"Ini Om Andi, suami baru bude."
Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi.
"Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"
Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi.
"Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."
Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakannya.
"Sepertinya yang ibu kamu katakan benar, Nif. Maksud saya ... dia terlihat sehat dan stabil."
Hanif menatap om Andi antusias.
"Ibu saya seorang dosen, Om. Dia juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Yang membuat saya cukup yakin dengan pernyataan ibu, suster memberikan buku yang berisi tulisan ibu. Ibu menulis dengan rapi dan logis. Ibu saya menulis artikel tentang politik, Om."
Mengangguk untuk kesekian kalinya. Om Andi menepuk pundak Hanif, "Saya akan mengadakan seminar beberapa minggu lagi di Jakarta, nanti kita temui ibumu bareng-bareng, ya."
****
Adia mematut dirinya di cermin, setelah dirasa pas segera menyambar tas dan ponsel dari meja. Melirik ke ranjang, suaminya masih tertidur pulas, Adia mendesah seraya mendekatinya.
"Nif, aku berangkat, ya." Adia mengelus rambut Hanif. Lelaki itu menggeliat, mengucek mata sebentar, melirik jam di nakas. Selanjutnya mengangguk.
Hanif menarik Adia untuk duduk di kembali di ranjang, Adia terlihat sedikit kesal. Ia bisa telat, dan bajunya bisa kusut seketika.
"Apa?" Adia membalas tatapan sayu suaminya.
Tanpa menjawab, Hanif langsung mendekap Adia, gemas. Mengecup wangi parfum dari dres yang dikenakannya, mengendus leher Adia, tangannya menggerayang. Adia segera menepis dan menegakkan bahu Hanif.
"Nif ...." Adia menaikkan alis, Hanif memasang ekspresi sok imut.
"Ya, Baby," balas Hanif serak.
"Gak boleh, ya. Aku telat, ada meeting sama Pak Hilman. Doakan naskahku diterima, ya." Adia mengecup pelan pipi suaminya.
"Gitu doang?" tanya Hanif setelah Adia menenteng tas-nya dan siap untuk pergi.
Adia menoleh, mengernyit. Hanif membulatkan mata seraya melorotkan bahu, kenapa Adia tidak peka sih?
"Kamu belum gosok gigi, aku gak bisa." Adia melambaikan tangan sebagai perpisahan.
Diam-diam Adia menyeringai melihat kelakuan Hanif. Setiap pagi lelaki itu selalu ingin dimanja, Adia dipeluk-peluk, dicium. Ketika Adia berhasil mandi dan berganti pakaian, Hanif malah selalu sukses membawanya kembali ke ranjang. Menyebalkan. Namun, itu terus berulang-ulang sampai Adia telat atau bahkan tidak pergi ke kantor sama sekali.
"Sayang, kunci mobil ketinggalan!" Hanif berteriak dari atas. Adia meraba tas, dan benar saja kunci mobilnya tidak ada di sana.
Bergegas mengenakan boxer, Hanif menuruni anak tangga dan langsung beradu pandang dengan istrinya yang tersenyum manis.
"Makasih, ya." Adia menerima kunci mobil dari suaminya.
"Salim dulu sama suami, gak sopan main pergi-pergi aja," ucap Hanif disertai tatapan tajam.
Adia mendesah, lantas kembali pada suaminya. Setelah mengecup tangan Hanif, perempuan itu sudah siap pergi. Namun, tangan Hanif mencegahnya. Membuat Adia mengangkat alis tinggi-tinggi, seolah memberikan pertanyaan, 'maksudnya apa nih?' Hanif mengelus perut ramping Adia, memeluknya dari belakang.
"Di?"
"Ya ...," jawab Adia ketus. Biasanya setelah Hanif bersikap seperti ini, Adia tidak jadi pergi ke kantor. Tidak peduli sudah serapi apapun. Hanif menggagalkannya dengan memangkunya kembali ke ranjang.
"Kamu ngerasain sesuatu gak?"
Embusan napas Hanif di tengkuknya sukses membuat Adia merinding. Namun, Adia tidak ingin mengalah begitu saja. Dia mendesis, jengkel.
"Ada yang berdiri tegak, tapi bukan keadilan," bisik Hanif dibarengi tawaan kecil.
Terdengar lenguhan kecil Adia saat sesuatu keras terasa menggesek pantatnya. Hanif meraih jari-jari kecil Adia. Kini jemari itu sudah berada tepat di antara paha Hanif, mengelusnya pelan-pelan.
"Sayang, ya ... sebentar aja," bisik Hanif, serak. Mulutnya mengecup tengkuk Adia.
Hanif menyingkap dres Adia, meremas pantatnya sebentar. Adia melenguh. Membiarkan tangan Hanif meloloskan celana dalamnya.
Jemari Hanif mengusap gundukan tembem di antara kedua paha Adia. Adia basah, dan tampak sudah sangat siap. Hanif mendorong Adia untuk duduk di sofa.
Perempuan itu terengah-engah, menunggu Hanif yang sedang memainkan benda pusaka miliknya. Hanif mendatanginya, membuka paha Adia dengan lebar. Adia melenguh saat merasakan lidah Hanif menari dengan bebas di bawah sana. Dijambaknya rambut suaminya itu, Adia mengerang, meminta Hanif terus menjilatinya.
Adia merasa sesuatu akan segera meledak dari dirinya. Mendesah lebih keras, sampai cairan putih itu meleleh dari dalam dirinya. Hanif menjilatinya sampai tidak tersisa.
Seperti biasa, setelah merasa puas, perempuan akan tersenyum malu-malu. Hanif mengedipkan mata setelah membersihkan paha Adia dengan tisu.
Hanif berlalu menyalakan rokok, sementara Adia mengenakan celana dalamnya kembali.
"Kamu ... nggak?" Adia bertanya pelan. Dibalas senyum disertai gelengan oleh suaminya.
"Tapi, kamu?" Kembali Adia bertanya.
Hanif mengangkat bahu, mengisap kembali rokoknya.
"Ada banyak stok sabun di kamar mandi," kelakar Hanif dibalas tatapan ngeri istrinya.
"Aku pasti pulang cepat, Sayang." Adia mengedipkan mata dari balik kaca mobil. Hanif melambaikan tangan dan memberikan ekspresi sebal saat Adia mengulurkan lidah, menggodanya.
Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N
Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer
Perempuan berusia 50 tahun-an itu mendesah, menatap rintik hujan di balik jendela. Aroma tanah yang menguar memasuki penciumannya. Dingin terasa menembus tulang, kabut tipis membuat pepohonan tidak terlalu tinggi itu bersembunyi. Disesap teh yang sudah mendingin karena terlalu lama didiamkan. Dilirik jurnal tebal dan beberapa buku lainnya di meja. Perempuan itu meniup debu yang menempel di kacamatanya, lalu dikenakan.Jemari halus mengusap sampul jurnal berwarna hitam itu. 'Aku dan diriku' begitu tulisan yang tertera pada halaman pertama. Foto-foto usang dan potongan koran tertempel pada halaman-halaman selanjutnya.'Kriskian Budiman, putra bungsuku yang lucu, cerdas, peka dan manja. Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu tidak lagi hadir di ulang tahunmu. Semoga panjang umur, semoga Tuhan memberkatimu selalu. Semoga selalu sehat, kuat nan terus bahagia. Semoga dunia membalas doamu dengan segera. Aamiin.'Ungkapan manis disert
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me