gue," pujinya pada diri sendiri.
Selanjutnya Hanif mengenakan celana panjang dan kaus. Berdecak melihat Adia yang terlelap.
"Di, mandi gih," titah Hanif seraya menyisir rambutnya dengan tangan.
Adia menggeliat, melangkah sempoyongan ke kamar mandi. Namun, sebelum itu sempat melirik Hanif yang sedang sok ganteng bergaya di depan cermin.
"Dih, narsis kamu."
"Aku narsisnya di kaca, kamu di depan kamera, joget-joget lagi," balas Hanif dengan senyuman.
Adia membulatkan mata. Kaki kecilnya melangkah mendekati Hanif. Lelaki itu mengerutkan dahi, tiba-tiba Adia sudah berada di sampingnya.
"Mau peluk sebentar, Ayang," rengek Adia.
"Ya udah boleh."
"Kamu wangi banget." Adia mengendus manja.
"Mandi dulu sana!"
"Emang kenapa? Gak boleh?"
Hanif berkacak pinggang, memandang istrinya dengan rambut awut-awutan.
"Aku gak bisa kalau kamu belum mandi."
Adia berlalu, dibantingnya pintu kamar mandi dengan keras.
"Nyebelin!"
Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer
Perempuan berusia 50 tahun-an itu mendesah, menatap rintik hujan di balik jendela. Aroma tanah yang menguar memasuki penciumannya. Dingin terasa menembus tulang, kabut tipis membuat pepohonan tidak terlalu tinggi itu bersembunyi. Disesap teh yang sudah mendingin karena terlalu lama didiamkan. Dilirik jurnal tebal dan beberapa buku lainnya di meja. Perempuan itu meniup debu yang menempel di kacamatanya, lalu dikenakan.Jemari halus mengusap sampul jurnal berwarna hitam itu. 'Aku dan diriku' begitu tulisan yang tertera pada halaman pertama. Foto-foto usang dan potongan koran tertempel pada halaman-halaman selanjutnya.'Kriskian Budiman, putra bungsuku yang lucu, cerdas, peka dan manja. Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu tidak lagi hadir di ulang tahunmu. Semoga panjang umur, semoga Tuhan memberkatimu selalu. Semoga selalu sehat, kuat nan terus bahagia. Semoga dunia membalas doamu dengan segera. Aamiin.'Ungkapan manis disert
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me